Saat kita berbicara mengaitkan antara sepakbola dan masyarakat kelas pekerja alias buruh maka kita harus berbicara tentang sepakbola Inggris. Karena disanalah sepakbola lahir, kelas pekerja ikut mempopulerkan sepakbola dan disana pula basis pendukung dari kelas pekerja di singkirkan.
Dengan gaji pemain mencapai £ 200.000 seminggu, transfer antar pemain lebih dari £ 50m dan harga tiket pertandingan mencapai £ 126, mungkinkah sepak bola di Inggris masih dianggap sebagai olahraga kelas pekerja?
Ahli Ekonomi dari Coventry University Dr John Bech mengatakan bahwa di zaman modern sekarang sepakbola tak hanya menarik bagi kelas pekerja saja. Kalangan menengah atas pun mulai menggemari sepakbola, tak hanya sekedar mendukung tapi terlibat langsung didalamnya termasuk berinvestasi mengeruk keutungan dari sepakbola.
Hal inilah yang dikhawatirkan oleh Dr Bech. Klub selalu ditekan untuk menjadikan pendukunya sebagai perah. "Mereka ditekan untuk menghasilkan pendapatan lebih agar dapat bersaing di tingkat tertinggi, semakin tinggi maka semakin banyak uang yang akan didapat. Pada ujungnya kaum borjuis dan kapitalislah yang akan mendapatkan keuntungan secara materi. Mereka memperalat fanatisme fans menjadi pundi-pundi uang yang mereka rasakan sendiri," katanya.
Ia mengatakan Sepakbola di masa lalu dan kini sudahlah amat jauh berbeda. Hubungan sepakbola dan uang lebih erat dibandingkan era sebelumnya. Sepakbola adalah identitas dan bentuk rasa cinta para kelas pekerja terhadap sesuatu hal berbau maskulinitas yang memang jadi selalu dilekatkan dalam diri mereka.
Bagaimanapun juga cinta akan mampu mengalahkan perhitungan biaya dukungan kepada klub yang tentu saja menguras dompet. Tapi jika menilik harga tiket yang semakin mahal Dr Bech menegaskan lama kelamaan orang akan jemu, alhasil mereka akan lebih selektif kapan dan bagaimana harus mendukung klub yang mereka bela.
Di Inggris bibit-bibit ini sudah mulai terlihat, saat pada pertandingan klub-klub besar seperti Chelsea atau Manchester United lebih banyak turis ketimbang penduduk lokal. Penduduk lokal, yang dulunya duduk di sektor yang sama dengan orang-orang yang mereka kenal, rekan-rekan kerja atau para tetangganya, kini harus terbiasa menemui wajah-wajah asing yang tak dikenal. Kursi-kursi di stadion mulai disesaki oleh para turis yang berlagak seperti konsumen.
Ekspansi ke dunia luar tentu satu-satunya solusi. Imbasnya kepentingan fans lokal yang didominasi kelas buruh harus dikesampingkan demi pundi-pundi keuntungan yang lebih besar dari para pendukung kalangan menengah.
(wam)
Komentar