Saat para penggemar sepakbola digembirakan oleh Piala Eropa 2016, yang membuat sahur bagi mereka yang berpuasa menjadi lumayan seru. di beberapa tempat lain malah dilanda duka: Dhaka, Bhagdad, Istanbul, Jeddah, Madinah hingga akhirnya Solo. Di tempat-tempat itu bom-bom diledakkan yang -- dihitung secara total-- mengorbankan ratusan jiwa.
Setiap orang waras, siapa pun yang memiliki hati nurani, seharusnya mengutuk aksi-aksi kekerasan yang menumbalkan nyawa-nyawa yang -- sebagian terbesar-- tak berdosa, mereka yang tidak tahu apa-apa. Akal sehat, juga hati nurani, seharusnya sudah cukup membimbing setiap orang waras untuk mengutuk aksi-aksi semacam itu. Di mana pun peristiwa pemboman bunuh diri itu, jika menyinggung dan merendahkan kemanusiaan, maka peristiwa itu menjadi urusan seluruh umat manusia -- yang semacam itulah persaudaraan sesama manusia yang sejati.
Namun, kita juga tahu, selalu ada orang-orang yang bergeming hatinya. Selalu ada orang yang justru bersorak sorai mengetahui ada bom-bom diledakkan di tempat yang bukan wilayah pertempuran, selalu ada yang merasa bergemmbira tiap kali bom meledak di wilayah sipil yang menjadikan warga sipil lainnya sebagai sasaran. Karena itulah, apa boleh bikin, bom-bom yang diledakkan semacam itu pernah, sedang dan masih akan terjadi lagi, entah di mana, dengan berbagai dalih dan alasannya.
Sepakbola sebenarnya tidak jauh berbeda: sama-sama bisa, bahkan pernah, mengorbankan jiwa. Sepakbola tidak kasip dari praktik-praktik kekerasan yang melahirkan korban, di sengaja maupun tidak disengaja. Memang sangat sulit menyangkal dakwaan yang menyebut sepakbola sebagai pemicu kekerasan. Contohnya sangat banyak.
Tak perlu menyebut fans Real Madrid di Irak yang dieksekusi lewat berondongan senjata kala menyaksikan final Liga Champions 2016 sekali pun, daftar korban kekerasan yang muncul di seputar sepakbola sudah cukup panjang. Dari tragedi di Heysel [.....], tragedi tawuran massal antara Al Masry dan al-Ahly di Port Said (Mesir), hingga korban-korban kekerasan yang mencuat dari lingkaran setan sepakbola Indonesia.
Tanpa menyebut kerusuhan di luar lapangan pun, sepakbola memang olah raga yang keras. Memang tidak sekeras tinju, tapi bentrok dan duel fisik menjadi bagian tak terpisahkan dari sepakbola. Kepala berbenturan dengan kepala hingga bocor dan berdarah-darah bukan pemandangan yang langka dalam sepakbola. Kaki berbenturan dengan kaki hingga salah satunya harus mengalami patah tulang yang mengerikan juga cukup sering terjadi.
Sebagai olah raga beregu, sepakbola sangat gampang menghidupkan kembali tribalisme primordial yang menggebu-gebu dengan kekerasan. Kesebelasan-kesebelasan dengan kisah rivalitas yang mengakar sangat dalam, jika berduel, benar-benar menyuguhkan aroma tribalisme kesukuan yang melibatkan sekian banyak cerita, juga sejumlah dalih: dari soal tradisi, sejarah, identitas, hingga kelas sosial.
Akan tetapi, justru karena bersifat olah raga beregu, sepakbola sesungguhnya mengajarkan satu hal: satu sama lain tidak boleh, juga tidak bisa, saling memusnahkan.
Kita bisa menoleh pada Jean-Paul Sartre, filsuf dari Prancis yang termasyhur itu, untuk memahami hal tersebut. Suatu saat Sartre pernah berkata: "Di dalam sepakbola, segalanya menjadi lebih rumit dengan hadirnya kesebelasan lawan."
