Pesepakbola Afrika seperti tak pernah habis. Nama-nama seperti Abadi Pele, George Weah , Patrick Mboma, Samuel kuffour, Nwako Kanu, Samuel Etoâo, Didier Drogba, hingga Yaya Toure selalu menjadi tumpuan di klub Eropa yang mereka bela. Bahkan, sejumlah kesebelasan yang bertumpu pada pemain Afrika, selalu kebingungan saat Piala Afrika digelar. Saking berpengaruhnya, mereka sampai-sampai harus menambal lubang yang ditinggalkan untuk satu bulan.
Pesepakbola Afrika memiliki kemampuan yang lengkap. Mereka memiliki kecepatan yang ditunjang dengan fisik dan stamina yang kuat. Selain itu, mental bertanding pesepakbola Afrika telah terbentuk sedari awal. Mereka yang berlaga di timnas, sudah terbiasa menghadapi laga-laga penting.
African Championship of Nations (Chan)
Republik Demokratik Kongo, juara Chan 2009 atau penyelenggaraannya yang pertama. (Sumber gambar: foldedup.com)
Barangkali banyak dari Anda yang menganggap kalau Chan adalah Piala Afrika. Benar, tapi Chan adalah kompetisi Afrika yang hanya diikuti pesepakbola yang bermain di liga negara tempatnya lahir. Artinya, pesepakbola Afrika yang merumput di Eropa tidak boleh ikut serta. Jangankan Eropa, pesepakbola Kamerun yang berlaga di Afrika Selatan saja, tetap tidak boleh ikut.
Lazimnya di konfederasi lain, wakil Afrika yang lolos ke Piala Dunia biasanya adalah negara yang secara tradisional, terbiasa menguasai Afrika: Kamerun, Nigeria, Pantai Gading, Ghana, Mesir hingga Aljazair. Keterbiasaan tersebut tidak lain karena mereka memiliki sejumlah pemain yang merumput di Eropa, sehingga secara kemampuan, berada di atas pesepakbola Afrika yang berlaga di negaranya sendiri.
Ini terbukti dari peraih juara Chan yang tidak melibatkan pesepakbola Eropa. Juaranya? Anda pasti terkejut: Republik Kongo, Tunisia, dan Libya. Bagaimana bisa?
Ketergantungan negara-negara yang terbiasa masuk Piala Dunia pada pemain Eropa memang tinggi. Separuh pesepakbola yang main di Piala Afrika 2015, berlaga di Eropa. Kehadiran Chan memberikan kesempatan bagi negara Afrika yang memiliki kompetisi dengan pemain berkualitas, untuk menunjukkan tajinya.
Jadwal sepakbola di Afrika memang padat. Piala Afrika digelar dua tahun sekali pada tahun ganjil, sedangkan Chan digelar dua tahun sekali pada tahun genap. Tentu, sebelum melenggang ke babak utama, setiap kesebelasan mesti bertarung lewat babak kualifikasi. Artinya, di level timnas, mereka hampir tidak memiliki waktu untuk mengambil nafas dengan berleha-leha di pertandingan âpersahabatanâ.
Bersaing Ketat di Piala Afrika
Kegembiraan para pemain Zambia kala mengalahkan Pantai Gading pada Piala Afrika 2012. (Sumber gambar: skysports.com)
Kali ini, mari kita bicara Piala Afrika yang telah digelar sejak 1957. Walaupun wakil Afrika yang lolos ke Piala Dunia bisa diprediksi, tapi tidak bagi juara Piala Afrika. Dengan ketentuan juara pada penyelenggaraan sebelumnya, harus kembali ikut babak kualifikasi, kejutan terbesar diperlihatkan oleh Mesir. Juara tiga kali beruntun (2006, 2008, 2010) Piala Afrika tersebut, tidak pernah lagi lolos ke babak utama!
Persaingan ketat pun ditunjukkan negara-negara lainnya. Kejutan diperlihakan Zambia kala menang adu penalti dari Pantai Gading pada final Piala Afrika 2012. Ini merupakan prestasi tertinggi negara yang kaya akan hasil tambangnya itu. Mereka berhasil menyingkirkan Libya, Senegal, Sudan, dan Ghana. Sementara itu, Mali dan Ghana selalu masuk babak semifinal dalam dua penyelenggaraan terakhir.
Pada penyelenggaraan tahun ini, kejadian unik dialami Mali dan Guinea. Keduanya yang tergabung dalam grup D. Keduanya bertanding tiga kali, dan tiga-tiganya menghasilkan hasil seri dengan skor 1-1. Guinea dan Mali sama-sama berada di peringkat kedua dengan tiga poin, dan selisih gol 0 (nol). Penentuan yang lolos ke perempat final akan ditentukan lewat undian.
Dengan kompetisi tanpa henti setiap tahunnya, wajar rasanya jika pesepakbola Afrika memiliki mental bertanding yang lebih kuat, karena ditempa lewat pertandingan kompetitif.
Sumber gambar: foxsports.com
Komentar