Kick-Off PBR dan Persija Tidak Serentak
Situasi di wilayah Barat tidak serumit yang terjadi di wilayah Timur. Kesebelasan-kesebelasan yang harus turun kasta ke Divisi Utama sudah diketahui kepastiannya yaitu Persijap Jepara dan Persita. Situasi menentukan hanya untuk memenuhi slot terakhir mewakili wilayah Barat di babak 8 Besar yang diperebutkan PBR dan Persita.
Hanya selisih satu poin antara PBR dan Persija. PBR saat itu menangguk sebanyak 32 poin, sementara Persija 31 poin. Jika PBR bisa mengalahkan Persita, otomatis mereka akan lolos. Sementara jika PBR hanya meraih hasil seri atau kalah, maka Persija bisa lolos jika berhasil mengalahkan Barito.
Sayang sekali jadwal pertandingan tidak memungkinkan terciptanya situasi kompetitif dan menegangkan. Persita vs PBR dimainkan pada sore hari (kick-off 15.30 WIB), sementara laga Persija vs Barito malah dimainkan malam hari (kick-off 19.00 WIB).
Ini situasi yang janggal. Publik sepakbola Indonesia sudah terdidik dengan tontonan liga-liga Eropa dan kompetisi-kompetisi kelas atas seperti Piala Dunia atau Piala Eropa. Dan selama ini publik sepakbola Indonesia paham bahwa di kompetisi-kompetisi level top itu, laga terakhir selalu digelar serentak. Menentukan atau tidak menentukan, laga-laga terakhir di babak grup Liga Champions Eropa, Piala Dunia atau Piala Eropa selalu digelar secara serentak.
Ada dua aspek yang diabaikan jika laga terakhir yang menentukan tidak digelar secara serentak.
Pertama, aspek kompetitif . Menggelar secara serentak laga-laga terakhir yang masih menentukan itu penting untuk memastikan tidak ada laga yang tersia-sia. Jika laga PBR dan Persija digelar serentak, maka kedua laga tidak akan pernah menjadi âlaga seremonialâ atau âlaga formalitasâ belaka, karena Setiap kesebelasan secara serentak akan mengeluarkan kemampuan terbaiknya sampai batas yang terjauh karena masing-masing tidak ada yang tahu seperti apa hasil akhir rivalnya.
Laga Persija vs Barito akhirnya menjadi hambar karena 1,5 jam sebelum kick-off sudah dipastikan PBR yang lolos karena berhasil mengalahkan Persita dengan skor 3-1. Laga Persija vs Barito tidak akan pernah tersia-sia menjadi semata âlaga formalitasâ untuk menggenapkan jumlah pertandingan jika saja digelar secara bersamaan dengan laga Persita vs PBR.
Tanpa perlu menyinggung isu âmain mataâ sekali pun, yang biasanya jadi alasan kenapa laga-laga terakhir di liga-liga top Eropa digelar serentak, ada asas âkompetisiâ yang menyusut kadarnya gara-gara dua laga menentukan ini tidak digelar serentak.
Untuk diketahui, istilah âsepakbola gajahâ dalam nomenklatur sejarah sepakbola Indonesia mulai dikenal saat laga-laga menentukan tidak digelar serentak. Itu terjadi di era Divisi Utama Perserikatan, saat babak 6 atau 8 Besar digelar hanya di satu tempat yaitu di Senayan, sehingga dua laga terakhir masing-masing grup mesti digelar berlainan waktu (sore dan malam).
Laga Persija dan PBR sebenarnya tidak digelar di tempat yang sama. Sayang sekali operator liga membuang kesempatan yang dulu tak dimiliki/diambil oleh PSSI saat menggelar Divisi Utama Perserikatan.
Jika "aspek kompetitif" dimaknai sebagai "situasi di mana setiap laga, setiap menit, setiap insiden dan setiap momen bisa sangat menentukan hasil akhir kompetisi", maka aspek kompetitif ini telah berkurang kadarnya, bahkan diabaikan, menyusul tidak serentaknya gelaran pertandingan Persija dan PBR.
Kedua, aspek dramatik. Sebagai imbas dari laga digelar serentak, yang memaksa semua kesebelasan yang sedang berebut tiket untuk bertarung habis-habisan, maka ada potensi dramatik yang (di)lenyap(kan) saat dua laga menentukan ini tidak digelar serentak. Potensi dramatic seperti yang terhidang di laga terakhir Liga Inggris musim 2011/2012, saat Man United dan Man City bertarung hingga menit-menit terakhir dan terbukti ditentukan di detik terakhir oleh gol Aguero, mustahil terhidang jika laga tidak digelar serentak.
Bayangkan saja seperti apa situasi kamar ganti PBR di saat jeda (babak I laga Persita vs PBR berakhir 0-0) ketika mereka mengetahui Persija sedang unggul 2-1. Pasti ada adrenalin yang menggelegak karena Bepe, dkk., mesti memperbaiki penampilannya di babak I yang monoton dan gagal mencetak gol. Bayangkan saja atmosfir Jakmania di GBK yang mendadak lemas saat tahu bahwa Bepe mencetak gol di menit 55. Bahwa Bepe yang mencetak gol niscaya membuat derajat kejengkelan Jakmania saat itu terasa lebih dramatik. Kita juga bisa membayangkan seperti apa atmosfir GBK saat pengeras suara, atau salah seorang dirijen di tribun, mengabarkan bahwa Kenji Adachihara baru saja menyamakan kedudukan di menit 67. Dan seterusnya, dan lain-lain. Aspek kompetitif dan dramatik ini juga penting untuk babak 8 besar nanti. Aspek ini akan dibahas di bagian terakhir.
Tapi tidak ada drama di tribun GBK, karena storyline tak memungkinkan itu terjadi.
Halaman Berikutnya: Tidak Ada Siaran Langsung Laga Wilayah Timur
Komentar