Melihat sepakbola modern ini, permainan oper-operan cantik selalu diidentikkan dengan tiki-taka-nya FC Barcelona. Jika ada sebuah kesebelasan yang memainkan penguasaan bola dengan oper-operan, kita dapat langsung menghakiminya dengan sebuah pernyataan: "Mainnya udah kayak Barca aja, tuh. Tiki-taka." Enteng sekali.
Kemudian jika kita melihat ada sebuah kesebelasan yang dibeli oleh raja minyak, kemudian kesebelasan tersebut sukses, kita akan mudah saja menyebut: "Udah kayak Chelsea aja."
Meskipun pada contoh lain kita bisa menemukan kasus serupa pada Manchester City, Paris Saint-Germain, AS Monaco, dan lain sebagainya.
Kalau kedua hal di atas bisa dikatakan positif, adakah sebuah kesebelasan yang menjadi identik dengan hal yang negatif? Jawabannya mungkin ada banyak, tapi salah satu yang kami bahas hari ini adalah Leeds United.
Siapa yang tidak tahu Leeds United? Eh, mungkin ada banyak, ya?
Bagi para pecinta sepakbola tahun 1990-an, Leeds adalah sebuah kesebelasan Inggris yang sukses. Mereka sudah memenangkan Piala FA 1972, Piala Liga 1968, menjadi finalis Piala Eropa (Liga Champions versi lawas) 1975, dan bahkan menjuarai Liga Inggris sebanyak tiga kali (1969, 1974, dan 1992).
Terakhir kali Leeds menjuarai Liga Inggris 1991-1992, saat itu adalah kompetisi terakhir First Division sebelum pada musim selanjutnya (dan sampai sekarang) berganti nama dan format menjadi Liga Primer Inggris.
Jadi, kita pahami bahwa Leeds memang merupakan sebuah kesebelasan yang sukses. Masalahnya, dimana Leeds United sekarang? Kenapa mereka identik dengan generalisasi hal negatif pada sepakbola?
Melihat perkembangan mesin pencari di internet, istilah "Doing a Leeds" sudah menjadi frase Bahasa Inggris yang identik dengan konsekuensi potensial untuk kesebelasan ketika mereka salah mengurus keuangan mereka.
Leeds sekarang berada di papan tengah Football League Championship, atau satu tingkat di bawah Liga Primer.
Proses kebangkrutan Leeds
Sebagai juara terakhir First Division, Leeds adalah salah satu dari 22 kesebelasan (belum 20 seperti sekarang) perdana di Liga Primer. Leeds sempat mencapai semi-final Liga Champions 2000-2001.
Namun, pengeluaran mereka untuk menjadi sukses telah melampaui semua kesebelasan lain, dan tingkat utang klub naik setiap tahun dari 9 juta paun sampai 21, 39, 82, dan bahkan mencapai puncaknya pada sekitar 119 juta paun.
Banyak uang yang telah dihabiskan untuk biaya transfer dan menggaji pemain. Setelah mereka gagal lolos ke Liga Champions 2002-2003 dengan hanya menempati posisi ke lima di Liga Primer, mereka harus melakukan penghematan drastis dengan menjual pemain karena tidak bisa lagi mempertahankan pembayaran utang.
Pemasukan Leeds dari penjualan tiket dan siaran televisi langsung mengalir pada pembayaran utang mereka.
Pada akhir musim 2003-2004, Leeds akhirnya terdegradasi ke Football League Championship, setelah mereka menempati posisi ke-19 di Liga Primer.
Efek keuangan terus terjadi, dan ketika satu pertandingan tersisa pada musim 2006-2007, mereka malah terkena masalah administrasi dan harus menerima hukuman pengurangan 10 poin di liga. Pada akhirnya mereka harus terdegradasi ke Football League One, dua tingkat di bawah Liga Primer, untuk pertama kalinya dalam sejarah mereka.
Seolah tidak kapok, mereka melakukan pelanggaran berikutnya, masih berkaitan dengan keuangan. Mereka hampir tidak boleh mengikuti League One, tapi akhirnya mereka "hanya" dihukum pengurangan 15 poin untuk musim 2007-2008.
Meskipun melakukan banding lanjutan, hukuman tetap dijatuhkan dan mereka harus berada lebih lama lagi di League One.
