Kenapa Kita Membenci Permainan Bertahan?

Editorial

by Ammar Mildandaru Pratama 68377 Pilihan

Ammar Mildandaru Pratama

mildandaru@panditfootball.com

Kenapa Kita Membenci Permainan Bertahan?

Efek Magnet Pesona Penyerang

Pada era kejayaan Barcelona di era Pep Guardiola, ada satu peran menarik yang mencuri perhatian: Busquets role. Posisi Sergio Busquets sampai diberi nama panggilan khusus karena perannya yang begitu vital di kesebelasan yang dibelanya, baik timnas Spanyol maupun Barcelona.

Area bermainnya hanya beberapa meter di depan bek, persis seperti seorang gelandang bertahan. Tetapi ia punya peran berbeda yakni sebagai holding midfielder. Ia adalah orang pertama yang menerima bola dari para bek di belakang untuk kemudian mendistribusikan ke depan, Xavi ataupun Iniesta. Busquets adalah poros dalam strategi tiki-taka yang dijalankan Barcelona.

Badannya yang terlihat ringkih juga sepertinya tak cocok sebagai pemain yang bertugas melindungi para bek ketika diserang. Tapi Busquets tetap saja mampu mencuri bola dari lawan dengan gaya khasnya, memakai teknik bukan fisik. Berbagai keistimewaan yang dimilikinya kemudian tak berarti karena bagaimanapun ia berkontribusi, ketika gol tercipta nama dan wajah Lionel Messi, Luis Suarez, atau Neymar tetap yang tampil di layar besar Camp Nou.

Kasus hampir serupa ada di rival Barcelona, Real Madrid. Pada tahun 2003 sang presiden Florentino Perez menjual Claude Makelele demi mendatangkan David Beckham. Alasannya adalah sang bintang Prancis tersebut tak berkontribusi banyak untuk El Real. Hanya mencetak satu gol dalam jangka waktu tiga tahun.

Atas keputusan tersebut, Zinedine Zidane lantas memberi komentar: "Kenapa harus menambah lapisan emas pada (mobil) Bentley ketika Anda kehilangan mesinnya?". Benar saja, Real Madrid kemudian mengalami fase buruk sepeninggalan Makelele dengan puasa gelar hingga tiga musim."

Semua pemain pada sebuah kesebelasan memang seolah tersedot pesonanya oleh para penyerang. Bahkan untuk gelar individu, ia mendapat kategori istimewa, pencetak gol terbanyak. Sang pemberi umpan (assist) tak semua otoritas liga memberinya sebuah penghargaan. Sedangkan pemain bertahan hanya dapat memperebutkan kategori pemain terbaik, dan yang perlu diingat mereka juga berebut dengan para penyerang untuk mendapatkannya.

Mengambil kiasan soal antagonis dan protagonis dalam film, jika Anda tak setuju pemain bertahan dikatakan antagonis, maka Anda bisa memasukannya sebagai pemeran pembantu. Dan pemeran pembantu, memang, sangatlah penting. Tak ada keraguan soal arti penting para pemeran pembantu dalam totalitas sebuah alur kisah.

Bermain Bertahan Sebenarnya juga Tak Mudah

Karena alasan-alasan di atas wajar sebenarnya banyak orang membenci permainan bertahan. Cara bermain dengan fokus pada pertahanan ini kemudian populer dengan nama taktik parkir bus.

Meski bertahan di sepakbola sebenarnya juga tidak mudah. Caranya bukan sekadar menumpuk pemain di kotak penalti, lalu menunggu peluit panjang berbunyi. Permainan bertahan yang sukses dan menghasilkan kemenangan bahkan trofi selalu dilakukan dengan cara yang kompleks.

Saya masih ingat hingga sekarang momen ketika cara pandang tentang sebuah pertahanan di sepakbola berubah. Pada saat itu di sebuah pertandingan Liga Champions Asia 2004 antara Persik Kediri melawan Binh Dinh. Persik yang melakoni pertandingan lanjutan grup G, menjamu wakil Vietnam tersebut dengan status unggulan.

Pada pertandingan pertama Persik mampu bermain imbang 2-2 dengan sang tuan rumah. Maka wajar kemudian jika Binh Dinh lebih memilih bermain aman dengan bertahan saat melakoni laga di Kediri. Sejak menit pertama mereka seperti anti menginjak daerah pertahanan Persik.

Semua pemain hanya menunggu saja di daerah sendiri. Bahkan ada beberapa momen para pemain Persik dan Binh Dinh hanya diam mematung ketika bola ada di kaki pertahanan tuan rumah. Para penyerang Binh Dinh sama sekali tidak berusaha menekan lawan dan lebih memilih membentuk pertahanan.

Sontak aksi tersebut mendapat sorakan dari penonton, tim lawan dianggap tak berniat bermain sepakbola karena mereka hanya menunggu dan terus menunggu. Namun saya justru berpandangan lain dengan para penonton. Menurut saya ini sesuatu yang jarang sepanjang pengalaman saya menonton sepakbola.

Cara bertahan pemain Binh Dinh masih sangat asing di dalam pandangan saya ketika itu. Asing dalam artian positif, mereka bertahan dengan cara yang sangat rapi, layaknya orang baris-berbaris. Beruntung saya menyaksikan langsung di stadion, karena mendapat keuntungan tersendiri, punya pandangan semua lapangan yang tak bisa dilihat di layar televisi.

Persik Kediri dan mayoritas penonton dibuat frustasi karenanya. Bahkan lewat serangan skema serangan balik, tim tamu mampu tampil lebih berbahaya. Persik sendiri akhirnya mampu menang 1-0 berkat gol tunggal Johan Prasetyo. Binh Dinh meski begitu mampu memberikan perlawanan yang tangguh, mereka juga bermain dengan 10 orang karena salah satu pemainnya diusir wasit pada babak kedua.

Sejak itu saya selalu memberi apresiasi khusus pada sebuah kesebelasan yang mampu membentuk pertahanan kokoh. Apalagi yang berhasil meraih prestasi seperti Atletico yang mampu mencapai final Liga Champions dan berada di perebutan juara La Liga musim ini.

Maka saat beberapa orang membenci permainan bertahan sebuah kesebelasan, saya selalu memaklumi. Namun soal pernyataan sepakbola bertahan itu tak indah, ini masih bisa diperdebatkan.

Komentar