Cerita Pendek Esse Est Percipi oleh beberapa orang dianggap sebagai bukti betapa Jorge Luis Borges, sastrawan termasyhur dari Argentina, sangat membenci sepakbola.
Esai berjudul Why Did Borges Hates Soccer karya Shaj Mathews, yang disadur begitu saja oleh Ilham Q. Moehiddin di rubrik Ruang Putih-nya Jawa Pos (15 Februari 2015), menjadi contoh bagaimana cerpen itu dijadikan bukti kebencian Borges kepada sepakbola.
Menurut saya, alih-alih digunakan untuk menjelaskan kebencian Borges pada sepakbola, cerpen Esse est Percipi sebenarnya lebih menarik jika digunakan untuk (1) memahami sepakbola kontemporer sebagai sebuah simulasi canggih dan (2) guna memasuki estetika Borgesian itu sendiri.
Bahwa Borges tidak menyukai sepakbola, itu bukan rahasia. Dalam sejumlah kesempatan, Borges sering mengungkapkan ketidakmengertiannya kenapa banyak orang menganggap sepakbola sebagai hal indah. âSepakbola adalah estetika yang buruk. Sebelas orang melawan sebelas orang lainnya saling mengejar bola bukanlah keindahan,â kata Borges.
Di buku Seven Conversations With Jorge Luis Borges, Fernando Sorrentino sempat bertanya soal sepakbola kepada Borges.
Borges dengan telengas mengatakan sepakbola, sebagaimana kriket dan golf, sebagai dosa bangsa Inggris yang sukar dimaafkan. Sepakbola, bagi Borges, membuat orang tidak tertarik dengan permainannya itu sendiri. Orang datang ke stadion bukan untuk menikmati sepakbola, tapi untuk melihat kesebelasan yang didukungnya menang. Ini sulit dipahami karena bahkan sebelum laga dimulai, kata Borges, orang sudah tidak peduli siapa yang akan bermain lebih baik, mana yang lebih terampil dan mana yang lebih kuat.[1]
Tapi cerpen Esse est Percipi, menurut saya, tak sedang mengobarkan kebencian Borges terhadap sepakbola. Cerpen itu, dalam cita rasa kontemporer, bisa dibaca sebagai sebuah kritik yang tajam terhadap industri sepakbola.
Melalui tokoh Tulio Savastano, presiden sebuah kesebelasan di Argentina, tokoh utama bernama Domecq diberitahu bahwa sepakbola sebenarnya sudah lama tidak dimainkan lagi. Salvastano mengatakan bahwa laga terakhir sepakbola terjadi pada 24 Juni 1937 di Buenos Aires. Setelah itu, sepakbola hanya âdimainkanâ di studio (radio/TV) dengan para penyiar dan komentator yang berpura-pura melaporkan pertandingan secara langsung.
Dengan gaya khasnya mengacak fakta dan fiksi lengkap dengan tanggal dan hari kejadian agar tampak ilmiah, historis dan faktual, Borges mendesakkan imajinasinya kepada pembaca untuk percaya bahwa sepakbola yang disaksikan melalui layar kaca bukanlah sepakbola sebagai permainan, tapi sepakbola sebagai simulasi yang dilebih-lebihkan.
Cerpen Esse Est Percipi sendiri sudah kami tayangkan di situs ini, berkat budi baik https://twitter.com/pitoist" target="_blank">@pitoist yang bersedia menerjemahkannya. Anda bisa membaca edisi Indonesia dari cerpen Esse Est Percipi tersebut DI SINI.
Tayangan Sepakbola
Pada 1963, ketika Borges menulis cerpen itu, tentu saja teknologi belum secanggih seperti sekarang. Televisi saat itu memang sudah menayangkan sepakbola, tapi masih sangat terbatas, dengan jumlah kamera yang sedikit, juga masih hitam putih (sepakbola ditayangkan pertama di televisi di final Piala FA 1938). Tapi cerpen itu sudah bisa bernubuat tentang sepakbola yang disimulasikan media seperti yang kita saksikan sekarang: yang rinci, detail, dan bisa disaksikan dari berbagai sudut. Dengan kamera berjumlah puluhan, tak ada sudut yang tak bisa ditampilkan di layar kaca.
Melalui media yang dari hari ke hari kian canggih menyodorkan âtayangan sepakbolaâ (frase ini harus digarisbawahi), batas geografis tak pernah lagi bisa menghalangi emosi dan tensi.[2]
Sebagai sebuah tayangan, sepakbola hadir sepotong-sepotong karena "pemirsa" [ini untuk membedakan dengan "penonton" yang merujuk mereka yang hadir di stadion] tak pernah bisa menikmati sepakbola sebagai pengalaman-tak-terpermanai. Yang bisa dinikmati pemirsa adalah sepakbola yang disodorkan oleh kamera dan umumnya kamera selalu menyorot mereka-mereka yang ada di dekat bola. Apa yang dilakukan Philipp Lahm saat Arjen Robben mengambil tendangan pojok biasanya tak tampil di televisi.
