Kisah Perjalanan Pahlawan Sevilla, Carlos Bacca

Cerita

by Ardy Nurhadi Shufi

Ardy Nurhadi Shufi

Juru Taktik Amatir
ardynshufi@gmail.com

Kisah Perjalanan Pahlawan Sevilla, Carlos Bacca

Menjadi juara Europa League bukanlah yang pertama bagi kesebelasan asal Spanyol, Sevilla. Dalam sejarah kompetisi tertinggi kedua di Eropa tersebut, telah tiga kali kesebelasan berjuluk Los Rojiblancos ini meraih gelar juara.

Kemenangan yang diraih Sevilla pada dini hari tadi (28/5) atas Dnipro Dnipropetrovsk pada partai puncak Europa League musim ini tentunya menambah koleksi trofi Europa League mereka menjadi empat. Jumlah ini kemudian merupakan yang terbanyak dalam sepanjang sejarah Europa League.

Dalam kemenangan Sevilla dengan skor 3-2 tersebut, terdapat satu pemain yang layak dijadikan pahlawan. Ia adalah Carlos Bacca. Penyerang asal Kolombia berusia 28 tahun ini mencetak dua gol dan satu assist. Ini artinya, ia berandil besar atas terciptanya ketiga gol yang mengandaskan perlawanan sengit Dnipro. Tak heran ia dinobatkan sebagai man of the match pada laga ini oleh UEFA.

Bacca tentunya ikut larut dengan euforia kemenangan Sevilla semalam. Meski trofi Europa League malam tadi merupakan yang kedua baginya (trofi pertamanya juga diraih bersama Sevilla pada musim lalu), trofi tersebut menjadi lebih spesial karena ia menjadi tokoh utama kemenangan Sevilla.

Hal tersebut bukan tanpa alasan. Karena untuk mencapai titik ini, Bacca telah melewati perjalanan berat dalam hidupnya. Bahkan sebelumnya, ia tak terpikirkan untuk berkarir sebagai pesepakbola profesional. Jauh sebelum sepakbola menjadi tempatnya berkarir, Bacca sempat harus berjibaku dengan kemiskinan.

Lahir di Keluarga Miskin

Jika James Rodriguez lahir di sebuah kota metropolitan, Kukuta, atau Falcao yang lahir di kota tujuan turis, Santa Marta, Bacca lahir di salah satu kota miskin di Kolombia, Puerto Colombia. Kondisi finansial keluarganya yang miskin inilah yang membuatnya tak seperti kebanyakan para pemain bertalenta di mana sudah mengikuti akademi sepakbola sejak kecil. Bacca hanyalah pesepakbola jalanan hingga usianya mencapai 20 tahun.

Pada usia tersebut, ia pun mencari nafkah untuk dirinya sendiri dan keluarga dengan menjadi kernet bus. Saat itu, tak pernah terpikir baginya untuk berkari menjadi pesepakbola. Yang ia pikirkan saat itu adalah untuk terus mencari uang, untuk menyambung hidupnya dan keluarganya.

“Saya masih berusia 20 tahun dan berada di kampung halaman saya, Puerto Colombia. Saat itu saya bekerja sebagai kernet bus. Kehidupan saya saat itu jauh dari kata mudah. Itu semua karena saya terlahir dari keluarga miskin,” ujar Bacca pada harian Marca, 2013 lalu.

Namun pada tahun yang sama, 2006, ia pun mencoba peruntungan dengan melakukan trial bersama Atletico Junior. Junior sendiri merupakan kesebelasan yang berasal dari kota tetangga Puerto Colombia, Baranquilla.

“Pintu untuk berkarir di sepakbola seperti sudah tertutup bagi saya melihat usia saya saat itu. Saya sempat berpikir bahwa tak ada lagi yang bisa saya lakukan untuk menjadi pesepakbola profesional. Namun pada tahun yang sama, saya melakukan trial bersama Atletico Junior. Dan terima kasih, Tuhan. Mereka menerima saya,” lanjut Bacca bercerita masa lalunya.

Setelah perjalanannya sebagai pesepakbola profesional dimulai, tantangan yang harus ia hadapi berikutnya adalah untuk bermain di kompetisi teratas Kolombia bersama Atletico Junior. Karena setelah direkrut Junior, ia langsung dipinjamkan ke kesebelasan divisi dua seperti Baranquilla dan Minerven, selama hampir tiga musim.

Ia akhirnya memperkuat Junior di Categoria Primera A, kompetisi teratas Kolombia, setelah 38 gol dari 65 penampilan. Pada musim pertamanya, ia langsung menjadi pencetak gol terbanyak Piala Kolombia. Dalam tiga musim bersama Junior, ia dua kali menjadi pencetak gol terbanyak liga, di mana dua gelar juara liga berhasil ia persembahkan untuk Atletico Junior.

