Pastilah tidak sedikit dari Anda yang merasa heran mengapa di Indonesia jarang sekali pelatih sepakbola yang mengenakan jas kala mendampingi pemainnya bertanding di sisi lapangan.
Pertanyaan tersebut seharusnya ditujukan pada pelatih atau manajer di Eropa. Mengapa mereka mengenakan jas? Mengapa tidak memakai pakaian olahraga?
Sebelum bertolak ke Brasil, penggawa timnas Inggris melakukan sesi foto dengan mengenakan jas. Sesi tersebut dikemas dengan begitu serius. Segala hal mulai dari latar belakang, hingga pemilihan bentuk, warna, dan motif jas diperhatikan benar. Penggunaan jas sebelum berangkat ke Piala Dunia, kadung diduplikasi oleh negara lain. Namun, tetap saja, secara subjektif tak ada yang mampu menyaingi keseriusan skuat Inggris.
Jawaban sederhana dari pertanyaan tersebut adalah sepakbola ingin dipandang dan disejajarkan sebagai olahraga orang-orang berkelas.
Dalam tulisannya di Detiksport, Pemred CNN Indonesia, Yusuf Arifin, menyebut intelektualitas pesepakbola asli Inggris itu rendah. Mayoritas dari mereka berasal dari kalangan pekerja. Mereka tak memiliki kemampuan lain selain bermain bola. Malah, tanpa sepakbola mereka akan lebih mudah ditemukan di pabrik-pabrik sebagai pekerja kasar.
Jas dikenal sebagai simbol yang biasa dikenakan kaum elit. Penggunaan jas menjadi cara agar sepakbola dapat menyaru dan diterima oleh kalangan atas. Menjadi wajar jika pelatih sepakbola di Indonesia kerap berpakaian lebih santai dan kasual, karena sepakbola menjadi olahraga yang lebih merakyat.
Namun, tak ada yang lebih aneh dari seorang manajer âpalsuâ tapi mengenakan jas saat menonton anak asuhnya bermain di partai final. Manajer palsu yang saya maksud di sini adalah gamers Football Manager. Nyatanya, ada ritual dari sejumlah gamers yang mesti mengenakan jas saat tim mereka bermain di partai krusial.
Banyak yang merasa game Football Manager (FM) mengubah hidup mereka, salah satunya soal jam tidur semakin berkurang. Bagi yang tak terbiasa, kebiasaan tersebut terlihat aneh. Namun, bagi yang terbiasa sekalipun, berdandan sebelum pertandingan final, masihlah tetap sesuatu yang aneh.
Bermain FM tanpa cheat menghadirkan tantangan tersendiri. Meskipun hanya sebuah permainan, tapi simulasi yang ada di dalamnya menuntut kita untuk serius dalam mengelola klub. Hampir semua momen yang ada dikemas dalam balutan menarik seperti bursa transfer, hingga saling ejek di media dengan manajer lawan.
Tidak jarang ada pemain yang memainkannya hingga 20 musim, saking gilanya. Improvisasi yang dilakukan kecerdasan buatan (AI-Artificial Intelegence) dalam game tersebut memang menarik. Meskipun menangani tim besar, terkadang ada saja kejutan seperti gagal memboyong pemain buruan, hingga dikalahkan tim kecil di Piala FA.
Namun, keseruan itu akan lebih terasa jika mengelola klub kecil dan mengantarkannya setahap demi tahap hingga puncak kesuksesan yang tinggi. Maka, jangan salahkan jika ada ritual khusus kala menyambut partai krusial.
Malah, ada akun facebook khusus yang berisi ritual tersebut! Facebook dengan nama âWearing a suit and tie for a Cup Final on Football Managerâ tersebut mendapatkan âlikesâ sebanyak 12 ribu.
Ia adalah Adam Clery, penulis asal Skotlandia tersebut berpikir seperti ini: âJika ini di dunia nyata, aku pasti akan mengenakan jasâ. Maka, ia pun melakukannya. Saat itu, keluarganya tengah pergi keluar dan ia akan menghadapi final Liga Europa.
Ia memegang Hibernian dan melawan Wolfsburg. Saat timnya kebobolan, dan wasit lebih berpihak pada lawan, ia pun marah. Saking marahnya, ia menutup layar laptopnya dengan keras.
Namun, ada yang lebih parah dari apa yang dilakukan Clery. Sejumlah gamers fanatik mengaku sering mengenakan parka dan jaket tebal saat tim mereka away ke Eropa Timur, ataupun ke daerah Skandinavia. Ini dilakukan agar pemain benar-benar meresapi peran yang dijalankannya tersebut.
Apakah Anda penggemar FM juga? Apakah Anda melakukan hal yang sama?
Komentar