Atletico Madrid dan Kesialan 40 Tahun

Cerita

by redaksi

Atletico Madrid dan Kesialan 40 Tahun

Tak semata mengejar gelar. Kedatangan Atletico Madrid ke Lisbon juga hendak mengubah predikat.

Ini adalah partai final Liga Champions kedua bagi Atletico Madrid. Sebelumnya, Los Rojiblancos, pernah juga masuk final kompetisi tertinggi di tanah Eropa itu. Pada tahun 1974 tepatnya, empat puluh tahun yang lalu. Saat Liga Champions masih bernama European Cup. Pada final 1974, Atleti bertemu dengan salah satu raksasa Jerman, Bayern Munich.

Partai final itu berjalan alot. Dalam 2x45 menit, keduanya tak mampu mencetak angka. Pertandingan pun dilanjutkan dengan perpanjangan waktu.

Pada masa perpanjngan waktu, di luar dugaan, Atleti bisa mencuri angka terlebih dahulu lewat gol Luis Aragones pada menit 114.  Pendukung Los Rojiblancos yang memadati stadion Heysel di kota Brussels pun sontak bersorak. Mereka semua bersuka cita, seakan tak percaya, bahwasanya mereka akan menjadi jawara Eropa.

Namun, sorak-sorai fans Atleti tak bertahan lama, dan dalam sekejap berubah menjadi pilu. Pasalnya, bek Munich, Hans-georg Schwarzenbeck berhasil mencetak skor penyama di penghujung laga. Bayern Munich 1-1 Atletico Madrid.

Pendukung Atletico pun menjadi lemas manakala mereka melihat papa skor. Mereka seakan tak percaya. Kemenangan yang sudah di depan mata, menguap begitu saja. Tak hanya fans yang kecewa, pemian Atleti juga kecewa. “Sebenarnya, trofi itu sudah ada dalam genggaman kami,” sesal Miguel Reina, ayah dari Pepe Reina, seusai pertandingan itu.

Lantaran pada masa itu belum mengenal babak adu penalti, maka pertandingan pun dilanjutkan dengan partai ulangan. Partai ulangan tersebut digelar dua hari setelah partai perdana, tepatnya 17 Mei 1994. Tempatnya  masih sama, stadion Heysel. Yang berbeda hanya wasit yang memimpin. Jika pada pertandingan awal dipimpin oleh Vital Loraux, pada partai replay dipimpin oleh Alferd Delcourt.

Namun celaka bagi Atletico. Minimnya masa pemulihan stamina berdampak pada peforma anak Juan Carlos Lorenzo kala itu.

Berbeda dengan final pertama, pada match replay Atleti tak berdaya menghadapi gempuran Franz Beckenbauer cs. Alhasil, Miguel Reina dipaksa memungut bola dari gawangnya sebanyak empat kali. Dua kali oleh goal Uli Hoeness, dua kali oleh goal Gerd Muller.

Sungguh sial Rojiblancos kala itu. Sampai-sampai presiden klub mereka kala itu, Vicente Calderon, memberi predikat “Tim yang Sial”.

Memang, sejak saat itu sampai sekarang, dalam kurun waktu 40 tahun Atleti memenangi 10 gelar La Liga, 10  gelar Copa del Reys, satu Piala Winners Cup, dua Liga Europa dan dua Piala Super Eropa. Namun, sejak ucapan “Tim yang Sial” keluar dari mulut Calderon, Atletico tak pernah merasakan meriahnya partai final Liga Champions.

Dan kini, di tangan Diego Simione, si Kepompong dari Madrid itu kembali berhasil mencapai final Liga Champions. Lantas mampukah Simione mencopot predikat sebagai “Tim yang Sial”?

Pasalnya, Diego Simione dan Juan Carlos Lorenzo berasal dari negara yang sama, yaitu Argentina. Gaya permainan yang diusung keduanya pun tak jauh berbeda. Sama-sama mengandalkan serangan balik.

Ya, di pundak Simione-lah beban berat itu diletakkan. Mau tidak mau, siap tidak siap, predikat “Tim yang Sial” harus diganti dengan “Tim yang Beruntung”.

(mul)

Komentar