Dampak Ekonomi pada Kenaikan Gaji Pesepakbola

Cerita

by Redaksi 46

Redaksi 46

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Dampak Ekonomi pada Kenaikan Gaji Pesepakbola

Kenaikan gaji pesepakbola sebenarnya hanya menguntungkan klub besar dan pesepakbola itu sendiri. Gaji Wayne Rooney yang mencapai 300 ribu pounds per Minggu. Selain Manchester United, berapa banyak klub yang sanggup membayar gajinya?

Ketika sebuah klub besar pesonanya mulai turun dan menghilang, apa yang biasa dilakukan klub? Ya, membeli pemain menjadi pilihan yang biasa dilakukan. Pola seperti ini sudah biasa terjadi, seperti yang United lakukan saat ini. Mereka membeli Luke Shaw 33 juta pounds, Ander Herrera 31 juta pounds, Marcos Rojo 17,6 juta pounds, dan Angel Di Maria 65,96 juta pounds.

Sekilas, dengan total pembelian yang hampir 150 juta pounds dalam musim ini, United harusnya mengalami kerugian. Jumlah penjualan pemain mereka hanya 8 juta pounds, bahkan tidak sampai sepersepuluhnya. Namun, kerugian ini bisa ditutup karena revenue The Reds Devil musim lalu mencapai 363 juta pounds.

Siapa yang rugi? Klub kecil dan suporter. Ini merupakan dampak jangka panjang yang mau tidak mau akan terus terjadi.

Pemenang South African Blog Social Media Correspondent of the Year 2013, Antoinette Muller, mengingatkan bahwa kenaikan gaji ini tidak berarti naiknya nilai ekonomi dalam sepakbola. Setiap tahun jumlah uang yang dihabiskan untuk membeli pemain semakin meningkat.

Ia mencontohkan apa yang dilakukan Middlesbrough pada 1905. Tim yang biasanya langganan papan bawah ini akhirnya merekrut Alf Commons seharga 1000 pounds. Setelah rekrutan tersebut, Middlesbrough mulai beranjak ke papan tengah. Diakui atau tidak, uang terkadang bisa membeli kesuksesan.

Saat itu, Federasi Sepakbola Inggris, FA marah. Mereka beranggapan pembelian pemain seperti itu adalah hal yang tidak sportif dan tidak pantas.

Pada Januari 1908, pembatasan nilai transfer mulai dilakukan. Saat itu FA membatasi transfer maksimal 350 pounds. Aturan tersebut nyatanya hanya berlaku selama empat bulan. Tahun berikutnya, Andy McCombie dikontrak Newcastle United dengan nilai 700 pounds, sebuah rekor transfer dunia pada saat itu.

Upah pemain pun berada dalam pengawasan. Pada 1922, FA mengatur nilai maksimal gaji yakni delapan pounds per minggu.

Pada 1950-an, rata-rata gaji pemain Liga Inggris sekitar 1.677 pounds per pekan. Ini sudah termasuk  bonus dan gaji membela timnas. Meski terlihat kecil, tapi nominal sebesar itu sama dengan 75 ribu pounds pada masa kini. Nominal mata uang selalu mengalami kenaikan, tapi nilainya tidak akan terlalu jauh berbeda.

Saat ini, gaji tahunan rata-rata pekerja  Inggris sekitar 26 ribu pounds. Di sepakbola ada sejumlah pemain yang mendapatkan nilai tersebut hanya dalam satu hari. Nilai yang teramat fantastis.

Kenaikan gaji ini tidak bisa semata menyalahkan agen atau pemain itu sendiri. Misalnya, Liverpool menggaji Andy Caroll dengan nilai 80 ribu pounds per pekan. Nilai ini dianggap terlalu tinggi melihat banyak yang kecewa terhadap performa bekas bomber Newcastle United ini. Klub-lah yang seharusnya disalahkan karena tidak mengamati dengan baik potensi pemain jika yang bersangkutan bergabung. Klub terkesan asal dengan merekrut pemain yang berjaya di tim lain, tanpa pernah memperhitungkan untung-ruginya bagi klub itu sendiri.

Dalam laporan Deloitte Annual Review of Football Finance tahun 2013 terjadi  kenaikan upah pemain di Premier League sebesar empat persen. Sebelumnya, pada musim 2011/2012 total gaji pemain selama satu musim diperkirakan mencapai 1,6 miliar pounds! Ini yang membuat revenue sejumlah klub terpotong hingga 70 persen demi membayar gaji pemain.

Hal serupa juga ditemui di liga-liga lain. Uang dan pemain top seperti sahabat lama. Keterkaitan seperti ini membuat adanya kesenjangan antara pesepakbola yang bermain di klub papan atas, dengan pesepakbola di klub medioker.

Jurang perbedaan ini semakin membagi-bagi klub ke dalam “yang kaya” dan “yang miskin”. Dampaknya tentu saja pada penggemar. Ketika kenaikan tiket sudah di atas rata-rata, working class fans-lah yang paling menderita.

“Mengeksploitasi klub dengan meningkatkan upah pemain, baik karena kebodohan atau rasa putus asa, adalah bentuk menciptakan kepalsuan dan merusak ekonomi itu sendiri. Ini malah mengabadikan kompetisi yang tidak seimbang di Premier League,” tulis Antoinette.

Setiap pekan, uang yang susah payah didapatkan fans untuk membeli tiket mahal itu, malah menjadikan kompetisi kian tak imbang. Penggemar dari seluruh dunia, sengaja mengumpulkan uang untuk membeli jersey klub idolanya, yang percaya atau tidak, setiap tahun selalu mengalami kenaikan harga. Jika mereka tahu, ke mana uang tersebut bermuara—pembelian pemain dengan harga mahal dengan cara terburu-buru dan asal—tentu mereka akan berpikir ulang. Apakah pembelian Fernando Torres membuat lini depan Chelsea mampu mencetak 200 gol dalam satu musim? Atau apakah pembelian Andy Caroll dapat mengganti sosok monster pembunuh yang dimiliki Torres? Bisa dibilang, pembelian dua pemain tersebut adalah hal yang sia-sia. Ya, dan pihak klub menggunakan uang hasil tiket untuk membeli semua itu.

Upah pemain akan selalu naik dan naik setiap waktu. Ini hanya akan berhenti jika fans dan pemilik mencapai titik jenuh dengan menyatakan ketidaksetujuan akan hal itu, dengan memboikot misalnya. Namun, untuk saat ini hal tersebut belum bisa dilakukan, karena kecintaan fans pada klub adalah candu yang tidak ada obatnya.

Pembatasan gaji dirasa cukup perlu. Ini untuk menekan pengeluaran klub yang nantinya berdampak pada kenaikan harga tiket dan merchandise. Karena sepakbola adalah candu, orang pintar pun menjadi kurang waras, dalam membelanjakan uangnya. Jika gaji terus-terusan naik, ini merupakan kabar buruk bagi fans. Ya, selamat menjadi sapi perah.

Sumber gambar: hazemiai.blogspot.com

Komentar