Mungkin tidak pernah terbersit sedikit pun dalam pikiran kapten Leicester City, Wes Morgan, ia bisa mengantarkan timnya menjadi juara Liga Primer Inggris yang tersohor sebagai liga terkompetitif di dunia itu. Apalagi sebelum menjalani musim yang mengesankan pada musim ini (2015/2016), ia bersama rekan-rekannya tertatih untuk tetap menjaga Leicester City tidak terdegradasi pada musim 2014/2015.
Kita pun tentunya tak ada yang menduga akhir cerita musim ini akan menjadi teramat indah bagi Leicester City. Pada awal musim, kandidat juara Liga Primer, seperti biasa, diprediksi lebih mengarah pada Chelsea, Manchester City, Manchester United, Arsenal, atau barangkali Liverpool. Tapi yang terjadi, Leicester City justru menjadi yang paling berbahagia di musim ini.
“Bola itu bundar”, katanya. “Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini”, katanya lagi. Tapi musim 2015/2016 secara keseluruhan, tidak hanya di Liga Inggris, memang membuktikan kalimat-kalimat tersebut. Banyak hal yang awalnya tidak mungkin, tapi nyatanya menjadi mungkin terjadi pada musim ini, kemungkinan-kemungkinan yang pada musim-musim sebelumnya tak terjadi.
Chelsea, meski berstatus juara bertahan, secara mengejutkan terseok-seok di awal musim. Padahal mereka masih dilatih The Special One, Jose Mourinho, serta masih dihuni pemain-pemain terbaik macam Eden Hazard, Diego Costa, John Terry, Cesc Fabregas, Thibaut Courtois dan pemain hebat lainnya. Tapi mereka harus puas menempati papan tengah pada musim ini.
Terbang ke Italia, apa yang dialami Chelsea pada awal musim dialami juga oleh Si Nyonya Tua, Juventus. Ditinggalkan sejumlah pemain pilar, performa Juve merosot tajam dan hanya meraih tiga kemenangan di 10 pertandingan pertama. Juve disebut-sebut menjalani start terburuk dalam 103 tahun terakhir padahal mereka berstatus juara Serie A empat kali beruntun dan finalis Liga Champions musim ini, yang tentu saja tidak ada yang mengiranya.
Scudetto tampak tak akan menghampiri Juventus jika melihat hasil dari start mereka yang buruk. Sementara kesebelasan lain, AS Roma, Napoli, Internazionale Milan dan Fiorentina, saling sikut di puncak klasemen. Napoli kemudian menjadi juara paruh musim Serie A.
Tapi yang terjadi kemudian di luar dugaan, Juventus perlahan bangkit. Satu per satu tangga klasemen mereka naiki. Bahkan ketika menghadapi Napoli yang musim ini bisa dibilang tengah dalam musim terbaiknya, Juve berhasil menang. Ini menjadi titik balik perburuan Serie A.
Juve akhirnya kembali ke puncak klasemen pada pekan ke-25. Lebih dari itu, kemenangan demi kemenangan berhasil ditorehkan skuat besutan Massimilliano Allegri tersebut. Dan pada pekan ke-35, Juve menyudahi perburuan scudetto setelah Napoli ditumbangkan AS Roma yang membuat Juventus unggul 12 poin di tiga partai tersisa untuk meraih trofi kelima secara beruntun. Hasil yang di luar dugaan jika mengingat situasi pada awal musim.
Hal di luar dugaan terjadi juga di Spanyol musim ini. Jika melihat klasemen saat ini (pekan ke-36), Barcelona memuncaki klasemen dengan persaingan ketatnya dengan duo Madrid mungkin bukan hal yang aneh. Tapi jika menilik apa yang terjadi sebelumnya, hal tak biasa terjadi di kubu Barcelona.
Barcelona, yang disebut-sebut sebagai kesebelasan terbaik di dunia, belum lagi pada 2015 mereka menjuarai Piala Dunia Antar Klub ketiga kalinya, sempat mengalami penurunan performa. Sangat langka kita menyaksikan Lionel Messi cs tak menang di empat pertandingan La Liga (kalah tiga kali beruntun).
Di saat bersamaan, Real Madrid yang sempat dianggap tak punya kans juara karena terpaut 12 poin pada pekan ke-25 mulai tancap gas. Skuat besutan Zinedine Zidane ini lantas meraih 10 kemenangan beruntun. Alhasil, perebutan gelar juara La Liga kembali sengit karena tiga kesebelasan masih berpeluang juara dan akan saling sikut hingga pekan terakhir.
Selain apa yang telah disebutkan di atas, masih banyak lagi hal yang tak terprediksi terjadi pada musim ini. Aston Villa yang akhirnya terdegradasi dari Liga Primer, comeback Liverpool saat menghadapi Dortmund, Olympiakos yang meraih 28 kemenangan dari 30 pertandingan liga, bocah berusia 17 tahun yang menjadi andalan AC Milan bernama Gianluigi Donnarumma, atau Paris Saint-Germain yang tidak seperti biasanya pamer kekuatan di Ligue 1 dengan melucuti Troyes 9-0, adalah sedikit contoh dari ketidakmungkinan yang kenyataannya mungkin terjadi.
Ketidakmungkinan di atas terjadi tentu saja bukan karena kebetulan atau karena takdir sudah mengharuskan seperti itu adanya. Saya selalu ingat apa yang diucapkan Johan Cruyff mengenai “kebetulan”; “Coincidence is logical,” katanya.
Sangatlah salah meragukan kekuatan Leicester jika hanya menyalahkan performa klub papan atas yang menurun. Itu hanya salah satu faktor, tapi bagaimana strategi Claudio Ranieri mengalahkan lawan-lawannya, bahkan jika hanya dengan skor 1-0, menjadi penyebab utama Leicester juara. Leicester musim ini mungkin hanya sebuah fenomena, tapi ada hal yang dilakukan Ranieri dan skuat asuhannya sehingga akhirnya menjadi yang terbaik.
Begitu juga dengan hal lainnya. Juve juara bukan hanya karena kesebelasan Italia lain melemah, tapi kehebatan Allegri dalam meracik strategi tak bisa dilepaskan. Persaingan La Liga kembali ketat bukan karena kebetulan Barcelona tampil buruk di beberapa pertandingan terakhir, tapi keberhasilan Atletico Madrid dan Real Madrid mengalahkan lawannya pun menjadi alasan tersendiri.
Seperti kata Cruyff, selalu ada penjelasan logis di balik sebuah “kebetulan” terjadi. Dan musim ini menjadi pertunjukkan bagaimana sepakbola benar-benar memperlihatkan kebundarannya.
Hal ini perlu kita perlu syukuri karena sepakbola menjadi lebih menarik dari biasanya. Kesebelasan besar belum tentu jadi juara. Kesebelasan yang terseok-seok di awal musim, belum tentu tidak akan juara. Ini tentunya membuat kita semakin bisa menikmati sepakbola, sambil menanti kejutan apa lagi yang bisa disajikannya di kemudian hari.
foto: soccerpsychologytoday.com
Bola Semakin Bundar
Editorialby Ardy Nurhadi Shufi 03/05/2016 13:38
Komentar