Hijrah ke Eropa

Pada awal tahun 2012, tawaran pun datang dari sejumlah kesebelasan Eropa yang saat itu tengah memasuki bursa transfer musim dingin. Lokomotiv Moscow menjadi kesebelasan yang paling gencar mendekatinya. Namun transfer ini gagal terealisasi karena kesebelasan asal Rusia tersebut berhasil menggaet penyerang asal Ekuador, Felipe Caicedo.

Kepindahannya ke Eropa terealisasi beberapa hari berselang setelah Junior menerima nilai transfer 2,5 juta euro dari kesebelasan asal Belgia, Club Brugge. Meski sempat tertunda karena ia diduga menyerang seorang wanita selepas pertandingan melawan Once Caldas pada bulan sebelumnya, perjalanannya di Eropa dimulai bersama salah satu kesebelasan besar Belgia.

Tak mudah baginya untuk menembus skuat utama Club Brugge. Brugge masih begitu mengandalkan penyerang asal Nigeria, Joseph Akpala. Gol pertamanya di Eropa pun baru hadir pada bulan keempat ia di Eropa. Tapi ia berhasil menutup musim pertamanya dengan mencetak dua gol ke gawang KV Kortrijk yang mengantarkan Brugge ke Europa League karena finish di urutan kedua.

Hengkangnya Akpala ke Werder Bremen pada musim berikutnya membuat Bacca menjadi pilihan utama pelatih baru Brugge, George Leeskens. Dan ia langsung menjawab kepercayaan sang pelatih dengan mencetak 18 gol meski liga baru berjalan setengah musim.

Pada musim keduanya di Eropa, Bacca total mencetak 28 gol dari 44 penampilannya di seluruh kompetisi. Pencapaiannya itu sudah cukup membuatnya menjadi pemain terbaik dan juga pencetak gol terbanyak Belgian Pro League dengan 25 gol.

Inilah yang membuatnya dilirik sejumlah kesebelasan besar di Eropa. Meski ia sempat menandatangani kontrak baru berdurasi empat tahun bersama Brugge, hal tersebut tak membuatnya menolak tawaran dari Sevilla. Sevilla memboyongnya dengan nilai transfer 7 juta euro.

Di liga Spanyol, tentunya cukup sulit bagi Bacca untuk kembali menjadi pencetak gol terbanyak liga seperti yang pernah ia lakukan di Liga Kolombia dan Belgia. Meskipun begitu, ia telah mencetak 34 gol dalam dua musimnya di La Liga bersama Sevilla. Setidaknya ini menunjukkan bahwa Bacca masihlah merupakan penyerang yang cukup konsisten dalam urusan mencetak gol.

Penampilan gemilang dan banyak gol yang telah ia gelontorkan tersebut tentunya tak luput dari perhatian pelatih-pelatih tim nasional Kolombia. Pelatih yang pertama kali memanggilnya ke timnas adalah Hernan Dario Gomez pada 2010.

Bacca pun menjadi bagian dari timnas Kolombia yang berlaga di Piala Dunia 2014 meski tak menjadi pilihan utama Jose Pekerman. Pekerman lebih mengandalkan Teofilo Gutierrez atau Adrian Ramos. Pada PD tersebut, ia hanya bermain sekali yaitu saat masuk sebagai pemain pengganti yang kala itu Kolombia dikalahkan tuan rumah Brasil di babak perempat final.

Meski gagal memberikan kontribusi di PD, Bacca tak berkecil hati dan membuktikkan diri bersama Sevilla. Maka kemudian pada musim ini, ia berhasil mencetak 28 gol di segala kompetisi. Dua golnya di babak final Europa League malam tadi pun menambah koleksi golnya di kompetisi Eropa menjadi 14 gol dalam dua musim.

Karir Bacca tentunya masih akan terus berlanjut mengingat usianya yang masih 28 tahun. Bersama Sevilla, atau mungkin bersama kesebelasan lain yang berani menyentuh klausul transfernya yang mencapai 30 juta euro, ia masih akan terus mencetak banyak gol karena Bacca tipikal pemain yang tak kenal menyerah. Seperti yang pernah ia katakan pada 2013 lalu:

“Saya memiliki masa yang sulit saat kecil. Ketika saya pikir saya telah berhasil ketika menghasilkan uang yang banyak, saya ternyata salah. Saya bangkit dan menjalani kehidupan dengan lebih berani. Karena mereka yang berani, tak akan membiarkan dirinya tenggelam, tapi mereka akan bangkit untuk menjadi pribadi yang lebih kuat.”

Ya, yang diucapkan Bacca bukan omong kosong belaka. Saat Sevilla meraih trofi Europa League pertamanya pada 2006 (masih bernama UEFA Cup), kala itu Bacca masih menjadi kenek bus di Kolombia. Tapi sembilan tahun kemudian, ia menjadi pahlawan Sevilla untuk meraih trofi keempat Europa League. Hal ini terjadi karena ia memang tak menyerah pada keadaan dan terus membuat dirinya untuk menjadi lebih kuat.

foto: inagist.com

Komentar