Semua orang yang menikmati sepakbola pasti akan sepakat bahwa sepakbola adalah permainan tim. Tak peduli tim tersebut berasal dari belahan dunia mana, sepakbola selalu mencerminkan permainan kolektivitas sebelas pemain yang berada di lapangan hijau.
Kolektivitas tim ini dihasilkan dari racikan seorang pelatih. Setiap pelatih harus bisa meredam ego setiap pemainnya agar permainan yang disuguhkan timnya bisa sesuai dengan apa yang ia harapkan. Karena tentunya, tak ada yang lebih hebat dari kekuatan kolektivitas tim.
Sindhunata coba menjelaskan apa itu kolektivitas tim. Dalam eseinya di koran Kompas ia menuliskan, âKolektivitas tidak meniadakan identitas dan kebebasan pemain, namun meletakkan identitas dan kebebasan dalam sistem dan pola permainan yang telah digariskan.â
Prinsip kolektivitas tim ini dipegang teguh oleh Louis van Gaal. Saat masih melatih Barcelona, ia pernah mengatakan, âSaya tidak membutuhkan sebelas pemain terbaik, tetapi kesebelasan yang terbaikâ. Karenanya, Romario yang merupakan bintang Brasil era 90an, tak masuk dalam skenario Van Gaal. Menurut Van Gaal, Romario terlalu malas, lebih menanti daripada mengejar bola, dan bila kehilangan bola, tidak mau lagi merebut bola.
Kolektivitas tim tak mengekang kebebasan seorang pemain, melainkan menciptakan sebuah ruang untuk pemain tersebut dalam mengeluarkan segala kemampuannya. Dan dalam ruang tersebut, si pemain memiliki batasan dalam mengekspresikan kemampuannya untuk menyeimbangkan dengan ruang pemain lain.
Namun sialnya tak semua pemain mengerti akan hal ini. Karena nyatanya, selalu ada pemain bintang dengan segala egonya dalam setiap tim. Pemain ini sering melalui batasan-batasan itu sehingga merusak permainan tim. Inilah yang sering menjadi dilema dan pertimbangan para pelatih.
Pemain bintang tak lah sama artinya dengan pemain kunci. Pemain bintang bisa saja pemain kunci, tapi pemain kunci tak selalu pemain bintang. Karena pemain kunci adalah pemain yang memegang peranan penting dalam sistem permainan yang diterapkan di lapangan (taktik). Dan tak semua pemain bintang bisa nyetel dengan sistem itu.
Barcelona adalah contoh ideal bagaimana sebuah tim itu perlu dibangun dengan keseimbangan demi membentuk kolektivitas tim. Lionel Messi, tak diragukan lagi bahwa ia adalah pemain hebat. Tapi sebelum ia dijadikan pemain kunci, ia diwajibkan meredam egonya ketika bermain bersama Henry dan Etoâo, di mana Etoâo yang menjadi pemain kunci.
Ketika pelatih Pep Guardiola merasa Messi sudah bisa dijadikan pemain kunci, Guardiola tak ragu untuk melepas Etoâo. Bahkan ketika Ibrahimovic datang pun tak bisa menggantikan Messi sebagai pemain kunci, Ibrahimovic dengan segala kebintangan dan egonya itu akhirnya lebih memilih hengkang ke AC Milan yang memang sedang mencari pemain kunci. Maka dari itulah Barca tetap bisa menjaga kolektivitas timnya hingga saat ini.
Intinya seorang pelatih harus menentukan siapa pemain kunci dalam timnya dan harus bisa meyakinkan pemain lain harus mengerti dan menerima pilihannya tersebut. Jika ini berhasil, persentase keberhasilannya pun akan semakin besar.
Dan begitu juga sebaliknya, jika ego satu atau dua beberapa pemain tak bisa diredam, cenderung akan merusak keharmonisan dan keseimbangan tim itu sendiri. Kegagalan pun akan siap menerkam tim sendiri.
Maka dari itu, musim ini tampaknya akan menjadi musim yang menarik. Karena pada bursa transfer kali ini, banyak pemain kunci yang hengkang dari timnya dan menuju tim baru yang sebenarnya sudah memiliki pemain kunci, yang tentunya akan menghadirkan efek domino bagi tim barunya dan pemain itu sendiri.
Jadi, akankah Luis Suarez bernasib serupa seperti Etoâo dan Ibra yang menjadi korban âkutukanâ Messi? Bagaimana nasib Liverpool setelah kedatangan Mario Balotelli? Atau sanggupkah James Rodriguez yang namanya baru mencuat itu âmengabdiâ pada Cristiano Ronaldo seperti Gareth Bale? Pertanyaan ini hanya akan terjawab pada akhir musim nanti.
foto: sportskeeda.com
Komentar