Akuilah Jika Roberto Mancini Adalah Pelatih Berkualitas

Cerita

by Randy Aprialdi

Randy Aprialdi

Pemerhati kultur dan subkultur tribun sepakbola. Italian football enthusiast. Punk and madness from @Panditfootball. Wanna mad with me? please contact Randynteng@gmail.com or follow @Randynteng!

Akuilah Jika Roberto Mancini Adalah Pelatih Berkualitas

Untuk ukuran pelatih yang telah memenangkan dua gelar liga dan tiga piala domestik dari tiga liga berbeda, cukup adil untuk tetap mengkritik Roberto Mancini. Namun, sebenarnya juga masih ada perdebatan tentang seberapa baik kualitasnya.

Jika mengambil contoh, Arrigo Sacchi pernah berkomentar tentangnya, "Roberto memiliki kelas manajemen sebagai manusia dan memanajemen skuatnya. Saya terus berpikir Mancini berada pada harga yang sangat tinggi, tapi dia bisa melakukan lebih. Saya pikir Mancini memiliki permainan yang lebih baik dibandingkan mereka (pelatih lain)," ujarnya dikutip dari Football-Italia.

Komentar tersebut seolah menjadi sesuatu yang baru. Bagi siapa saja yang telah mengikuti jejak manajerial pelatih FC Internazionale Milan itu, Mancini memang dianggap sebagai salah satu pemain terbaik Italia 1990-an. Tapi setiap kesebelasan yang dibesutnya selalu dianggap tidak memiliki estetika yang baik. Langkahnya yang terlalu hati-hati terkadang dianggap memalukan oleh berbagai pihak lain.

"Saya lebih suka diejek tapi pada akhirnya pulang membawa satu poin daripada gawang kami kebobolan tiga gol," katanya sewaktu membawa Manchester City menahan imbang Arsenal di Emirates pada 2011 silam.

Sementara itu, kalimat seperti di atas kembali terepresentasikan bersama Internazionale Milan yang saat ini yang baru mencetak 22 gol dari 16 laga Serie-A 2015/2016. Tapi apakah raihan tersebut mencerminkan jika Mancini bukanlah pelatih yang bagus?

Baca juga : Rencana Mancini, Mengubah Skema Permainan Inter Milan.

Mancini telah memenangkan piala di setiap kesebelasan yang dilatihnya, termasuk menggebrak kembali siklus juara untuk Inter setelah bertahun-tahun kurang prestasi. Ia mempersembahkan scudetto tiga kali berturut-turut, sebelum posisinya digantikan Jose Mourinho.

Raihan treble winners Mourinho merupakan bagian inti dari skuat polesan Mancini. Pada final Liga Champions 2009/2010, lima pesepakbola yang bergabung pada era Mancini berada dalam 11 susunan awal pemain saat itu; Julio Cesar, Douglas Maicon, Walter Samuel, Cristian Chivu, dan Esteban Cambiasso. Bahkan sebenarnya, Mancini jugalah sebagai pelatih pertama yang mulai memaksimalkan peran Javier Zanetti di lini tengah, bukan full-back kanan yang biasa diperankannya.

Ketika pindah ke Manchester City, musim perdananya ia gagal lolos ke zona Liga Champions karena perbedaan tiga poin dengan Tottenham Hotspur. Tapi musim selanjutnya ia berhasil membawa City juara Piala FA, kemudian juga ia menjuarai Liga Primer Inggris pada tahun ketiganya.

Musim keempatnya memang berakhir mengecewakan, tapi setidaknya ia berhasil menembus final Piala FA. Mancini pun menunjukan nafsu gelarnya ketika melatih Galatasaray sejak 2013. Di sana, mantan pemain Sampdoria ini memenangkan Piala Turki 2013/2014.

Jumlah 13 piala dalam 14 tahun ini bukan berarti prestasi yang harus diolok-olok bukan? Satu hal yang selalu membuat sinis kepadanya hanyalah kurangnya prestasi di kompetisi antar kesebelasan Eropa. Itu memang kritik yang adil, tapi kita juga harus berkaca bagaimana Mourinho berjuang di musim perdananya di Inter atau Manuel Pellegrini yang sampai saat ini belum berhasil membawa City tampil mulus di Eropa. Cerminan-cerminan tersebut menjadi semakin jelas, tapi tidak cukup sederhana.

Musim ini Mancini telah menunjukan fleksibilitas taktis yang besar dalam menggunakan formasi berbeda-beda. Terkadang 4-3-1-2, 3-5-2, 4-3-3, bahkan ketika mengalahkan Udinese pada dini hari kemarin, Mancini menerapkan formasi 4-2-3-1. Dirinya menunjukan jika hal paling penting membangun skuat adalah bermain dengan kepercayaan diri dan konsistensi.

Ketika sepakbola semakin demam dengan tiki-taka dan gegenpressing, Mancini mengembalikan sebuah permainan dengan gaya pertahanan yang solid. Kesebelasan Mancini mungkin tidak bermain sepakbola dengan cantik, tapi ia tahu bagaimana membuat sebuah kesebelasan yang berjuang untuk satu sama lain dan mengeluarkan kekuatan penuh untuk 90 menit. Baginya tidak ada pujian untuk kesebelasan berjuluk I Nerazzurri tersebut. Mancini lebih menyukai kemenangan daripada pujian.

"Udinese berada dalam periode yang baik, mereka memiliki pemain bagus dan pelatih yang berpengalaman. Ini harus menjadi pertandingan yang besar. Tidak ada pertaandingan yang mudah di Italia jika Anda tidak melakukannya dengan cara yang benar," ujarnya sebelum menghadapi Udinese.

Baca juga : Adem Ljajic, Penebus Dosa Lini Depan Inter Milan.

Sejauh ini memang ia tidak pernah terlihat meremehkan lawan. Lantas Mancini menerapkan skema 4-2-3-1 yang baru digunakan sejak mengalahkan Genoa pada partai sebelumnya. Akhirnya, Inter mengalahkan Udinese dengan skor 4-0.

Musim ini memang masih panjang, tapi sedikit demi sedikit, Nerazzurri mencoba meraih puncaknya. Inter sangat baik sampai sejauh ini. Setidaknya sampai musim dingin mendatang. Ini semua seolah menjadi tanda jika Mancini akan melakukan pengulangan ketika ia berhasil meraih scudetto pertama pada 2004/2005.

Sumber lain: Soccerway, Wikipedia

Komentar