Dalam sebuah karnaval, dalam sebuah perayaan, semua hal yang sebelumnya dianggap tabu, biasanya boleh dan sah-sah saja dilakukan. Tak terkecuali dengan bangsa yang selama ini dianggap sebagai salah satu bangsa paling beradab di dunia, Jerman.
Pada 14 Juli 2014 (dini hari waktu Indonesia), semua warga Jerman tumpah ruah keluar rumah. Jalanan menjadi lengang. Bar-bar ramai. Alun-alun penuh akan lautan manusia.
Mereka yang masih mabuk akan kemenangan 1-7 atas Brasil di Piala Dunia, kala itu berubah menjadi tegang. Tapi, meski demikian, mereka tetap dengan cermat menyiapkan pesta.
Kembang api disiapkan. Bir didinginkan. Mereka berjaga-jaga jika Die Nationalmannschaftïÿýakan mendobrak tradisi dan mencatatkan rekor baru: jadi tim Eropa pertama yang berhasil menjuarai Piala Dunia di Amerika Latin.
Penantian itu akhirnya mencapai puncaknya pada menit ke-113, ketika Mario Gotze berhasil mencetak satu-satunya gol di pertandingan itu. Gol yang membawa Jerman meraih gelar keempatnya.
Pesta pun pecah. Semua orang tumpah ruah ke jalan untuk merayakan kemenangan. Tak ada imigran, tak ada orang Jerman Barat, tak ada pula orang Jerman Timur, semua yang merasa orang Jerman ikut merayakan.
Ya. Hari itu, hari ketika Jerman memenangkan Piala Dunia, adalah hari yang jarang terjadi di Jerman sebelumnya. Hari di mana orang-orang Jerman mulai bangga menjadi Jerman.
"Sepakbola telah membantu membentuk nasionalisme kami semua," kata seorang pemain naturalisasi Indonesia yang kelahiran Jerman.
Tak Seperti Kebanyakan
Bagi Jerman, sepakbola, terlebih timnas mereka, bukan sekadar alat pemersatu bangsa. Tetapi juga menjadi sebuah terapi bagi generasi-generasi yang hidup dengan berkalang malu.
Menanggung dosa-dosa orang-orang terdahulu.
Dan sepakbola, jelas merupakan alat terapi yang ampuh buat masyarakat Jerman. Alat penghapus dosa masa lalu sekaligus menanamkan jiwa nasionalisme pada genarasi masa kini.
Maklum, tak seperti dikebanyakan negara,ïÿý lagu kebangsaan Jerman hanya bebas diperdendangkan dan dinyanyikan saat Der Panzer bertanding. Selebihnya, tidak pernah atau boleh dikatakan jarang.
Pasalnya, tak seperti di sini, di Jerman hanya segelintir murid-murid saja yang beruntung mendapat pelajaran tentang Die Deutsche Nationalhymne. Semua tergantung sang guru, mau mengajari anak didiknya atau tidak.
Lagu kebangsaan mereka memang tak pernah masuk dalam daftar bahan ajar maupun kurikulum pendidikan.
Tak heran saat Der Panzer bertanding orang-orang selalu terlihat bersemangat dan sangat emosional saat menyanyikan national anthem.
Mereka juga seolah ingin menunjukkan ke-aku-an mereka yang selama ini, sampai batas tertentu, sering dipendam lantaran malu dengan sejarah kelam negeri itu: genosida yang dilakukan Hitler saat memimpin Jerman.
Berbeda dengan banyak orang, terutama yang berasal di luar Jerman, yang kagum dengan Hitler dan Mein Kampft-nya, masyarakat Jerman justru malu dengan apa yang telah diperbuat oleh Fuhrer.
Dan perasaan malu itulah yang terus mereka tanggung sampai hari ini dan membuat orang Jerman acapkali enggan menunjukkan ke-Jerman-an mereka.
Terkungkung dalam sebuah nasionalisme semu. Di satu sisi bangga, di sisi yang lain malu.
Berkat Piala Dunia
Secara tidak langsung, Jerman sebenarnya punya hutang budi kepada Piala Dunia. Lebih tepatnya Piala Dunia 2006.
Kalau tidak ada kompetisi tersebut, mungkin kita tak akan melihat Jerman yang hari ini kita lihat, yaitu orang-orang Jerman mulai tak canggung lagi untuk mengakui dirinya sebagai orang Jerman.
Sebelum Piala Dunia ke-18, tak ada tradisi nonton bareng timnas Jerman di negera republik parlementer federal itu. Jika tidak bisa datang ke stadion, masyarakat lebih sering menyaksikan pertandingan di rumah.
Nonton bareng saja tidak, apalagi pawai atau mengibarkan bendera negara tinggi-tinggi, atau mencoreng muka dengan triwarna. Tentu saja tak ada.
Namun, semua itu berubah saat Piala Dunia diselenggarakan di Jerman. Perlahan, orang-orang mulai berani untuk tampil dan bergumul dengan khalayak ramai, baik dengan sesama pendukung Der Panzer maupun wisatawan yang datang ke Jerman untuk mendukung timnas masing-masing.
