Sutanto Tan mendapat sorotan. Kegagalannya saat seleksi timnas U-19 angkatan Evan Dimas dkk., membuatnya lebih terpacu. Pernah setahun menimba ilmu di Geylang United, pesepakbola asal Batam tersebut akhirnya berlabuh ke Bandung bersama Diklat PBR, hingga Diklat Persib. Dipanggil oleh Aji Santoso untuk seleksi timnas U-22, pertanyaan lain muncul: Mana pesepakbola Tionghoa lainnya?
Sejak masa penjajahan Belanda hingga 1960-an, sejumlah pesepakbola Tionghoa turut terlibat di sepakbola Indonesia. Hedi Novianto dalam tulisannya "Kemana Pemain Tionghoa" menuturkan bahwa sejumlah nama seperti Chris Ong, Arief Kusnadi (Kiat Sik), Thio Him Tjiang, Peng Hong Alai, Thio Him Toen, Kwee Kiat Sek, pernah mewarnai sepakbola Indonesia. Belum lagi kehadiran pesepakbola Tionghoa yang "menarutralisasi" namanya menjadi nama lokal seperti Endang Witarsa, Sartono Anwar dan putranya, Nova Arianto.
Dalam tulisan tersebut, Hedi meyakini kalau orang Tionghoa bukannya anti terhadap olahraga. Sejumlah cabang olahraga mereka kuasai: bulutangkis, tinju, renang, balap mobil, sepeda gunung, hingga bola basket. Anehnya, nama orang Tionghoaïÿýbaik yang sudah "dinaturalisasi" maupun nama asliïÿýjarang terdengar di panggung persepakbolaan Indonesia.
Juan Revi merupakan pesepakbola keturunan Tionghoa yang terbilang sukses. Ia menjadi tulang punggung Arema hingga saat ini. Karir Revi sebenarnya terpantau saat ia bergabung bersama tim PON Jawa Timur yang merebut emas pada Pon 2008. Ia pun sempat dipanggil timnas pada 2013 kala membela PSS Sleman.
Sebelum Revi, ada pesepakbola muda Indonesia yang digadang-gadang akan menjadi pemain besar, dan ia adalah keturunan Tionghoa: Irvin Museng. Pemain kelahiran 16 Juli 1992 ini merupakan pencetak gol terbanyak dalam ajang sepakbola Danone U-12 pada 2005 di Prancis. Sempat berlatih bersama Ajax Amsterdam junior, karir Museng akhirnya meredup saat kembali ke Indonesia.
Ada juga Arthur Irawan. Nyaris tak terdengar sebelumnya, nama Arthur tiba-tiba mencuat menyusul kabar ia telah dikontrak Espanyol, kesebelasan yang bermain di La Liga. Arthur memang tak pernah bermain di tim utama, dan hanya sempat mencicipi Espanyol B, tapi keberhasilnya itu menjadi kabar yang mengejutkan. Seakan ada harapan baru. Namun karirnya kemudian agak meredup, bahkan ia gagal menembus skuat kesebelasan nasional Indonesia di Piala AFF 2012.
Kehadiran Sutanto Tan, juga Arthur Irawan dan nama-nama di atas, memberi khazanah baru bagi sepakbola Indonesia bahwa sepakbola bukan cuma milik pribumi yang berkulit sawo matang. Kehadiran pemain Tionghoa juga seperti membuka kembali sejarah kejayaan sepakbola Indonesia pada 1950-an.
Tidak Ada di Lingkungan Sekolah
Di Bandung, jarang ada sekolah ataupun perguruan tinggi yang mayoritas orang Tionghoa menjuarai sebuah turnamen sepakbola atau futsal. Langganan juara biasanya melekat pada SMAN 16 Bandung, atau SMAN 18 Bandung yang kini berlatih di Thailand setelah memenangi kompetisi futsal tingkat nasional. Jarang terdengar, misalnya, SMA BPK Penabur atau SMA Bina Bakti yang menjuarai kompetisi sepakbola atau futsal.
Kondisi berbeda terjadi pada ajang bola basket tingkat Perguruan Tinggi (PT). Pada Liga Basket Mahasiswa 2013, Institut Teknologi Harapan Bangsa (ITHB) berhasil menjadi juara nasional, dan pada tahun ini hanya berada pada peringkat kedua setelah kalah atas Universitas Pelita Harapan (UPH).
Hal yang sama berlaku pada kompetisi basket tingkat SMA tahun ini. Dari empat kesebelasan yang berlaga pada babak semifinal, tiga di antaranya merupakan SMA yang siswanya mayoritas Tionghoa: SMA Trinitas, SMA Santa Angela, dan SMA Bintang Mulia, meski juara tetap diraih kekuatan basket Bandung, SMAN 9.
Dari sedikit fakta di atas, terlihat bagaimana antusiasme sejumlah sekolah yang mayoritas Tionghoa untuk berolahraga, tapi bukan futsal atau sepakbola. Dorongan untuk bermain sepakbola mungkin ada, tapi tidak sebesar dan "sekeren" mereka yang main basket.
Sulit menjadikan sepakbola sebagai hobi belaka. Dibutuhkan fisik yang prima serta latihan terstruktur setiap saat. Ini bukan berarti olahraga lain tidak butuh fisik yang prima, tapi dibandingkan dengan basket yang hanya 4x10 menit atau 4x12 menit, sepakbola jauh lebih menguras fisik, karena lapangan yang jauh lebih besar pula.
Orang Tionghoa mana yang mau anaknya menjadi pesepakbola dengan masa depan yang belum begitu jelas? Lebih baik mengirimkan mereka ke Barkeley, belajar ekonomi, lalu melanjutkan usaha keluarga.
