Jika tim Anda ingin menang (harusnya memang demikian) maka tim tersebut harus mencetak gol. Titik. Sesederhana dan sejelas itu.
Bermain bertahan, dengan asumsi agar tidak kebobolan, memperbesar kans sebuah tim untuk tidak kalah, setidaknya seri jika skor 0-0 bertahan. Clean sheet, alias tidak kebobolan, sudah pasti menjamin sebuah kesebelasan tak akan meraih kekalahan. Itu sudah pasti. Tapi tidak kebobolan tidak bisa memastikan sebuah kesebelasan akan meraih kemenangan. Kesebelasan tersebut mutlak harus mencetak gol. Sekadar tidak kebobolan saja tidak cukup untuk menang.
Paragraf di atas tidak bermaksud untuk meremehkan pentingnya aksi bertahan, pertahanan atau clean sheet. Sama sekali tidak. Bukan itu maksudnya. Paragraf itu untuk menjelaskan, sekali lagi, bahwa untuk menang (dan akhirnya untuk juara) suatu kesebelasan harus mencetak gol. Tanpa mencetak gol, suatu kesebelasan paling banter hanya akan meraih seri dan lebih buruk lagi akan kalah.
Inilah yang menyebabkan, agaknya, para pemain menyerang (lebih tepatnya lagi: para pencetak gol) terkesan menjadi anak emas dalam sepakbola. Setidaknya itu tercermin dari jumlah para pemain menyerang (entah itu penyerang atau gelandang atau pemain sayap) yang meraih gelar pemain terbaik dunia jauh lebih banyak daripada para pemain bertahan (bek atau kiper atau gelandang bertahan).
Ini argumentasi yang sifatnya lebih mendasar, perihal filosofi sepakbola (bahkan olahraga) itu sendiri yang memang memburu kemenangan.
Gol sebagai Puncak Permainan
Gol dalam sepakbola adalah hal yang langka – dan karenanya paling dicari dan diburu. Dari gol itu juga kita mengenal sebuah kejadian lain yakni perayaan. Puncak kegembiraan atau kesenangan memang seharusnya untuk dirayakan.
Ada data menarik dalam buku The Numbers Game karangan Chris Anderson dan David Sally yang mampu menjelaskan kenapa gol di sepakbola adalah sebuah keindahan yang langka. Data yang dihimpun pada 2010-2011 membandingkan skor yang didapat pada beberapa pertandingan olahraga profesional. Hasilnya adalah sepakbola memiliki rataan skor terkecil dibandingkan olahraga lainnya. Dibandingkan American Football, rugby, basket hingga hoki es, data tersebut menunjukkan bahwa sepakbola menjadi olahraga dengan jumlah gol paling minim.
Masih dari sumber yang sama, gol dalam sepakbola juga membutuhkan usaha yang sangat besar. Lembaga statistik Opta mencatat ada 2842 aksi saat final Liga Champions 2010 antara Inter melawan Bayern. Aksi tersebut meliputi umpan, tekel, intersepsi, penyelamatan, dan sebagainya. Pertandingan sendiri dimenangkan oleh Inter lewat dua gol Diego Milito. Ya, hanya ada dua gol yang tercipta dari ribuan aksi tadi.
Berarti setidaknya butuh 1421 usaha yang dilakukan oleh para pemain agar dapat menyarangkan satu gol ke gawang lawan. Sebuah usaha yang besar dan pantas dihargai mahal.
Penyerang sebagai Aktor Protagonis Sepakbola
Pada sebuah seni peran, protagonis identik dengan tokoh yang mendukung alur cerita. Tidak harus yang berbuat baik memang, tapi ia adalah seorang tokoh utama yang biasanya paling banyak menarik perhatian atau menyedot porsi dalam keseluruhan suatu kisah.
Jika tujuan utama bermain sepakbola adalah untuk mencetak gol, maka dapat disimpulkan penyerang adalah tokoh utama. Ia menjadi pemain yang paling menarik dan menjadi pusat perhatian di lapangan. Tak heran kemudian rekor demi rekor harga penjualan pemain mulai tak menyentuh pemain dari sektor pertahanan. Selain terkait kebutuhan sebuah tim, hal ini juga berlaku untuk sektor komersialisasi.
Pemain bertahan adalah tokoh antagonis dalam sepakbola, ia dengan segala upayanya berusaha mencegah agar penyerang tak bisa mencetak gol. Pendeknya, seorang pemain bertahan justru menjadi “penghalang” bagi tercapainya puncak permainan yaitu gol.
Dalam logika yang umum atau yang standar dipakai dalam penulisan skenario film, misalnya, antagonis bisa dirumuskan secara sederhana: sebagai sosok yang menjadi perintang/penghalang tokoh antagonis dalam merealisasikan gol/tujuannya. Lalu siapa yang lebih disukai penonton? Tokoh yang mendukung gol atau yang menggagalkannya?
Disadari atau tidak, pengelompokkan semacam ini juga akrab pada kehidupan manusia secara alamiah. Kita akan lebih menyukai orang-orang yang membantu tujuan kita tercapai, daripada yang menghalanginya.
Proses gol yang digagalkan oleh bek maupun kiper akan membuat penonton semakin penasaran. Tak peduli berapa kali peluang tersebut berhasil digagalkan. Jika gol kemudian terjadi, semua seolah lupa terhadap kejadian sebelumnya, perayaan kemudian dilakukan.
Sebagai permainan tim, kita sebenarnya juga tidak bisa serta merta memberi label atau kasta terendah pada barisan pertahanan. Bukankah masih ada syarat lain sebuah tim dianggap menang dalam sepakbola selain mencetak gol: tidak kebobolan lebih banyak dari lawannya.
Masalahnya, sekali lagi, sekadar “tidak kebobolan lebih banyak dari lawan” juga tidak memastikan sebuah kesebelasan akan meraih kemenangan. Secara logika, “tidak kebobolan lebih banyak dari lawan” juga hanya bisa memastikan sebuah kesebelasan akan meraih hasil seri. Misalnya: kesebelasan X hanya kebobolan dua gol, sementara kesebelasan Y juga hanya kebobolan dua gol. Jelas kesebelasan X sudah memenuhi kriteria “tidak kebobolan lebih banyak dari lawannya”, tapi jelas kesebelasan X tidak memenangkan laga, bukan?
Prinsip dasarnya masih sama seperti yang sudah diuraikan di bagian sebelumnya: kesebelasan yang menang harus mencetak gol lebih banyak dari lawannya. Mencetak gol, sekali lagi, jadi syarat mutlak kemenangan.
Ke halaman berikutnya, Efek Magnet Pesona Penyerang
Komentar