Ini merupakan halaman kedua dari tulisan "Tiki-taka Gunung Jiwa"
Novel itu mengisahkan perjalanan panjang seorang tokoh-tanpa-nama. Ia menyusuri sungai Yang-tze, masuk keluar kota, singgah dari satu terminal ke terminal, dari ritus upacara sebuah desa ke ritus upacara yang lain di desa berbeda, dari penginapan ke penginapan, dari percakapan ke percakapan, dari satu gumaman dalam hati ke gumanan lain yang juga diutarakan dalam hati.
Nyaris tidak ada ""peristiwa" di novel itu " jika ""peristiwa" dipahami sebagai rangkaian kejadian yang menyusun sebuah alur cerita yang bergerak menuju penyelesaian konflik. Sebab tidak ada ""konflik" sengit antara antagonis dan protagonis, karena jika pun ada konflik itu berlangsung antara si tokoh dengan dirinya sendiri. Itulah sebabnya novel ini bisa dibaca secara acak, langsung melompat ke bab 7 lalu pindah ke bab 17, lantas kembali ke awal di bab 3.
Bandingkan saat anda menyaksikan Barcelona-nya Pep Guardiola. Menyaksikan bagaimana Barcelona mengendalikan bola di menit 10 mungkin bisa sama saja dengan melihatnya di menit 70 atau 54 atau 89.
Bagaimana bola dimainkan antara Marquez-Iniesta-Busquet di dari pertahanan ke lapangan tengah pada menit 15 tidak mengherankan jika sama dengan saat Iniesta-Pedro-Messi saling mengumpan di lini tengah menuju jantung pertahanan lawan. Anda masih bisa menikmatinya dengan melompat-lompati menit, misalkan jika menontonnya dari rekaman. Toh masih mirip-mirip. Umpan-umpan pendek, lalu bergerak, umpan lagi, pendek pendek, bergerak lagi, umpan lagi, pendek-pendek. Tiki taka.
Selain bisa dibaca secara acak, novel ""Gunung Jiwa" ini juga (pernah) tidak membosankan untuk dibaca berulang-ulang. Ada alasan yang mendasari kenapa saya pernah membacanya lagi dan lagi: penggunaan prononima sebagai tokoh utama novel.
Di novel ini, kita tak pernah tahu siapa nama tokoh-tokoh utama yang muncul. Gao Xingjian hanya menggunakan pelbagai prononima: ""aku", ""engkau"," ia" (perempuan), lalu muncul lagi ""dia" yang lain (lelaki yang hadir silih bergantian dengan ""aku").
Siasat literer pergantian/pengacakan prononima sebagai tokoh utama menjadikan teks dalam novel ini bisa terasa selalu baru tiap kali dibaca lagi dan lagi. Ganti tokoh utama, dari ""aku" ke ""engkau" atau ke ""dia", maka perspektif yang dihadirkan atas kenyataan atau situasi yang dihadapi pun bisa berbeda.
Novel yang menjadi alasan kuat Hadiah Nobel Sastra pada 2000 diberikan kepada Gao ini sangat menonjolkan pergantian prononima (seperti terlihat dalam penggalan di atas). Dan itu tak sekadar menjadi siasat literer, tak semata teknik penulisan, tapi justru menjadi inti dari kisah pencarian diri yang tak kunjung sudah yang diceritakan oleh pengarang yang harus menjadi eksil di Prancis guna menghindari sensor dan pembungkaman rezim pemerintah Cina saat itu.
Saya kutipan penggalan bab 52 novel tersebut:
Engkau tahu bahwa aku bicara kepada diriku sendiri untuk meringankan kesepianku. Engkau tahu bahwa kesepian ini tak tersembuhkan, bahwa tak seorang pun bisa menyelamatkanku, bahwa aku hanya bisa mengatakannya kepada diriku sendiri sebagai teman bicaraku.
Ketika aku dengarkan engkau yang muncul dari diriku, aku biarkan engkau menciptakan dia, sebab engkau seperti aku tak sanggup menanggung kesepian, dan juga harus menemukan teman bicara.
Maka engkau bicara dengan dia seperti aku bicara denganmu. Dia terlahir dari engkau namun mengukuhkan diriku.
Di situ, batas antara ""aku" sebagai orang pertama dengan ""engkau" sebagai orang kedua dan ""dia" sebagai orang ketiga melebur, mencair, dan menjadi satu yaitu ""tokoh utama".
Penggalan di atas bisa digunakan untuk menerangi kelimun rahasia kesuksesan tiki-taka. Dalam terang yang dipancarkan Gunung Jiwa, kesatupaduan sebelas pemain Barcelona menjadi lebih mudah dipahami: antara ""aku- Messi" dengan ""engkau-Xavi" dan ""dia-Iniesta" bisa saling berganti-ganti, bisa saling melengkapi, bisa saling bertukar posisi, bisa saling mengumpan dan membuka ruang.
Selalu ada orang pertama, kedua dan ketiga dalam setiap momen di mana Barcelona menguasai bola, sebagaimana ada ""aku", ""dia" dan ""engkau" dalam novel Gao Xingjian. Masing-masing bisa menjadi tokoh, tapi semuanya bersekutu dan melebur (atau ""tumpat pedat" dalam frase yang digunakan Chairil Anwar dalam sajak Kawanku dan Aku) menjadi satu tokoh utama yang masih itu-itu juga yaitu: tiki-taka.
Jika pergantian kata ganti orang dalam novel ""Gunung Jiwa" berawal dan berujung pada diri yang dengan tekun mencari kesejatian hidup (diri/self alias ""kata ganti orang pertama"), maka pertukaran peran orang pertama, kedua dan ketiga dalam skema penguasaan bola ala Guardiola berawal dan berujung pada tim yang sabar mencari ruang untuk menembak ke gawang lawan (tim/kami alias ""kata ganti orang pertama jamak").
Tidak selalu, memang, pencarian akan tiba di halte tujuan yang dikehendaki.
Pada bab pendek yang menjadi penutup Gunung Jiwa, si tokoh utama yang sudah menempuh ribuan li dalam pencarian kesejatian hidup dikisahkan justru hanya ""melihat seekor katak kecil berwarna hijau, dengan satu mata berkedip dan satunya lagi terbuka, menatapku dengan tak bergerak." (dalam teks Inggris terjemahan Mabel Lee: " small green frog, one eye blinking and the other wide open, unmoving, looking at me")
Mungkin itu seperti ketika Barcelona-nya Pep tiba di leg kedua semifinal Liga Champions 2010. Setelah ribuan meter yang ditempuh oleh para pemainnya untuk berlari, saling membuka ruang dan saling bertukar peran sebagai orang pertama, kedua dan ketiga, mereka tak melihat gawang dan tak menemukan gol, dan malah hanya melihat seekor katak à yang sebelah matanya berkedip dan sebelahnya lagi membelalak.
Katak itu suka benar menyebut dirinya sebagai ""The Special Frog".
Komentar