Dentuman musik dari DJ ternama Calvin Harris, kembang api, konfeti berwarna merah, serta asap, dan aroma suar mewarnai langit kota Liverpool pada 29 Mei 2022. Orang dewasa hingga anak-anak berdesak memadati jalan. Tak sedikit di antara mereka yang berdiri di atap rumah, memanjat lampu jalan dan halte bus. Semuanya larut dalam parade keberhasilan Liverpool menjuarai Piala FA dan Piala Liga Inggris 2021/22.
Padahal, satu hari sebelumnya, skuad asuhan pelatih Juergen Klopp baru kalah 0-1 dari Real Madrid di Final Liga Champions. Kekalahan di Stade de France, Saint-Denis tersebut seakan menyempurnakan "kegagalan" Liverpool yang dipastikan gagal menjuarai Premier League pada pekan terakhir (selisih satu poin dengan Manchester City).
Dibanding dua trofi yang didapat, dua trofi yang hilang memang lebih prestisius. Tidak ada penghargaan yang lebih tinggi ketimbang Premier League bagi Liverpool sebagai klub Inggris dan Liga Champions sebagai klub Eropa. Dari mimpi kesempurnaan quadruple, berakhir dengan dua piala level terendah.
Para suporter klub rival memandang remeh parade trofi Liverpool, yang seperti tak lebih dari sekadar seremoni penghiburan. Namun, bagi Liverpool dan para suporternya, ini tetaplah sebuah perayaan.
"Parade ini untuk para suporter dan bukan untuk kami. Mereka pantas mendapatkannya. Merayakan hidup, setelah segala kesulitan yang kita lewati selama pandemi," ujar pelatih Liverpool, Juergen Klopp, seperti yang dikutip The Athletic.
Apa yang dimaksud Klopp terkait kesulitan pandemi bukan hanya tentang kegagalan merayakan titel juara Premier League 2019/20 bersama para suporternya. Maklum, ketika Jordan Henderson mengangkat piala yang telah dinantikan selama 30 tahun di salah satu tribun Stadion Anfield pada Juli 2020, Inggris (dan dunia) tengah menghadapi salah satu tantangan medis terbesar dalam sejarah manusia. Pemerintah Inggris melarang adanya segala bentuk kerumunan, termasuk parade juara.
Maksud Klopp terkait kesulitan pandemi itu juga tentang hantaman keras COVID-19 terhadap kehidupan warga Liverpool.
---
Di tempat yang sama dengan perayaan titel juara Liga Inggris ke-19 tersebut, sekitar empat bulan sebelumnya, Liverpool menjamu Atletico Madrid dalam leg kedua Babak 16 Besar Liga Champions.
Sebelum pertandingan, sudah ada kecemasan terkait ancaman penyebaran COVID-19. Kebetulan, tepat pada 11 Maret 2020 itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan status pandemi. Di hari yang sama juga, diketahui bahwa terdapat 1.646 kasus positif di Spanyol dan 782 di antaranya berasal dari Madrid.
UEFA selaku pemilik kompetisi memegang kendali penuh atas protokol keamanan dan keselamatan pertandingan. Mereka menyatakan "tidak menerima masukan atau permintaan dari otoritas setempat untuk menyelenggarakan pertandingan tanpa penonton". Kebetulan, sehari sebelumnya, Boris Johnson selaku Perdana Menteri Inggris, juga mengatakan bahwa Inggris siap menghadapi COVID dan "mengizinkan penyakit, sebagaimana sebelumnya, berada di antara masyarakat".
Pertandingan digelar, Liverpool kalah 2-3 dari Atletico dan tersingkir dengan agregat 2-4. Itu menjadi pertandingan sepakbola terakhir yang digelar di Inggris. Tepat 11 hari kemudian, Inggris mengumumkan lockdown nasional.
Berdasarkan laporan The Athletic, hanya ada enam kasus positif di kota Liverpool di hari pertandingan. Jumlah tersebut meningkat menjadi 262 kasus per 2 April. Sekitar sebulan kemudian, 303 orang dilaporkan meninggal akibat COVID-19. Ketika sepakbola di Inggris kembali berlangsung tanpa penonton pada 17 Juni 2020, Liverpool menjadi kota dengan jumlah kematian tertinggi di luar London.