Pada akhir musim 2009-2010, Leeds berhasil memperoleh promosi kembali ke Championship dan sampai sekarang (2014-2015) mereka masih berada di divisi tersebut.
Jangan sampai seperti Leeds
Istilah "doing a Leeds" atau "do a Leeds" timbul dan sudah menjadi identik dengan salah urus keuangan sebuah kesebelasan sepakbola dengan potensi konsekuensi yang mengerikan.
Hal ini dapat merujuk secara khusus untuk setiap kesebelasan yang gagal untuk merencanakan keuangan mereka dengan baik setelah mereka menargetkan untuk lolos ke kompetisi Eropa.
Istilah ini juga sudah disinonimkan dengan kegagalan restrukturisasi setelah degradasi dari Liga Primer untuk menghindari penurunan lebih lanjut, dan bahkan "kematian" sebuah kesebelasan sepakbola.
Manajer dan pemilik kesebelasan, meskipun kadang-kadang wajib "mengejar mimpi", sering dipaksa untuk menyangkal "do a Leeds" setelah investasi besar mereka yang tidak dibarengi analisis dari anggaran mereka.
Demikian pula, para suporter mungkin takut kesebelasan mereka akan "do a Leeds" jika kesebelasan mereka yang sudah mendapat suntikan dana besar tapi tidak dapat lolos ke kompetisi Eropa atau terdegradasi dari Liga Primer. Pernyataan ini bisa saja menakutkan bagi Queens Park Rangers musim ini.
Sebaliknya, menghindari "do a Leeds" telah dilakukan oleh banyak manajer dengan menjual pemain terbaik mereka untuk mengumpulkan dana untuk membayar utang kesebelasan atau mencegah kesebelasan terkena masalah administrasi.
Istilah "do a Leeds" sekarang bahkan sudah meluas. Kegagalan untuk berinvestasi di tingkat "normal" untuk mempertahankan posisi liga kesebelasan tertentu sekarang sudah dapat diberi label "do a Leeds".
Perluasan istilah ini terutama timbul pada tahun 2010 saat Manchester United dililit utang besar setelah dibeli oleh Malcolm Glazer. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan di media apakah bahkan Manchester United, sebagai kesebelasan yang paling sukses era Liga Primer, bisa dalam bahaya "doing a Leeds".
Pada kesempatan lainnya, sebuah kalimat yang sama, "doing a Bradford", diciptakan oleh mantan pemain Blackburn Rovers, Simon Garner, pada 2012.
Hal ini dipicu dari sebuah skenario yang dia khawatirkan bisa menimpa mantan kesebelasannya tersebut. Garner merujuk ke tetangga Leeds, Bradford City, yang merupakan kesebelasan Liga Primer pada 2001.
Tapi, mereka kemudian turun tiga divisi ke Football League Two pada 2007 dan tidak kunjung memperoleh promosi kembali ke League One sampai akhir musim 2012-2013. Ada lagi mantan kesebelasan Liga Primer lainnya yang telah jatuh ke League Two, mereka adalah Swindon Town dan Portsmouth.
Khusus untuk Portsmouth, mereka sempat mengumpulkan utang yang akhirnya membuat mereka menjadi kesebelasan Liga Primer pertama yang terlibat masalah administrasi pada Februari musim 2009-2010.
Hal ini langsung mengarah ke degradasi di musim yang sama setelah hukuman pengurangan sembilan poin. Portsmouth terdegradasi ke League One setelah musim 2011-2012 dihukum (lagi) dengan pengurangan 10 poin akibat masalah administrasi. Ini adalah skenario yang hampir identik dengan apa yang terjadi di Leeds lima tahun sebelumnya.
Selanjutnya, mereka kembali terdegradasi setelah (lagi-lagi) dihukum pengurangan 10 poin karena gagal membayar utang. Kali ini mereka harus turun ke League Two di musim 2012-2013. Untung saja kemudian Portsmouth diselamatkan oleh para suporter mereka sendiri.
Baca juga: Perlukah Kepemilikan Kesebelasan di Inggris Direformasi?
