Federasi Sepakbola Eropa, UEFA, telah menerapkan aturan pelarangan merokok pada partai Final Liga Champions, beberapa pekan silam. UEFA beranggapan, selain merusak paru-paru, asap rokok juga dapat mengganggu orang-orang sekitar, terutama bagi yang tidak merokok.
Organisasi yang dipimpin Michel Platini tersebut ingin membudayakan pentingnya kesehatan dalam olahraga, khususnya sepakbola.
Di Indonesia, jamak ditemui para pemain futsal amatir, yang setelah bermain, kemudian merokok. Padahal, paru-paru serta jantung mereka telah bekerja lebih keras ketika mereka bermain bola. Ini tentu tidak akan membuat mereka lebih sehat. Bahkan, bukan tidak mungkin serangan jantung yang datang tiba-tiba dapat membuat mereka kolaps.
Pemerintah Indonesia, lewat Kementrian Kesehatan, mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang âPengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatanâ.
Di pasal 49, pemerintah mengatur tentang tempat-tempat mana saja yang dilarang untuk merokok. Sayangnya, pemerintah tidak secara spesifik mengatur gelanggang olahraga atau stadion sebagai tempat yang dilarang untuk merokok.
Hal ini menyebabkan berseliwerannya asap rokok di dalam stadion. Meskipun semua stadion sepakbola di Indonesia merupakan areal terbuka, tapi tetap saja asap rokok tersebut sangat mengganggu.
Liga Indonesia tidak bisa lepas dari sponsor rokok. Pada tahun 1994-1996, rokok yang diproduksi Bentoel Group, Dunhill, menjadi sponsor utama liga. Setelah berakhir pada 1996, Liga Indonesia kembali disponsori oleh produk rokok, yakni Kansas.
Sponsor Liga Indonesia sempat sepi dari rokok pada 1997-2004. Pada 2005, Djarum masuk menjadi sponsor utama. Nama liga pun berubah menjadi Liga Djarum Indonesia.
Sponsor rokok pada gelaran olahraga, semata-mata bukan karena niat penyelenggara menginginkan atlet yang bertanding untuk mengonsumsi rokok. Biasanya, ini dipengaruhi oleh minimnya anggaran penyelenggaraan pertandingan, yang mengakibatkan perlunya sponsor sebagai penyokong dana.
Melalui PP No 109/2012 tersebut, mulai tahun 2014, telah diadakan pembatasan untuk iklan rokok. Paling radikal adalah pelarangan perusahaan rokok untuk menjadi sponsor berbagai acara, seperti musik dan olahraga. Pembatasan ini menimbulkan kontroversi karena sejumlah acara internasional menjadi sulit terselenggara tanpa bantuan sponsor rokok.
UEFA berani mengambil langkah untuk melarang siapapun yang merokok pada pertandingan final Liga Champions dan Liga Eropa. Ini dilakukan karena UEFA tidak memiliki masalah dari segi finansial. Sehingga ketika perusahaan rokok dilarang, mereka masih memiliki sponsor lain yang bisa menutupi celah tersebut.
Lalu, bagaimana dengan di Indonesia? Jika diperhatikan, makin banyak anak-anak usia di bawah 15 tahun yang menjadi perokok aktif. Ini tentu saja akan berbanding lurus dengan jumlah perokok aktif pada generasi di atasnya. Artinya, rokok sudah menjadi kebutuhan bagi masyarakat Indonesia. Jika telah kecanduan, akan sulit meminta mereka untuk berhenti.
Setiap 31 Mei, dunia memeringati hari tanpa rokok. Berdasarkan data dari Organisasi Kesehatan Dunia, WHO, setiap tahunnya terdapat 5,4 juta manusia yang meninggal karena rokok. Mereka yakin betul kalau rokok adalah pembunuh berbahaya yang ironisnya, dikonsumsi manusia.
Jika bahaya dari rokok telah terlihat dengan begitu jelas, lantas hingga kapan orang-orang yang membuang asap tembakau di stadion bisa sadar? Kesehatan sendiri saja tidak dipikirkan, apalagi kesehatan orang lain.
Memimpikan stadion sepakbola di Indonesia tanpa asap tembakau, adalah hal yang sulit. Mungkin saja bisa dicapai, tapi tidak dalam waktu dekat ini.
Sumber gambar: thehealthsite.com
[fva]
Komentar