Menyoal Budaya Kritik dalam Sepakbola Indonesia

Editorial

by Zen RS 37190 Pilihan

Zen RS

Board of director | Panditfootball.com

Menyoal Budaya Kritik dalam Sepakbola Indonesia

Lanjutan dari halaman sebelumnya: Budaya Kritik Suporter Indonesia di Era-Modern

Pada 2014 lalu pendukung Persegres Gresik United melakukan aksi protes di Stadion Tri Darma dengan menyalakan flare membuat stadion pengap dan laga melawan Persib ditunda beberapa menit.

Beberapa hari sebelumnya pendukung Persik Kediri mengepung ruang ganti pemain usai Persik kalah dari Semen Padang di Stadion Brawijaya. Fans menuntut pelatih Aris Budi Sulityo mundur dari jabatannya. Dua sikap yang dilakukan Ultras Gresik dan Persikmania didasari kekecewaan akibat kekalahan yang terus menerpa Persegres dan Persik di musim ini.

Beberapa tahun sebelumnya pendukung Arema Malang, Persija Jakarta dan Persib Bandung pun melakukan hal yang serupa. Saat Arema ditekuk Persela Lamongan pada final Piala Gubernur tahun 2012 lalu, Aremania menginvasi lapang. Kerusuhan sempat terjadi. Spanduk "Tak Lagi Edan" mereka bentangkan didepan hidung skuat Arema. Tuntutan mereka jelas menuntut Rachmad Darmawan untuk mundur sebelum ISL musim 2013 digelar.

Lain hal dengan pendukung Persib. Usai kalah tipis dari Persipura, ratusan bobotoh mencegah pemain keluar dari Stadion Siliwangi padahal kala itu area Stadion siliwangi harus steril akibat tak diizinkan disaksikan oleh penonton. Bendera hitam mereka acungkan tinggi-tinggi tanda Bandung sedang berduka.

Kericuhan pun terjadi. Tuntutan mereka diperuntukan untuk Manajer Umuh Muchtar yang dinilai jadi biang kerok gagalnya Persib meraih gelar juara. Tak berhenti hanya di sana, aksi vandal poster-poster anti-Umuh pun tertempel di seluruh penjuru kota.

Tindakan berbeda dilakukan salah satu kelompok pendukung Persija. Konflik yang terjadi di antara manajemen Persija dan ketidakbecusan Ferry Paulus mengurus tim membuat faksi ini memutuskan untuk sementara waktu memboikot laga-laga Persija.

Dalam budaya suporter, boikot adalah salah satu cara untuk menyampaikan aspirasi. Dan itu tidak ada urusannya dengan kadar fanatisme atau kecintaan. Menggelikan ketika sikap tegas dan keras, yang sesungguhnya demi kebaikan kesebelasan sendiri, "dihabisi" dengan kata-kata atau tuduhan: "tidak loyal", "tidak cinta", atau sejenis itu.

Ada satu korelasi dari apa yang dilakukan fans di negeri ini. Aksi protes yang mereka lakukan terjadi di Stadion. Jika ingin aspirasi didengar oleh mereka yang berkuasa maka menggelar perlawanan di stadion adalah salah satu cara yang efektif dan tentu saja menempatkan suatu hal sesuai dengan tempatnya.

Budaya Malu yang menghasilkan Budaya Sadar Diri

Budaya kritik saat kalah akan memunculkan budaya malu, dan dari budaya malu maka akan muncul budaya sadar diri. Sadar bahwa dirinya salah, maka tak segan ia akan meminta maaf.

Lihatlah saat legenda PSM Makassar Ramang tersangkut kasus pengaturan skor, seluruh rakyat Makassar membencinya padahal kala itu Ramang sedang membawa PSM Makassar sedang jaya-jayanya - Juara Kejuaraan Nasional 2 kali berturut-turut.

Ulahnya itu tak hanya berbuah kritik, Ramang tak tahan dengan cercaaan publik yang terkadang berujung kontak fisik. Ia pun menangis terisak-isak meminta maaf kepada seluruh fans PSM lewat media. Ramang sadar bahwa dirinya salah. Ia tak bebal dan beralasan mencari pembelaan.

Budaya sadar diri ini juga yang terpaku dalam diri pemain, pelatih atau federasi saat prestasi sepakbola kita tak kunjung ada. Sadar kapabilitas tak mampu, maka dia akan memilih mundur daripada memaksakan kehendak pribadinya. Sampai era 90-an sering kita dapati dengan legowo entah itu pelatih, manajer ataupun pengurus federasi memilih mundur saat kekalahan terus menerus menerpa.

Dari jabatan ketua PSSI saja sejarah mencatat ada Bardosono (1975-1977), Ali Sadikin (1977-1980), Syarnoebi Said (1982-1983), dan Azwar Anas (1991-1998) yang memutuskan mundur sebelum masa jabatannya usai.

"Sayalah yang bertanggung jawab atas semua kegagalan itu, bukan orang lain." ucap Ali Sadikin pada Kongres Ke-27 PSSI Desember 1981 kepada Kompas.

Syarnoebi Said mundur karena timnas gagal masuk Final Sea Games 1983, sedangkan Azwar Anas mundur karena kasus sepakbola gajah saat Indonesia bermain mata dengan Thailand pada Piala tiger 1998. Rezim Nurdin Halid muncul karena budaya kritik kita perlahan mulai terkikis, lantas berimbas pada urat malu yang putus dan kesadaran yang entah lenyap kemana. Masuk penjara, dan memimpin PSSI dari balik penjara, tak membuatnya malu sama sekali.

Kediktatoran lahir saat publik mulai lupa pentingnya kritik, dan hal yang terkecil adalah mengkritik saat mengalami kekalahan. Kultur fans Inggris yang selalu loyal dan anti kritik, bahkan tendangan melenceng sejauh 20 meter pun tetap diberi tempik sorak, bukan satu-satunya cara bersikap dan menyikapi kenyataan di lapangan.

Kalimat seperti "jika tak mendukung saat kalah, maka kau tak berhak bersorak saat menang" adalah sebentuk penyederhanaan yang bisa membutakan. Kalimat macam itu sering digunakan untuk membantah suporter yang marah, kecewa dan jengkel dengan penampilan kesebelasannya. Seakan marah, jengkel dan kecewa itu adalah bukti bahwa suporter yang bersangkutan sudah tak lagi mendukung atau mencintai kesebelasannya. Lebih menjengkelkan lagi kalau kritik kemudian dibungkam dengan kata-kata: "Solusinya apa? Kritik itu harus bertanggungjawab dan ada solusinya!"

Bah! Kritik, ya, kritik saja. Sebagaimana jelek ya jelek saja. Butut ya butut saja. Setiap orang harus berani mengatakan sesuatu yang buruk sebagai buruk bahkan walau tidak atau belum tahu solusinya seperti apa. Sebab mendiamkan sesuatu yang buruk, seakan semuanya baik-baik saja, adalah sejenis keburukan yang lain.

Di Bandung, salah satu kutipan yang paling sering diulang adalah pernyataan Si Bengal Adjat Sudrajat. Ia pernah bilang: "Persib besar oleh cacian, pujian adalah racun."

Jika ingin, tentu saja anda bisa mengganti kata "Persib" di atas dengan nama kesebelasan masing-masing.

Sumber ilustrasi: https://www.theemotionmachine.com/quotes-on-criticism

Esai ini ditulis pada 2014, saat Aqwam masih bekerja di Pandit Football Indonesia. Esai ini terselip di tumpukan draft naskah dan baru tayang hari ini.

Komentar