Pertanyaan terbesar selama saya di Inggris sepanjang dua pekan lalu adalah: jika timnas perempuan Inggris menjuarai Piala Dunia, apakah akan ada perayaan di Trafalgar Square, pusat segala keriaan dalam jagat kehidupan masyarakat Inggris?
Pertanyaan ini muncul setelah â dengan mata kepala sendiriâsaya melihat tak ada pemandangan yang menggambarkan tim nasional mereka sedang bertanding. Tak ada yang mencolok di berbagai sudut kota London.
Pembicaraan soal Piala Dunia Perempuan tidak mendominasi percakapan di pub. Tidak banyak orang berkeliaran dengan seragam Inggris. Tak ada bendera St Georgeâs Cross yang digantung di mana-mana (kecuali di Council House). Bahkan tidak banyak bar-bar yang buka hingga larut malam untuk menyiarkan pertandingan timnas Inggris di Piala Dunia Perempuan 2015. Memang televisi nasional Inggris, BBC, menyiarkan seluruh pertandingan, tapi jika yang bertanding timnas laki-laki pasti banyak keramaian yang akan digelar hingga pagi menjelang.
Saya menyaksikan pertandingan semifinal Inggris melawan Jepang di bar sebuah hotel di kawasan Chelsea, London bagian barat. Hanya ada beberapa orang yang berada di bar itu selepas tengah malam, tapi saya satu-satunya yang menatap layar kaca menonton pertandingan. Ketika saya iseng bertanya, orang di sebelah hanya menjawab bahwa ia tidak familiar dengan pemain-pemain perempuan Inggris. Tentu saja ia mengaku ingin Inggris menang, namun jelas ia tak terlalu risau dengan jalannya pertandingan.
Porsi laporan media mengenai Piala Dunia perempuan di Indonesia lebih kecil lagi. Tidak ada satu pun TV nasional yang menyiarkan. Ya, memang timnas perempuan Indonesia tak berlaga di sana. Tapi toh di Piala Dunia laki-laki yang timnas Indonesia tak ambil bagian pun, liputan media begitu luar biasa.
Apa sebenarnya yang membuat kita gemar menonton sepakbola? Apa kita menyukai dan menonton sepakbola karena merasa kenal dan akrab dengan pemainnya? Akankah kita enggan menonton Barcelona, misalnya, jika tak tahu siapa itu Lionel Messi atau Neymar? Tak bisakah kita menikmati dan mengapresiasi sebuah pertandingan sepakbola tanpa perlu kenal siapa pemainnya?
Apakah kita menonton sepakbola karena merasa terhibur dan terbuai dengan aksi atletis nan memukau para pemainnya? Apakah kita tersihir daya magis yang terjadi ketika gol indah tercipta? Apakah kita menyukai drama sepakbola dengan kurva emosi yang naik turun?
Semua hal yang dimiliki Piala Dunia laki-laki juga dimiliki Piala Dunia perempuan. Perbedaannya hanya: kita tak familiar dengan pesepakbola perempuan.
Tapi apa benar kita menonton sepakbola sekadar hanya karena kita kenal dengan para pemainnya? Atau justru problem kita lebih pelik lagi dari sekadar itu?
Beberapa orang beranggapan sepakbola perempuan tidak semenarik laki-laki. Alasannya, mutu Piala Dunia Perempuan tidak secemerlang Piala Dunia untuk Messi, Ronaldo, dkk.
Tapi benarkah itu alasan yang tepat? Ataukah sekadar alasan yang dibuat-buat? Bukankah untuk menyimpulkan mutu kita harus punya pengalaman yang cukup dengan menyaksikan banyak pertandingan lebih dulu? Seberapa akurat kesimpulan soal perbandingan mutu itu jika menonton sepakbola perempuan saja tak pernah?
Lagi pula, jika boleh sedikit kejam, bukankah mutu sepakbola Indonesia, misalnya, juga masih kelewat jauh dari cemerlang, kadang bahkan menggelikan? Toh, banyak dari kita tetap antusias menonton sepakbola Indonesia.
Jadi benarkah ini soal mutu?
Kita, para penggemar sepakbola, selalu menganggap bahwa permainan ini adalah sesuatu yang agung dan surgawi. Tapi apakah sepakbola tak lagi agung bagi para penganutnya hanya karena yang bermain adalah perempuan?
Ilutrasi karya @iiirf.
Komentar