Melawan Lewat Sepakbola
Zen RS dalam tulisannya "Mengenang Tionghoa dalam Sepakbola Indonesia" yang mereview buku Tionghoa Surabaya dalam Sepakbola Indonesiaïÿýmenuliskan bahwa orang Tionghoa punya posisi yang kompleks dalam struktur sosial di Indonesia. Walau sudah mendiami Nusantara berabad-abad lamanya, posisi mereka masih seringkali idanggap sebagaiïÿýoutsider, atau orang luar.
Diskriminasi yang diterima orang Tionghoa sudah mulai terjadi sejak era pemerintah kolonial Belanda. Ruang gerak mereka dibatasi dengan ditempatkan di wilayah tertentu. Sepakbola pernah menjadi tempat pembuktian orang Tionghoa bagaimana cara mereka melawan. Kala itu, selain federasi sepakbola Belanda (Nederlandsch Indische Voetbal Bond-NIVB) dan Persatiean Sepakraga Seloeroeh Indonesia (PSSI), orang Tionghoa juga punya federasinya sendiri:ïÿýHwa Nan Voetbal Bond (HNVB). Mereka punya klub-klub dan kompetisinya masing-masing. HNVB bukannya tanpa prestasi, karena di sanalah sejumlah pemain berkualitas berasal.
"Puncaknya, pada 1927, Comite Kampioen Wedstrijden Tiong Hoaïÿý(CKTH). Dari situlah akhirnya munculnyamuncul HNVB sebagai organisasi yang menaungi semuaïÿýbond sepakbola Tionghoa di Hindia Belanda," tulis Zen.
Novan Herviyana lewat blognya, menuturkan pada 1927, kesebelasan Tionghoa menghimpun diri dalam CKTH. Pada 1930, barulah HNVB lahir. Kompetisi yang digelar HNVB digelar saat mereka melakukan kongres setiap tahunnya.
Membawa Indonesia Berjaya
Presiden Indonesia keempat, Abdurrahman Wahid, dalam tulisannya "Beri Jalan Orang Cina" memperlihatkan kondisi di masa Orde Baru, di mana "Orang Cina" diperlakukan "khusus".
"Secara terasa, `kesepakatan` meluas itu akhirnya mengambil bentuk pembatasan bagi ruang gerak orang Cina. Mau jadi tentara? Boleh masuk AKABRI, lulus jadi perwira. Tetapi harus siap menerima kenyataan, tidak akan dapat naik pangkat lebih dari kolonel. Mau jadi dokter? Silakan, namun jangan mimpi dapat meniti karier hingga menjadi kepala rumah sakit umum. Mau masuk dunia politik? Bagus, tetapi jangan menduduki jabatan kunci. Di birokrasi? Jadi pejabat urusan teknis sajalah, jangan jadi eselon satu. Apalagi jadi menteri," tulis Gus Dur di majalah Editor yang terbit pada 21 April 1990, dikutip dari halaman Facebook Akhmad Sahal.
Padahal, pada masa Presiden Soekarno, orang-orang Tionghoa inilah yang memberikan kebanggaan terhadap Indonesia. Wartawan BBC, Heyder Affan, menuliskan kalau skuat yang berhasil menahan Uni Soviet pada Olimpiade Melbourne 1956, juga diperkuat oleh orang Tionghoa.
Pada 1950-an, bukan pemandangan yang aneh jika melihat orang Tionghoa bermain di lapangan hijau. "Mereka membaur betul sebagai bangsa Indonesia, tidak ada perbedaan antara Tionghoa dan pribumi. Cair sekali," tutur Ignatius Sunito, mantan wartawan Kompas dan Pemimpin Redaksi Bola, seperti dikutip dari BBC.
Sejak kegagalan di Asian Games 1962, peran pemain Tionghoa, sudah tidak lagi sefenomenal dulu, seiring mundurnya prestasi sepakbola Indonesia.
Faktor lain yang membuat orang Tionghoa "pudar" dari peredaran adalah saat mereka "dianaktirikan" oleh penguasa kala itu. Faktor lainnya, karena memang jarang pesepakbola yang berlaga di Indonesia, bisa sukses dalam ukuran uang.
Faktor lain yang kerap saya temui adalah masih adanya diskriminasi dalam bentuk tatapan aneh, misalnya, saat ada orang Tionghoa yang datang ke stadion memakai kostum tim lokal. Hal ini seperti menyiratkan adanya "kita" dan "mereka" yang masih lekat antara masyarakat pribumi dengan orang Tionghoa.
Gus Dur menyatakan kalau orang Tionghoa tidak ada hubungannya dengan Republik Rakyat Tiongkok, karena mereka lahir sebagai Indonesia.
"Kalau kita bisa menerima kehadiran orang Flores, Maluku, dan Irian sebagai satuan etnisïÿýpadahal mereka bukan dari stok Melayu (karena stok mereka adalah Astromelanesia), maka secara jujur kita harus melakukan hal yang sama kepada stok Cina. Juga stok Arab. Mereka bukan orang luar, melainkan kita-kita juga," ungkap Gusdur.
Saat mendengar masih saja ada yang memanggil orang Tionghoa dengan "Cina, Cina" dengan nada melecehkan, di situ kadang saya merasa sedih.
Apapun namanya, seperti kata Gus Dur, mau "Cina" mau "Tionghoa", toh mereka masih kita-kita juga, masih tetap orang Indonesia.
Sumber gambar: instagram.com/kimkurniawan
Komentar