Akibat ketidaktegasan pemerintah, laga Liverpool vs Atletico menjadi salah satu episentrum penyebaran virus. "Dua pekan setelah Festival Cheltenham (pacuan kuda) dan pertandingan Liverpool melawan Atletico Madrid, kita melihat jumlah orang yang melaporkan gejala COVID meningkat dan kedua area ini menjadi titik (awal penyebaran) di Britania Raya," ujar epidemiolog Profesor Tim Spector dari King`s College London kepada Sky Sports.
Pemerintah Inggris sendiri, melalui laporan yang dirilis pada Oktober 2020, mengakui bahwa 37 orang meninggal dunia di rumah sakit setelah pertandingan. Dan, tidak ada pihak yang bertanggung jawab atas hal tersebut.
Secara keseluruhan, berdasarkan laporan pemerintah kota Liverpool, total 28.933 orang positif COVID dan 988 di antaranya meninggal dunia sepanjang 2020. Di tahun yang sama juga, dilaporkan 3.334 bisnis di kota Liverpool harus gulung tikar.
---
"Jika orang-orang di luar sana tidak memahami (alasan suporter Liverpool merayakan parade penutup musim 2021/22), saya pikir justru saya akan lebih menikmatinya karena, jujur saja, ini memang hanya untuk kami. Jika orang-orang tidak memahami seberapa spesial klub ini, saya tidak bisa membantu mereka," ucap Klopp.
Di momen yang sama, pria asal Jerman itu juga mengungkapkan optimismenya menatap musim 2022/23. "Ya, kami memang kehilangan dua trofi, tetapi orang-orang ini tidak lupa (dengan perjuangan tim). Mereka tahu betul kerja keras para pemain. Ini adalah dorongan bagi kami untuk masa mendatang," dirinya menjelaskan kepada LFCTV.
"Perbedaannya dengan tahun 2018 adalah sekarang saya bisa melihat kami kembali bersaing (memperebutkan titel juara). Pada 2018, saya mengharapkannya tetapi saya tidak tahu (yang akan terjadi). Musim ini memang tidak berakhir seperti yang kami inginkan, tetapi klub ini berada di momen yang baik. Kami kembali berjuang," tutur dirinya.
Optimisme tersebut terbilang wajar. Mereka bersaing di empat kompetisi hingga garis akhir dan hanya kalah dengan margin tipis. Mungkin tidak pernah terbesit dalam pikiran Klopp dan para suporter Liverpool, bahwa ketika tahun berganti, mereka berada di posisi pelik.
Dua trofi yang Liverpool dapatkan musim lalu sudah dipastikan hilang dari genggaman. Mereka disingkirkan Man City di Perempat Final Piala Liga Inggris dan Brighton and Hove Albion di Putaran Keempat Piala FA.
Mohamed Salah dkk hanya mendapatkan 39 poin setelah 24 pertandingan Premier League. Ini adalah raihan poin terendah sejak 2015/16, musim pertama Klopp sebagai pelatih menggantikan Brendan Rodgers yang dipecat pada Oktober 2015.
Di ajang Liga Champions, The Reds tengah tertinggal agregat 2-5 dari juara bertahan Madrid di babak 16 besar. Rasanya wajar jika mengatakan mereka butuh keajaiban untuk mengakhiri musim dengan titel juara.
Pertanyaannya, bagaimana Liverpool, yang tak sampai setahun lalu berpeluang mendapatkan quadruple bisa sampai berada di titik ini? Di saat seharusnya bisa membangun dinasti setelah menjuarai Liga Champions 2019 dan Premier League 2020, kenapa skuad asuhan Klopp justru seperti beberapa langkah di belakang duo Manchester (City dan United) serta Arsenal?
Harus diakui bahwa `kesiapan` skuad menjadi faktor penting dari penurunan performa Liverpool. Cederanya beberapa pemain kunci, seperti Luis Diaz, Diogo Jota, dan Virgil van Dijk sempat mengganggu performa tim. Ini menjadi gambaran kuat bahwa mereka tidak memiliki pelapis sepadan.
Ketiadaan pemain pelapis tentu bisa dilihat sebagai kegagalan kebijakan transfer klub. Namun, ini bukan urusan jumlah pengeluaran semata.
Jika kita melihat pengeluaran Liverpool untuk membeli pemain dari 2010/11 hingga 2020/21, mereka total mengeluarkan 1,168 triliun Poundsterling. Jumlah tersebut adalah yang terbanyak keempat di Premier League (hanya kalah dari Man City, Chelsea, dan Man United).