Frase "tayangan sepakbola", untuk digariswabahi, merujuk sepakbola bukan sebagai sebuah permainan, melainkan penampilan [performance] yang ditayangkan lewat medium televisi [juga streaming internet].
Baca juga: Industri Sepakbola Berhutang pada Televisi Berwarna.
Tapi, di situlah juga kelebihan tayangan sepakbola. Tayangan sepakbola mengalihkan kelemahannya itu menjadi kelebihan dengan cara memblejeti detail. Maka jangan heran jika kini tv getol menayangkan bagaimana kiper berteriak-teriak dalam gerak lambat sampai-sampai urat-urat lehernya terlihat jelas. Menakjubkan rasanya saat melihat rumput yang tercabut saat Thiago Silva melakukan tekel.
Jangan heran jika para suporter yang menonton di kafe, misalnya, juga bisa bereaksi sebagaimana para suporter yang ada di stadion. Sangat biasa mereka bernyanyi-nyanyi, membawa spanduk dan bahkan menyalakan flare yang berasap (tak peduli mereka ada di kafe atau di gedung in door). Bahkan ada suporter kesebelasan X berkunjung ke kafe yang menjadi markas suporter rival dengan gaya, ekspresi dan tensi seakan mereka sedang berkunjung ke stadion lawan. Sangat serius, sangat penuh penghayatannya.
Inilah situasi di mana tayangan sepakbola di layar kaca bisa sama menggugahnya dengan, dan bahkan menggantikan, sepakbola yang sebenarnya yang dimainkan di stadion. Baudrillard menyebutnya sebagai hiperealitas: ketika orang tak bisa lagi membedakan asli dan palsu, fakta dan rekayasa, masa lalu dan masa kini, tanda dan realitas.
Ketika tayangan sepakbola menggantikan sepakbola per se yang dimainkan di stadion, ini sama seperti (dengan mengutip Baudrillard kembali) ketika pornografi menjadi lebih sensual ketimbang seks itu sendiri.[3]
Itu semua terjadi, bagi Baudrillard, karena berlangsungnya praktik simulasi: proses yang membuat representasi (gambaran) atas tanda-tanda realitas justru menggantikan realitasnya itu sendiri: pornografi bisa sangat menggoda untuk dinikmati ketimbang seks itu sendiri, tayangan sepakbola lebih menggairahkan ketimbang bermain sepakbola langsung di lapangan.
Situasi semakin menakjubkan ketika "sepakbola sebagai tayangan" ini pun "diacak-acak" lagi oleh berbagai permainan dengan tingkat kemiripan yang makin lama makin menyerupai aslinya: dari playstation, football manager hingga fantasy premier league. Di sini, sepakbola di-hack sedemikian rupa sehingga ukuran cinta-benci pun bisa tumpang tindih dengan ajaib: fans Liverpool ingin Rooney membuat hattrick tapi Mignolet maunya tetap cleansheet.
Saya belum pernah mendengar ada pertandingan sepakbola yang disimulasikan di studio dan kemudian dipancarkan melalui TV/radio sebagaimana dalam cerpen Borges. Tapi jika menyaksikan bagaimana game sepakbola (seperti yang dimainkan lewat playstation atau football manager, misalnya) dari tahun ke tahun semakin mendekati aslinya. Suara penonton di tribun hingga gerak dan gesture pemain dihadirkan dengan efek yang sedemikian rupa sehingga terasa seperti pertandingan sebenarnya.
Estetika Borgesian
Dari sinilah pengertian esse est percipi yang dijadikan judul cerpen oleh Borges bisa mulai ditelisik.
Esse est percipi atau being is being perceived adalah postulat yang disodorkan George Bekeley. Melalui postulat itu, Berkeley ingin mengatakan bahwa keberadaan sebuah objek itu ada karena dapat dipersepsi oleh (pikiran). Arti lebih jauh adalah dunia material sebenarnya sama saja dengan ide-ide kita sendiri. Tidak ada dunia material yang berada di luar kesadaran kita â yang ada adalah ide atau penangkapan persepsi kita.[4]
Dengan itulah maka cerpen Esse est Percipibisa dipahami sebagai upaya Borges menjelaskan kenapa ada banyak sekali orang yang bisa sangat serius menyaksikan tayangan sepakbola yang berasal dari tempat yang ribuan mil jauhnya. Laga yang ditayangkan merupakan sesuatu yang riil, nyata, faktual karena bisa dipersepsi oleh orang yang mendengar/menyaksikannya lewat radio/TV.
