Sepakbola modern telah mengubah konsep permainan olahraga menjadi sebuah tontonan hiburan. Untuk satu partai Liga Inggris misalnya, akan ada puluhan kamera yang siap menyorot setiap sudut lapangan. Menyiarkan ke jutaan pemirsa di televisi setiap aksi, mulai dari sekadar pemain menggiring bola hingga potongan rumput yang ikut melayang terkena sapuan tendangan.
Jangan lupakan juga mengenai detail suara, dari nyanyian suporter hingga bunyi bola masuk ke gawang. Dampaknya adalah sebuah tayangan yang berkualitas dengan menempatkan penonton di rumah seakan sedang ikut hadir di stadion. Beberapa bahkan sampai lupa dengan ikut menyalakan flare di depan layar besar nonton bareng. Tetapi bagi pelaku sepakbola hal ini justru semakin menyulitkan karena semua tindakannya akan mudah terekam kamera.
Tak sedikit hasil rekaman ini membuat mereka tersandung kasus pasca pertandingan. Jangankan menginjak kaki lawan dengan sengaja, urusan saling ludah saja sudah bisa menyeret para pemain ke sebuah sanksi karena juga terekam dengan jelas.
Menilai sebuah pelanggaran pemain dari sebuah tayangan ulang menjadi sesuatu yang lazim. Aturan dari beberapa otritas liga atau federasi tentang hal ini bahkan sudah dipatenkan. Pemain dapat menerima hukuman tambahan atau pengurangan dari sebuah tayangan ulang. Seperti hukuman Ibrahimovic pasca menerima kartu merah saat melawan Chelsea di UCL beberapa waktu lalu, hasil sidang menyatakan penyerang Swedia tersebut hanya menerima larangan bermain satu laga saja.
Wasit Bodoh vs Teknologi Pintar
Tidak mudah untuk menjadi seorang wasit, ia harus memberi sebuah keputusan dalam hitungan beberapa detik saja. Menilai sebuah kejadian lewat sepasang mata dengan dibantu dua asistennya. Sehingga setiap keputusan yang diambil tidak selalu tepat secara aturan karena keterbatasan pandangan.
Bandingkan dengan tayangan ulang televisi yang mempunyai paling tidak hingga lima sudut pandang sekaligus. Juga belum menghitung kualitas gambarnya yang semakin tajam dengan sudut pandang sedekat mungkin. Hal ini terkadang membuat wasit semakin lama terlihat bodoh di mata pemirsa televisi.
Kondisi tersebut memaksa penggunaan teknologi seolah mau tidak mau harus dihadirkan dalam permainan sepakbola. Argumen bahwa sepakbola harus tetap manusiawi agar menarik, sampai batas tertentu bahkan dapat dibantah. Membicarakan gol tangan Tuhan dari Maradona adalah hal menarik.
Tetapi terus menerus melihat tangan-tangan Tuhan lain yang muncul akan membuatnya menjadi tangan Hantu, menjengkelkan. Tidak ada data pasti yang menyatakan mutu wasit terus menurun setiap tahunnya, namun kenapa kebutuhan akan teknologi justru semakin deras permintaannya?
Sssstt Kita Masuk TV
Pernahkah anda menyadari ketika pemain saling berbicara mereka kerap menutup mulutnya dengan tangan? Tentu bukan karena mulut mereka bau lantaran lupa menggosok gigi, para pemain tersebut takut perkataannya didengar oleh banyak orang.
Suara pembicaraan tersebut memang akan sulit terdengar langsung, tetapi mereka takut didengar oleh para pembaca gerak bibir. Kasus terbaru adalah sang pemain terbaik dunia Cristiano Ronaldo, ia tertangkap kamera mengumpat ke timnya sendiri. Perkataan Ronaldo tersebut terjadi seusai Real Madrid dikalahkan Barcelona.
Sambil berjalan menuju ruang ganti ia berkata "Nos cagamos todos!," yang artinya, "kita semua sampah!". Padahal sebelumnya Ronaldo juga terlihat dalam tayangan ulang menghina wasit usai menerima kartu karena dianggap diving. 'Hei Mateu! Suka? Kamu suka ini ?' sambil memegang kemaluannya di hadapan sang wasit.
Para pembaca bibir ini memang beragam latar belakang, dari mulai media, profesional, hingga penonton iseng yang mengunggahnya di Youtube. Contohnya adalah kasus perkataan rasis John Terry ke Anton Ferdinand hingga tandukan Zidane ke Materazzi, pihak penyelidik mengundang khusus ahli pembaca gerak bibir profesional. Tujuannya tentu untuk mengetahui apa sebenarnya kata yang keluar dari mulut sang pemain.
Parahnya para media atau penonton di rumah belum tentu paham dengan topik dan tujuan sebenarnya perkataan tersebut. Sehingga dikhawatirkan akan membuat salah persepsi. Kata-kata kasar yang keluar bisa jadi hanya bahan bercandaan dengan rekannya atau konteks lain yang tidak separah yang dibayangkan.
Meski hanya sebagai penonton, David Beckham tetap mendapat sorotan. Tetapi sebagai megabintang ia dan anaknya tahu bagaimana cara menghindarinya, tutup mulut.
Komentar