Pakaian menciptakan seseorang, kata Mark Twain suatu ketika, sementara mereka yang telanjang sedikit bahkan tak berpengaruh sama sekali kepada masyarakat.
Melalui kalimat itu Twain ingin mengatakan bahwa pakaian menjadikan seseorang dikerangkeng oleh berbagai simbol: status sosial, ekonomi, politik, agama hingga hirarki dalam tangga sosial. Sebelum berpakaian, tidak ada yang namanya "seseorang", tidak ada pribadi atau sosok. Semua nyaris sama. Egaliter. Setara.
Begitu hirarki sosial terbentuk, maka egalitarianisme sesungguhnya telah menjadi nostalgia. Pakaian menegaskan, sekaligus melahirkan, keberadaan hirarki sosial. Di zaman-zaman tertentu, dalam kebudayaan-kebudayaan tertentu, posisi seseorang dalam masyarakat bisa diendus melalui pakaian yang dikenakannya.
Pakaian akhirnya menjadi tanda kehilangan: egalitarianisme yang kadung menjadi sebuah nostalgia yang neurotik. Dikatakan neurotik karena masing-masing dari kita, tanpa sadar, kadang menginginkan pemenuhan akan nostalgia terhadap egalitarianisme yang sudah lampau dan menghilang itu.
Pakaian sekaligus juga menjadi tanda yang memisahkan antara manusia yang belum dan sudah bersentuhan dengan "dosa asal".
Kitab Suci dari tiga agama Ibrahim percaya bahwa nenek moyang kita, Adam dan Hawa, tinggal di surga yang indah, surga yang tak belum mengenal pakaian dan karenanya belum disentuh hirarki. Pelanggaran terhadap larangan memakan buah khuldi menjadi "dosa asal" yang membuat Adam dan Hawa, juga kita semua, akhirnya harus turun dan tinggal di bumi.
Kita semua, akhirnya, dihukum untuk berpakaian.
Peradaban membenci ketelanjangan karena membangkitkan kembali ingatan mengenai "dosa asal". Tiap kali seseorang merasa benci melihat ketelanjangan, boleh jadi itu dipicu rasa iri yang ganjil: kenapa orang lain bisa merayakan nostalgia terhadap egalitarianisme dan saya tidak?
Rasa iri itu lantas dibungkus menjadi doktrin yang lain: melihat orang telanjang pun kini sudah menjadi suatu dosa. Sebab terlalu sedikit orang yang sanggup untuk telanjang dan terlalu banyak orang yang ingin telanjang tapi tak lagi berkuasa terhadap tubuhnya.
Betapa menyenangkannya melihat beberapa orang, dalam keadaan telanjang, bisa saling bercakap-cakap tanpa rasa sungkan yang berlebihan. Saling bertukar pikiran tentang apa saja dalam keadaan telanjang adalah tanda bahwa egalitarianisme itu sesuatu yang mungkin -- dan orang tak perlu kembali ke surga lebih dulu untuk bisa mencecap pengalaman primordial semacam itu.
Sangat banyak dari kita yang belum pernah, bahkan mungkin tak akan pernah bisa untuk seumur hidupnya, melakukan hal sepele seperti yang dilakukan Pele dan Beckenbauer di foto ini.
Sepele? Apa? Itu sama sekali tidak sepele, Bung! Khususnya untuk peradaban yang kelewat tinggi menjunjung rasa malu dan ribuan tabu.
Komentar