Pada gelaran Piala Dunia kala itu, orang tak perduli dengan asal-usul satu dengan yang lainnya.
Entah bekas orang Jerman Timur, bekas orang Jerman Barat, ataupun imigran, asal ada lambang DFB di dada, mereka semua kawan. Mereka bersaudara. Tidak seperti yang sudah-sudah.
Selain karena adanya nonto bareng,ïÿý kebanggaan masyarakat itu tumbuh bersamaan dengan membaiknya peforma Die Nationalmannschaft, yang pada awal tahun 2000an mengalami kemerosotan.
Faktor-faktor itulah yang kemudian membuat merkea tak perlu ragu dan malu untuk mengaku sebagai orang Jerman, atau mengibarkan bendera hitam-merah-kuning tinggi-tinggi atau mencoreng muka mereka dengan cat triwarna sambil meneriakkan chant kebesaran mereka:
"Deutchland, Deutschland uber alles, uber alles in der welt!!"
Jerman di atas segalanya.
Ternyata Mereka Terlena
Berlin memang tak punya kultur bola sekental Dortmund ataupun Munich. Namun, hari itu (15/7) waktu Jerman, semua berubah.
Ibukota itu jadi kental akan aroma fanatisme, khas suporter sepakbola. Sekitar 1.000 orang suporter, lengkap dengan atributnya, menyambut anak asuh Joachim Loew di bandara Berlin-Tegel.
Sebagian lagi berjejal dipinggir jalan, bersiap menyambut arak-arakan. Yang lainnya memilih untuk menunggu di Brandenburg Gate, tempat yang telah disiapkan untuk merayakan pesta juara dunia.
Tidak ada yang berlebihan, sebenarnya. Karena, kemenangan Jerman tahun ini, dalam batas tertentu, merupakan kemenangan yang sebenar-benarnya.
Ini adalah kemenangan pertama Der Panzer setelah melakukan reunifikasi pada 3 Oktober 1990, silam.
Jadi, jika, Piala Dunia 2006 mulai menumbuhkan kebanggan akan negara di hati masyarakat, maka Piala Dunia 2014 ini telah membuat kebangaan mereka membuncah sampai di ubun-ubun kepala.
Mereka tak perlu lagi malu, ataupun menundukkan kepala ketika mengaku sebagai orang Jerman. Karena merekalah juara dunia. Negara dengan empat bintang di dada. Sejajar dengan Italia, dan hanya satu strip di bawah Brasil sebagai negeri yang paling banyak mengoleksi piala Julies Rimet.
Namun sayang, gelar juara ternyata telahïÿý membuat Jerman terlena. Membuat keangkuhan Jerman kembali mencuat ke permukaan. Membuktikan bahwasanya arogansi sebagai bangsa ras Aria belum tercabut dari pedalam hati mereka.
Dengan berjalan setengah jongkok, Mario Gotze dan kelima rekannya kala itu meneriakkan: "Beginilah cara gauchos, berjalan. Gauchos berjalan seperti ini."
Gauchos yang dimaksud adalah Argentina. Pasalnya, gauchos atau koboy khas Amerika Latin, memang sangat identik dengan Argentina. Setelah melakukan gerakan itu mereka lalu berdiri, melompat, dan berjalan gagah bak perwira, sambil meneriakkan:
"Dan beginilah cara Jerman berjalan. Jerman berjalan seperti ini."
Lalu, entah mengapa semua orang yang ada di Bradenburg Gate itu bersorak melihat polah para pemain pujaannya, seakan meng-iya-kan yang dilakukan para penggawa Der Panzer.
Praktis hal itu telah membuat citra rendah diri yang begitu lekat dengan orang-orang Jerman luluh lantah.
Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan berpikiran waras ikut tersinggung. Begitu juga dengan media-media Jerman. Mereka semua malu dengan kelakuan Gotze dkk. itu, lalu ikut mengkritik tindak tanduk penggawanya itu.
Seperti yang saya katakan di atas, semua yang dianggap tabu, kadangkala menjadi halal dilakukan di dalam karnaval.
Itulah sebabnya, presiden Federasi Jerman, Wolfgang Niersbach, mencoba membela anak asuh Joachim Loew itu. Apa yang dilakukan enam pemain Jerman itu hanyalah spontanitas biasa, tak ada maksud untuk menyinggung siapapun, begitu katanya.
Tapi, dari kejadian ini kita juga bisa belajar. Bahwasanya Piala Dunia, sebenarnya, hanya akan mengubah citra dan mengubah rupa suatu bangsa. Tak akan mengubah watak bangsa tersebut.
Brasil, misalnya. Meski Piala Dunia telah membantu menaikkan citra negeri Samba, tapi Piala Dunia tak akan pernah mengubah watak orang-orangnya. Mereka tetap saja culas dan korup.
Pun begitu dengan Jerman. Mereka juga tak bisa lepas dari kemegahan sebagai sebuah bangsa besar yang lahir dari ras unggulan.
Bahwasanya mereka, Jerman, memang dan harus di atas segalanya yang ada di dunia.
Oleh: Sigit Prasetyo ( @prasetypo )
Komentar