Dalam kurun waktu tersebut, dua pengeluaran terbesar Liverpool terjadi pada 2018 (195 juta Poundsterling) dan 2019 (223 juta Poundsterling). Yang terjadi? Liverpool juara Liga Champions pada 2019 dan Premier League pada 2020.
Sedangkan, di musim ini, Liverpool `hanya` mengeluarkan dana sekitar 116 juta Poundsterling untuk mendatangkan Darwin Nunez, Cody Gakpo, Fabio Carvalho, Calvin Ramsay, serta Arthur Melo (dengan status pinjaman). Jumlah tersebut turun 20 juta Pounds dibanding musim lalu dan menempatkan Liverpool di peringkat ke-12 pengeluaran terbesar klub Premier League 2022/23.
Artinya, Liverpool cukup tertinggal dalam urusan agresivitas di bursa transfer. Padahal, mereka baru saja mencatatkan rekor pemasukan sepanjang sejarah klub dengan jumlah 594 juta Poundsterling pada 2022.
Berdasarkan laporan Deloitte Money League, Liverpool menjadi klub dengan jumlah pemasukan tertinggi ketiga (hanya kalah dari Manchester City dan Real Madrid) di seluruh dunia pada 2022. Pemasukan terbesar datang dari hak siar, utamanya Liga Champions. Dari total 266 juta Poundsterling, 118 juta di antaranya berasal dari keberhasilan Liverpool menembus final.
Bahkan, jika ditarik mundur, pertumbuhan pemasukan Liverpool adalah yang terbanyak di antara klub Premier League sejak 2016 (naik 292 juta Pounds). Lalu, kemana larinya uang tersebut?
Sebagian besar uang digunakan oleh pemilik Liverpool, Fenway Sports Group (FSG), untuk pembangunan infrastruktur. Mereka telah mengeluarkan 110 juta Pounds untuk mengembangkan tribun utama Stadion Anfield pada 2016, disusul 80 juta Pounds untuk pengembangan tribun Anfield Road dan meningkatkan kapasitas stadion menjadi 61.000. FSG juga mengeluarkan sekitar 50 juta Pounds untuk pembangunan fasilitas latihan baru.
Sebagian besar lagi, uang tersebut digunakan untuk membayar gaji pemain. Per 2021/22, Liverpool total butuh 368 juta Pounds untuk gaji para pemainnya. Jumlah tersebut adalah yang tertinggi kedua di Premier League (hanya kalah dari Man United, 384 juta Pounds).
Secara keseluruhan, Liverpool memiliki keuangan yang sangat sehat. Sejak FSG mengambil alih kepemilikan klub pada 2010 hingga 2021, mereka mencatatkan laba sekitar 56 juta Pounds (sebelum pajak). Itu adalah yang tertinggi ketiga di Premier League (hanya kalah dari Spurs dan Man United)
Apakah ini hal buruk? Dari perspektif finansial klub, tentu tidak. Tetapi jika membandingkan dengan klub lain yang berani merugi demi memperkuat skuad, maka kita bisa mengatakan bahwa FSG adalah pemilik yang `pelit`.
---
Pada 5 Maret 2023, Liverpool akan menjamu Manchester United di Anfield. Dibandingkan pertemuan keduanya musim lalu, situasi kedua tim jauh berbeda.
Ketika itu, tuan rumah tengah bersaing ketat dengan Man City memperebutkan titel juara Premier League. Sementara, Man United yang ditangani pelatih interim Ralf Rangnick tengah bersusah payah memperjuangkan posisi di peringkat keenam.
Sebuah spanduk bertuliskan "imagine being us" (bayangkan menjadi kami) berkibar di The Kop dan Man United pulang dengan kekalahan 0-4.
Kali ini, posisinya relatif terbalik. Adalah Liverpool yang tengah berjuang menembus empat besar. Sedangkan, Man United tengah menikmati `keberuntungan` tangan dingin Erik Ten Hag (yang entah akan bertahan hingga kapan).
Setelah membayangkan diri jadi suporter Liverpool, saya bisa mengatakan dengan tegas bahwa, pada akhirnya, kita semua sama: penikmat sepakbola yang sesekali berada di atas dan sesekali berada di bawah; sambil terus berdoa klub kesayangan punya pemilik yang mau mengelola secara serius dan menjadikan kepentingan klub sebagai prioritas.
Komentar