Piala Dunia 2014 menjadi penampilan ke-5 Jepang dalam gelaran empat tahunan tersebut.  Tiket babak final Piala Dunia 2014 berhasil mereka raih setelah di babak kualifikasi final grup, Jepang berada di posisi teratas. Skuat The Blue Samurai tergabung ke dalam grup yang terdiri dari Australia, Uzbekistan, Korea Utara dan Tajikistan.
Jepang tentunya tak serta merta menjadi negara yang bisa berbicara banyak di kancah sepakbola internasional. Jauh dari hari ini, prestasi Jepang sangatlah memprihatinkan. Pencapaian terbaik mereka hanya meraih perunggu pada Olimpiade 1938. Bahkan mereka baru tampil di Piala Asia pada 1975. Prestasi tersebut tentunya masih kalah jauh dengan Iran dan Korea Selatan yang bergantian merajai Asia.
Membenahi kejuaraan sepakbola antar SMA menjadi salah satu solusi Jepang untuk menjawab permasalahan prestasi tim nasionalnya. Kejuaraan nasional yang sejatinya sudah diberlakukan sejak tahun 1917 ini mulai digarap lebih serius melalui sebuah visi bernama The One Hundred Year Vision. Dalam 100 tahun, Jepang diharapkan bisa menjadi sebuah negara maju lewat sepakbola.
Untuk mewujudkannya, Jepang menerapkan sistem yang sama dengan sistem sepakbola di Eropa, tepatnya sepakbola Jerman. Sepakbola Jerman mengelola klub sepakbolanya secara mengakar dari masyarakatnya.
Klub-klub profesional Jerman merupakan klub yang komprehensif di mana seluruh masyarakat, baik dari anak-anak hingga orang tua, bisa mendapatkan keuntungan langsung dengan adanya klub tesebut. Dengan seperti ini, masyarakat diharapkan bisa menikmati dan mendukung klub tersebut. Ini artinya, semua pihak ikut terlibat dalam terwujudnya visi ini.
Oleh karena itulah JFA mewajibkan setiap klub J-League untuk lebih bermasyarakat seperti yang dilakukan klub-klub profesional Jerman. Klub-klub tersebut kemudian memfasilitasi sekolah lokal di mana klub tersebut berada. Lewat klub J-League, JFA menawarkan para usia muda agar lebih mengembangkan bakat sepakbolanya sejak dini tanpa harus meninggalkan sekolah.
Sebagai contoh, SMA Kashima menjadi tim yang kuat dan selalu masuk ke kejuaraan nasional. Para pemain SMA Kashima sendiri merupakan lulusan dari SMP Kashima. Seluruh murid di sekolah tersebut dilatih oleh staf kepelatihan pengembangan usia muda yang berasal dari klub profesional Kashima Antlers.
Ternyata sistem ini membuat sepakbola antar SMA menjadi daya tarik baru bagi masyarakat Jepang. Pertandingan pembuka dan penutup yang digelar di Tokyo National Stadium, hampir selalu dipadati 40.000 penonton. Bahkan pada beberapa kesempatan, semua tiket bisa terjual habis.
Dengan All High School Tournament yang digelar dan diberitakan secara nasional, para pemain menjadi lebih bersemangat dan serius, baik ketika latihan maupun ketika pertandingan resmi berlangsung. Karena selain disaksikan oleh seluruh masyarakat Jepang, kejuaraan ini juga menjadi ajang para scouting klub profesional untuk mencari pemain muda berbakat untuk timnya.
Kompetisi antar sekolah yang berhasil menelurkan banyak bibit-bibit sepakbola Jepang ini tentunya mempunyai sisi positif dan negatifnya. Di satu sisi, popularitas kompetisi ini membuat hampir semua sekolah yang ada di Jepang untuk berlomba-lomba memperbaiki kualitas sepakbolanya. Namun dibalik buah manis yang didapat ini ternyata terselip kisah pahit di lingkungan sekolah-sekolah di Jepang.
Meningkatnya gengsi kompetisi ini membuat banyak sekolah yang sangat berambisi untuk bisa berprestasi. Dari sini kemudian banyak sekolah yang sampai menerapkan sistem militer untuk melatih sepakbola para siswanya.Beberapa peraturan seperti larangan mengkonsumsi junk food, larangan berpacaran, larangan membawa ponsel, hingga penyeragaman gaya rambut diberlakukan beberapa sekolah.
Tujuan awalnya memang untuk meningkatkan kualitas para pemainnya, namun kemudian diterapkan secara berlebihan sehingga memberikan tekanan yang sangat besar bagi para siswa.Jika ada yang tak mematuhi peraturan, bukan hanya satu orang yang dihukum, tapi seluruh anggota tim. Biasanya hukuman yang diterapkan adalah berlari mengelilingi lapangan tanpa menggunakan sepatu. Tapi tak sedikit juga yang menggunakan cara kekerasan.
Namun lagi-lagi, orang-orang jepang bukan manusia yang akan langsung jatuh ketika diberikan tekanan. Nilai-nilai pengorbanan dan kerja keras yang sudah ditanamkan sejak masa nenek moyang mereka membuat para siswa justru semakin terpacu menghadapi perlakukan keras dari sekolah. Sebagian besar murid sudah mengerti atas kedisiplinan yang diterapkan di sekolahnya. Mereka tahu bahwa konsekuensi ini memang harus mereka hadapi jika mereka serius ingin menjadi pemain sepakbola yang berkualitas.
Apa yang dilakukan Jepang ini tentunya sangat berbeda dengan yang terjadi di Indonesia. Indonesia hanya mengandalkan Sekolah Sepak Bola (SSB) sebagai sumber utama pencetak pesepakbola profesional.
Namun, jika sistem ala Jepang di atas diterapkan di Indonesia pun belum tentu hasilnya akan sama. Karena sistem yang diterapkan di Jepang itu didukung oleh sekolah-sekolah yang memiliki lapangan sepakbola pribadi. Sedangkan di Indonesia, jangankan untuk sekolah-sekolah, lapangan sepakbola umum pun terbilang minim. Tapi jika kejuaraan antar SMA ini diterapkan di Indonesia, minimal tak perlu membuat Coach Indra Sjafri belusukan ke daerah terpencil untuk menemukan Evan Dimas baru.
foto: commons.wikimedia.org
[ar]
Komentar