Tentu saja ini cara baca yang menarik karena bisa membantu memahami cara kerja industri sepakbola yang menjelma raksasa yang memutar/menghasilkan uang milyaran juta dollar. Tapi saya juga harus membuka kemungkinan untuk berasyik masyuk menikmati âkebenaran ceritaâ Borges perihal tidak ada lagi sepakbola yang dimainkan â yang ada hanyalah laga yang disimulasikan di studio. Sebab inilah justru yang menjadi kekhasan Borges. Ia masyhur karena kemampuannya menyusun cerita yang mempermainkan realitas, mengacak-acak sejarah, bermain-main dengan biografi, kutipan dari sebuah buku, ensiklopedihingga kitab suci.
Saya merasa tak ada nada kebencian terhadap sepakbola dalam cerpennya Borges ini sebagaimana diutarakan Shaj Mathew. Cerpen itu mencerminkan kecenderungan literer Borges dalam bercerita. Sepakbola, di situ, tak ubahnya buku/ensiklopedia yang sering menjadi âkorbanâ Borges yang mahir bermain-main dengan realitas.
Borges memang sering berhasil membuat pembacanya âterkecohâ dengan permainan itu. Dengan cerdik, ia sering berhasil memaksa pembacanya percaya kisah yang disampaikannya sebagai hal yang faktual, historis, sebagai Ada (being). Esse est percipi, being is being perceived, ada karena bisa dipersepsi.
Dengan memahami esse est percipi, estetika Borgesian menjadi bisa lebih dipahami. Dan Borges memang beberapa kali menulis tentang kuatnya pengaruh postulat Berkeley bagi dirinya â cerpen ini salah satu di antaranya.
Kepada Richard Kearney, Borges pernah mengatakan bahwa pengaruh itu dipicu oleh ayahnya yang memperkenalkan konsep Berkeley di meja makan dengan menggunakan jeruk sebagai tamsilnya. Pelajaran itu diterima Borges, kata dia sendiri, saat ia berusia 10 tahun.[5]
Paradoks Menonton Sepakbola (di Indonesia)
Bagi saya, cerpen Esse est Percipi tak ubahnya sebuah dentang bel yang terus menerus mengingatkan untuk jangan melupakan sepakbola lokal â sebab sepakbola lokal inilah yang masih mungkin diakses sehari-hari oleh kita yang jauh dari Manchester, Roma, Madrid atau Liverpool. Sepakbola lokal menyodorkan sepakbola sebagai permainan per se â dan bukan simulasi yang dilebih-lebihkan oleh teknologi.
Persoalannya: siapa yang bisa menjamin sepakbola yang saya saksikan di stadion Si Jalak Harupat atau Gelora Bung Karno atau Jakabaring atau Segiri atau Maguwoharjo atau Manahan bukanlah produk simulasi (para mafia, misalnya)? Bukankah sepakbola gajah, seperti yang dipertontonkan PSS dan PSIS beberapa waktu lalu, adalah seburuk-buruknya simulasi sepakbola?
Mari tutup mata saja kalau begitu. Percaya sajalah kalau sepakbola bukanlah produk simulasi. Selama saya percaya, maka jadilah. Esse est percipi. Being is being perceived.
Mungkin dari situlah, akhirnya, saya bisa lebih menikmati semesta kisah dalam cerpen Esse est Percipi: tidak ada lagi sepakbola, sebab sepakbola yang sesungguhnya dimainkan terakhir kali pada 24 Juni 1937 di Buones Aires.
(Versi pendek esai ini sudah lebih dulu ditayangkan, dengan judul yang sama, di rubrik Ruang Putih-nya Jawa Pos, edisi 1 Maret 2015)
Catatan kaki:
[1] Fernando Sorrentino, Seven Conversations with Jorge Luis Borges (Philadelphia: Paul Dry Books, 2010), hal 27-28.
[2] Perihal "tayangan sepakbola" sebagai sebentuk pornografi, saya sudah menuliskannya dalam esai tersendiri. Beberapa paragraf tentang "tayangan sepakbola" di esai ini sudah pernah saya tuliskan, dan saya hanya mengkopas-nya saja, dalam esai berjudul "Pornografi Sepakbola". Anda bisa membaca esai saya itu DI SINI.
[3]Â Steve Redhead, The Jean Baudrillard Reader (New York: Columbia University Press, 2008), hal 161.
[4] Franky Hardiman, Filsafat modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche (Jakarta: Gramedia, 2004), hal 84.
[5] Richard Kearney, Navigations: Collected Irish Essays, 1976-2006 (Dublin: Lilliput Press, 2006), hal. 342.
Keterangan ilustrasi:Title: Soccer Surrealisme
Artist: Dangelo
Sumber: DI SINIÂ
Komentar