Sartre menggunakan istilah "kesebelasan lawan" (opposite team), bukan “kesebelasan musuh” (the enemy team). Memang ada yang berbeda antara "musuh" dan "lawan". Kita lazim mendengar "Kesebelasan Amelawan Kesebelasan B", bukan "Kesebelasan X musuh Kesebelasan Y".
Sebagaimana politik di sistem demokrasi, sepakbola meniscayakan adanya kompetisi. Sepakbola hanya bisa dimainkan jika ada dua kesebelasan yang bertanding. "Lawan" adalah prasyarat mutlak untuk memainkan sepakbola. Tanpa "lawan", tak ada pertandingan. "Lawan", dengan demikian, adalah syarat sah sebuah pertandingan. Jika syarat itu dimusnahkan, maka tak akan pernah ada pertandingan, dan tak akan pernah ada sepakbola.
Apa yang terjadi dalam sepakbola itu, sesungguhnya dalam banyak segi, juga terjadi dalam kompetisi di alam demokrasi. "Lawan" bukanlah musuh yang mesti dimusnahkan. "Lawan" adalah syarat mutlak kehidupan demokrasi. Jika "lawan" politik dimusnahkan, maka demokrasi pun lenyap. Hanya sistem totalitarian yang menginginkan sekaligus mensyaratkan kemusnahan "lawan" politik. Hanya "musuh" yang layak dimusnahkan. "Lawan" bukan untuk dimusnahkan, "lawan" justru dibutuhkan.
Melalui penerimaan terhadap eksistensi lawan itulah, politik -- juga sepakbola-- tak akan pernah menjadi sehitam-putih aku vs engkau, kami vs kalian. "Lawan" adalah bagian eksistensial yang tak bisa dan tak boleh dihapus. Bersama mereka, "lawan-lawan" dalam politik, ideologi hingga sepakbola itu, kita semua justru mengada. Tanpa adanya mereka sebagai "lawan", barangkali "kita" bahkan tak akan pernah ada.
Dari perspektif seperti itu, maka momen ketika para pemain saling bertukar jersey setelah pertandingan adalah sebaik-baiknya adegan. Kadang memang satu sama lain yang bertukar jersey tak sungguh-sungguh mengenakan jersey lawannya. Kadang hanya dipegang dan digenggam untuk kemudian dibawa ke kamar ganti. Namun masih kadang kita saksikan para pemain yang benar-benar sudi mengenakan jersey lawannya, padahal jersey itu penuh dengan peluh, padahal jersey itu begitu lengket oleh keringat lawan yang saat pertandingan justru dihajar, dihantam, atau ditekel.
Bahwa setelah bertempur selama 90 menit, saling sikat dan sikut dalam dua babak, sampai saling hantam dan hajar sejak kick-off -- pada akhirnya satu sama lain akan saling bersalaman bahkan saling berbagi peluh, keringat bahkan mungkin panu dan kurap melalui pertukaran jersey itu.
Pada setiap pemain yang saling bertukar jersey dan mengenakan apa yang sebelumnya dipakai sang lawan itu, pada adegan yang sebenarnya menjijikkan itulah, kita justru dapat merasakan dan menyaksikan kemuliaan sepakbola.
Selamat merayakan kemenangan, dan marilah menyempurnakan kemenangan itu dengan memaafkan lawan-lawan. Selamat Idul Fitri, maafkan kekeliruan dan kesalahan kami -- baik kesalahan dalam teks maupun yang berupa konteks.
====
Pembaharuan [dilakukan pada 29 Juli 2017 pukul 14.15 WIB]: Pada bagian [.....] yang dihitamkan, sebelumnya tertulis "Hillsborough". Contoh Tragedi Hillsborough tepat jika semata merujuk korban-korban yang muncul karena/saat menonton sepakbola, tapi tidak pas untuk konteks kekerasan suporter. Bagian itu dihilangkan karena tidak akurat. Terima kasih kepada para pembaca yang telah memberi catatan kritis.
Komentar