Tidak ada luka yang lebih perih dari pedihnya sebuah perang. Yang menang tak bahagia, yang kalah pun sama saja. Dalam perang, nyawa manusia diobral seperti tak ada artinya.
Di Olimpiade Rio 2016, tidak ada satupun dari 23 pemain yang mewakili Irak di cabang olahraga sepakbola, yang tidak pernah merasakan perihnya perang; Tidak ada yang tak bersedih karena ketenangannya diambil alih; Tidak ada yang tak cemberut karena kedamaiannya direnggut.
Irak, sejak sebelum masehi telah mengenal yang namanya peperangan. Perang bahkan seolah tak pernah lepas dari pergantian kepemimpinan kerjaan yang mendiami wilayah tersebut. Bahkan setelah memasuki abad ke-20, perang tak pernah pergi dari Irak, mulai dari perang antarnegara, sampai invasi “resmi” yang didalangi Amerika Serikat.
Selepas kekacauan yang dihadirkan Amerika Serikat, kini muncul golongan teroris yang ancamannya terasa di mana-mana. Siapa lagi kalau bukan ISIS, yang begitu perkasa, yang gerakannya sulit untuk diterka.
Karena ISIS pula, puluhan ribu orang bermigrasi mencari tempat aman untuk ditinggali. Jumat (5/8) kemarin, badan PBB yang mengurusui pengungsi, UNHCR, menyatakan bahwa ISIS kemungkinan telah menangkap sekitar tiga ribu warga Irak yang hendak melarikan diri dari sebuah desa. ISIS menjadi bahaya yang begitu nyata yang mengancam kehidupan jutaan warga.
Berjaya di Sepakbola
Namun, di tengah carut-marut kehidupan di Irak, angin segar itu justru berasal dari olahraga. Tentu kita tak akan lupa aksi heroik di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, kala Irak mengalahkan Saudi Arabia. Irak yang masih belum pulih karena invasi, justru berhasil mengangkat derajat negeri.
Menjadi juara di Piala Asia seolah membuka mata dunia. Bahwa dengan sepakbola, mereka bisa membuat wajah kita terpaling ke arah mereka. Capaian Irak di Piala Asia pun terbilang stabil. Setelah menjadi juara pada 2007, mereka berhasil lolos ke perempat final pada 2011, dan lolos ke semifinal pada 2015.
Prestasi tim muda yang diwakili Irak U-23 pun tak bisa dibilang buruk. Pada Asian Games 2014 di Korea Selatan, Irak yang dikomandoi Younis Mahmoud (lewat jatah Wildcard) berhasil meraih medali perunggu. Di Asian Games 2006, Irak bahkan berhasil meraih medali perak, yang tak lain karena lanjutan dari kesuksesan mereka di Olimpiade Athena yang menempati peringkat keempat.
Semua itu diraih Irak di saat kondisi di negara mereka tengah hingar bingar dengan dentuman bom serta desingan peluru tanpa henti.
Kini, di Olimpiade Rio 2016, kesebelasan negara Irak U-23, tengah berjuang untuk kembali membuka mata dunia. Mereka datang ke Brasil dengan skuat yang terbilang kuat. Mereka berstatus sebagai peringkat ketiga di Asia U-23 awal tahun ini sehingga menjadi satu dari tiga wakil Asia setelah Jepang dan Korea Selatan.
Irak tergabung bersama tuan rumah Brasil, serta Denmark dan Afrika Selatan. Di pertandingan pertama, Irak bermain imbang 0-0 dengan Denmark. Meski hanya meraih satu poin, tapi peluang Irak untuk lolos ke babak perempatfinal masih terbuka karena di pertandingan lain, Afrika Selatan berhasil menahan imbang Brasil tanpa gol.
Sepakbola adalah “senjata” Irak agar dunia berpaling ke arahnya. Di Olimpiade 2016, Irak cuma mengirimkan 23 atlet yang 18 di antaranya berpartisipasi di sepakbola. Di cabang olahraga lain, Irak masing-masing mengirimkan satu atlet: judo, dayung, renang, dan angkat beban.
Dibandingkan dengan Amerika Serikat yang menjadi pengirim atlet terbanyak dengan 554 atlet, tentu Irak bukanlah tandingan. Namun, Irak mengirimkan atletnya di cabor sepakbola yang merupakan salah satu olahraga terpopuler sekaligus bergengsi di dunia.
Pelatih Irak, Abdul-Ghani Shahad, menyertakan tiga pemain overaged yang sejatinya tidak terlalu jauh melebihi batas usia. Terdapat Ahmad Ibrahim (1992, 24 tahun), Hammadi Ahmad (1989, 26 tahun), dan Saad Abdul-Amir ( 1992, 24 tahun) yang diplot menjadi kapten.
Anehnya, dari 18 pemain yang dibawa ke Rio, tidak ada satupun yang mencatat lebih dari 30 caps bersama timnas. Bahkan, dari tiga pemain overaged, tak ada satupun yang mencatatkan lebih dari 10 caps. Hammadi Ahmad bahkan baru pertama masuk timnas.
Sebagai Pelarian Sementara
Ranj Alaaldin, Phd., dari London School of Economics and Political Science, di akun twitternya mencuit bahwa semua anggota tim sepakbola Irak yang menghadapi Denmark, kehilangan anggota keluarganya karena perang.
Namun, Singa Muda dari Mesopotamia, diharapkan bisa mengangkat Irak yang masih belum stabil. Sekalipun tidak ada ISIS, berbagai hal buruk di pemerintahan seolah masih menghantui.
Hasil positif di Olimpiade setidaknya bisa menjadi pelipur lara bagi segenap warga Irak. Sepakbola seolah bisa menjadi pintu keluar sementara bagi mereka dari pekatnya konflik yang tak pernah berakhir.
“Tidak ada yang membawa kebahagiaan untuk Irak kecuali para atletnya,” tutur Yasir al-Saffar, pemilik warung di Baghdad kepada AFP.
Yasir menceritakan bahwa lolosnya Irak ke Olimpiade membuat orang-orang menari dan merayakannya di jalanan. Mereka menyalakan klakson, mengibarkan bendera, dan meluncurkan kembang api.
Sekembalinya dari Piala Asia U-23 di Qatar, skuat timnas disambut dengan sorakan dukungan, drum, terompet, serta tepuk tangan di bandara. Keberhasilan lolos ke Olimpiade menjadi oase di tengah peliknya masalah di negeri kaya minyak tersebut.
“Malam itu, kami melupakan semua korupsi, politik, dan penderitaan. Itu adalah malam yang hebat yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Para atlet muda menyatukan negeri sementara para politisi yang sudah kadaluarsa memecah negara,” ucap Ali al-Samarrai, seorang “montir” komputer.
“Terima kasih atas kebahagiaan yang kalian berikan kepada kami,” lanjut Yasir, “Mereka adalah kebalikan dari para politisi yang membawa kekhawatiran dan kesedihan.”
***
“Tim olimpiade Irak memberikan senyuman indah di wajah masyarakat Irak yang lelah. Pemerintah belum pernah melakukan itu selama 12 tahun,” tulis jurnalis Irak, Ziad al-Shammari, di akun Facebooknya.
Sepakbola tak ubahnya sebagai pelipur lara bagi warga Irak yang masih merasa belum merdeka; oleh kekacauan yang memenjara jiwa, oleh para teroris yang menyiksa raga.
Komentar