John Martin Bokas Wallace Ãâ Jock Wallace Ãâ bukan manajer sembarangan. Ia memanfaatkan kekayaan alam pantai Gullane di Edinburgh untuk membentuk ketangguhan fisik para pemain Rangers. Sains, dalam kebijakan diet ketat, juga menjadi senjata andalannya. Sepuluh gelar juara, termasuk dua treble pada 1976 dan 1978, menjadi bukti tak terbantahkan dari kehebatannya menangani kesebelasan sepakbola profesional.
Namun pada Januari 1981, pada pertengahan musim ketiganya bersama Leicester City (musim pertamanya di First Division setelah berhasil membawa Leicester memenangi Second Division musim 1979/80), Wallace melihat kesebelasannya menduduki peringkat ke-22. Peringkat terbawah. Ia membawa serta semua kunci suksesnya di Rangers ke Leicester. Permasalahannya: Leicester dipenuhi para pemain muda. Wallace menguasai ruang ganti namun tidak memiliki perpanjangan tangan di lapangan. Wallace membutuhkan pemain senior untuk membimbing para pemainnya.
Di saat yang bersamaan, Johan Cruyff sedang mencari jalan kembali ke Eropa setelah Washington Diplomats, kesebelasan North American Soccer League (NASL) yang ia bela, bangkrut. Arsenal tertarik membawa Cruyff ke London, namun mereka hanya ingin merekrut sang legenda hidup yang sudah berusia 33 tahun di awal musim 1981/82 dengan catatan sepanjang sisa musim 1980/81 Cruyff mampu membuktikan diri masih layak bermain di level tertinggi. Leicester pun dengan sendirinya menjadi pilihan tepat. Terlebih lagi Wallace dan Cruyff menjalin hubungan baik sejak keduanya berjumpa di pertandingan European Super Cup 1973; Cruyff bersama Ajax mengalahkan Rangers-nya Wallace 3-1 di leg pertama dan 3-2 di leg kedua. Wallace menghubungi Cruyff dan Cruyff menyatakan tertarik terhadap penawaran Wallace.
Kesepakatan tidak langsung terjalin karena honor Cruyff tidak murah. Sementara Wallace meyakinkan dewan direksi sembari terus menjaga komunikasi dengan Cruyff, Levante bergerak. Seperti Leicester, Levante juga membutuhkan Cruyff untuk mendongkrak performa.
Perbedaannya, sementara Leicester menghindari degradasi dari First Division, Levante mengincar promosi dari Segunda División. Tidak bermain di divisi tertinggi menjadi kelemahan tersendiri bagi Levante dalam perburuan tanda tangan Cruyff, namun secara geografis mereka diuntungkan. Cruyff sangat suka cuaca Spanyol yang hangat.
Bahkan sebelum Cruyff bergabung efeknya telah terasa. Semangat para pemain Leicester meningkat begitu Wallace mengumumkan rencananya merekrut Cruyff kepada mereka. Hasilnya, Leicester menang 2-1 melawan Liverpool di Anfield pada 31 Januari 1981. Sebuah kemenangan yang nilainya jauh lebih besar dari hasil akhir dan raihan angka.
Leicester, kesebelasan promosi penghuni dasar klasemen, menang melawan juara bertahan First Division yang dalam tiga tahun terakhir belum pernah kalah di kandang. Dalam 85 pertandingan selama tiga tahun tersebut Liverpool hanya kebobolan 35 kali. Dua kemenangan lain mengikuti setelahnya: 1-0 atas Manchester United dan 2-1 atas Tottenham Hotspur. Di antara kemenangan atas United dan Tottenham, Leicester kalah melawan Sunderland. Namun sembilan dari 12 poin yang mungkin diraih membawa Leicester keluar dari zona degradasi.
Awal Februari 1981 Cruyff mempertimbangkan tawaran-tawaran yang masuk. Dewan direksi Leicester, setelah berhitung, sepakat untuk mengabulkan permohonan Wallace. Mereka sanggup membayar Cruyff 4.000 poundsterling per pertandingan untuk sebelas laga.
Pada 25 Februari, Sun mewartakan kemungkinan Cruyff bergabung dengan Leicester seperti sesuatu yang sudah pasti. Mereka mengklaim Cruyff siap bertanding melawan Nottingham Forest pada 28 Februari.
Yang Sun tidak tahu, Cruyff mendarat di bandara Manises, Valencia untuk menandatangani kontrak di Levante. Pertandingan pertama Cruyff setelah kembali ke Eropa adalah melawan Palencia di Segunda División, bukan melawan Nottingham di First Division. Pada 1 Maret, bukan 28 Februari. Levante menang 1-0 sementara Leicester berbagi angka dengan Nottingham dalam pertandingan yang berakhir dengan kedudukan 1-1.
Patah hati atas kegagalan bergabungnya Cruyff membuat Leicester hanya mampu memenangi empat dari sepuluh pertandingan tersisa. Mereka kembali ke Second Division di akhir musim setelah hanya mampu menduduki peringkat ke-21. Sementara itu di Spanyol, Levante juga gagal meraih promosi. Mereka menduduki peringkat keempat sebelum Cruyff datang, namun merosot ke peringkat sembilan setelah Cruyff bergabung.
Kekhawatiran Cruyff mengenai kualitas lapangan Segunda División yang bisa membuatnya mudah cedera terbukti benar. Ia banyak menepi dan karenanya tak banyak membantu. Itu saja, sebenarnya, tidak apa-apa. Yang parah adalah Cruyff mengambil alih kewenangan memilih susunan pemain Levante dalam sembilan pertandingan tersisa Segunda División.
Secara matematis Levante tersingkir dari perburuan zona promosi di pekan ke-35 (dari 38), ketika kalah 1-3 di kandang Linares. Dalam pertandingan tersebut, baik pendukung Levante atau Linares sama-sama mencemooh Cruyff.
Mungkin ceritanya akan berbeda jika Cruyff bergabung dengan Leicester. Mungkin kualitas lapangan First Division tak akan membuatnya cedera. Mungkin hubungan baiknya dengan Wallace tak akan membuat Cruyff mengambil alih kewenangan menentukan susunan pemain. Mungkin Cruyff bisa menyelamatkan Leicester dari ancaman degradasi. Namun, nyatanya bukan itu yang terjadi. Selamanya Cruyff akan dikenang sebagai legenda yang gagal menyelamatkan Leicester dan memperburuk situasi Levante.
Sumber utama cerita ini adalah tulisan Jeff Livingston mengenai Johan Cruyff dan Leicester City, dimuat di In Bed with Maradona.
Foto: wikimedia
Komentar