Mereka yang "did a Leeds"
Kebangkrutan dan mismanajemen Leeds United tidak sepenuhnya tanpa preseden sejarah. Misalnya saja, Wolverhampton Wanderers pernah mengalami kasus yang hampir sama pada 1980-an.
Saat itu, Wolves menempati posisi 6 di First Division dan memenangkan Piala Liga pada 1980, sebelum akhirnya jatuh sampai ke Divisi Empat pada 1986. Namun, penurunan Wolves secara luas dilihat sebagai puncak dari dekade krisis keuangan di Britania daripada pengeluaran jangka pendek seperti yang terjadi dengan Leeds.
Mirip dengan Leeds, ada Luton Town yang terdegradasi dari Championship bersama mereka pada tahun 2007.
Mereka mengalami penurunan yang bahkan lebih parah dan menjalani tiga degradasi berturut-turut, berakhir di Football Conference pada 2009.
Kemudian, Swansea City yang naik dari Divisi Empat ke Divisi Satu antara tahun 1978 dan 1981, finish di urutan ke enam di musim 1981-1982, setelah memimpin puncak klasemen liga beberapa kali pada musim itu.
Namun, mereka terdegradasi setahun kemudian dan turun lagi pada 1984, mengalami degradasi ke tiga dalam empat musim pada tahun 1986 setelah mereka hampir bangkrut.
Di kasus lain, Wimbledon, yang menyamai rekor Swansea dalam pendakian tiga divisi dalam empat musim pada 1986, bertahan di liga teratas Inggris selama 14 tahun dan memenangkan Piala FA 1988.
Sayangnya, mereka harus terdegradasi dari Liga Primer pada 2000. Mereka terdegradasi lagi empat tahun kemudian, setelah Wimbledon berganti nama menjadi Milton Keynes Dons berikut relokasi mereka ke Milton Keynes.
Kesebelasan berikutnya yang bernasib sial adalah Bolton Wanderers. Mereka sempat menikmati sepakbola Liga Primer di bawah Sam Allardyce. Keberhasilan mereka ini semakin didukung dengan prestasi mereka dalam kualifikasi Piala UEFA 2006-2007 dan 2007-2008, mencapai babak 16 besar, termasuk menang melawan Atletico Madrid, dan imbang melawan FC Bayern Munich dan Sporting Lisbon.
Setelah kepergian Allardyce, Bolton mulai turun secara perlahan. Owen Coyle sempat memimpin Bolton sampai ke semi-final Piala FA 2010-2011 sebelum akhirnya dikalahkan oleh Stoke City 5-0.Namun setelah itu, mereka harus terdegradasi pada hari terakhir musim 2011-2012. Sejak itu, Bolton terus berjuang kembali ke Liga Primer, tapi dengan utang yang dilaporkan mencapai 172,9 juta paun.
Mereka yang berhasil bangkit dari "doing a Leeds"
Tidak selamanya kesebelasan yang bangkrut adalah kesebelasan yang "nanggung", dan juga tidak jarang dari mereka yang bisa sukses kembali.
Misalnya saja Manchester City yang juga pernah mengalami kasus serupa pada 1998. Saat itu, The Citizens degradasi ke Championship. Jika kita melihat sekarang ini, City sudah menjadi kesebelasan yang sukses di Liga Primer.
Degradasi Newcastle United pada 2009 juga menjadi contoh lainnya. Setelah membeli kesebelasan, pemilik baru Mike Ashley menyatakan bahwa investasinya sebenarnya sudah menyelamatkan The Magpies dari "do a Leeds".
Newcastle mengalami degradasi pada akhir musim 2008-2009 dan memicu kekhawatiran bahwa mereka bisa saja jatuh ke League One tanpa restrukturisasi yang baik. Namun, mereka menghindari ini dan bangkit kembali pada musim berikutnya dengan sebuah promosi kembali ke Liga Primer.
Namun, jika kita melihat kasus krisis keuangan, memang kita akan lebih banyak melihat kesebelasan yang terus tenggelam daripada mereka yang bisa bangkit kembali.
Jadi, kapan Leeds akan bangkit kembali? Sayangnya pertanyaan tersebut belum bisa terjawab sejak mereka bangkrut. Tapi mungkinkah ada "Nabi penyelamat" Leeds United? Red Bull misalnya?
Komentar