Irak kembali menunjukkan tajinya di persepakbolaan Asia. Tak peduli dentuman bom dan desingan peluru menemani keseharian mereka, sepakbola Irak tetap bisa berprestasi. Terbaru, kesebelasan asal Irak, Al-Quwa Al-Jawiya atau yang lebih dikenal Air Force Club, berhasil mencatatkan sejarah dengan menjuarai AFC Cup.
Kesebelasan yang dibentuk oleh Angkatan Udara Irak pada tahun 1931 dengan nama Gipsy Moth (nama pesawat perang Irak) ini menjadi kesebelasan Irak pertama yang menjuarai AFC Cup. Sebelumnya, prestasi terbaik diraih Erbil yang kalah dua kali di final.
Air Force Club juga menjadi satu dari tiga kesebelasan Irak yang meraih prestasi di kompetisi antar kesebelasan Asia, setelah Al-Shorta dan Al-Rasheed yang menjuarai Liga Champions. Di Liga Champions, Air Force Club sudah tiga kali berpartisipasi, walau selalu gagal lolos dari babak grup.
Namun keberhasilan Air Force Club ini seolah membuktikan bahwa Irak tetap mampu berprestasi meski konflik dalam negeri terus menghantui setiap hari. Apalagi jika menilik fakta bahwa para atlit sering kali menjadi sasaran pembunuhan.
Pada Maret 2008, seorang pelatih yang merupakan mantan pemain timnas Irak, Munter Khalaf, tewas ditembak di depan rumahnya. Setahun berikutnya, giliran seorang permain yang ditembak ditempat ketika berlaga, walau kabar menyebutnya ditembak oleh pendukung lawan.
Hanya saja hal tersebut tak menyurutkan masyarakat Irak untuk mencintai sepakbola. Pada sebuah negara penuh konflik seperti Irak, sepakbola memang telah menjadi salah satu (atau mungkin satu-satunya) pemersatu negara yang rentan tersebut. Bagi masyarakat Irak, sepakbola bukan sekadar permainan, melainkan cara mereka untuk melupakan perang, bahkan senjata untuk menunjukkan pada dunia bahwa mereka mampu menjadi buah bibir atas prestasi yang mereka raih.
Hal itu semakin dibuktikan akhir-akhir ini. Sebelum Air Force Club menjuarai Piala AFC, belum lama ini timnas Irak berhasil menjuarai Piala Asia U16 setelah mengalahkan Iran di final.
Keberhasilan timnas Irak menjuarai Piala Asia U16 sendiri menjadikan Irak sebagai negara dengan juara Piala Asia terlengkap. Ya, Irak menjadi satu-satunya negara yang pernah menjuarai Piala Asia di segala kategori umur. Belum lagi trofi-trofi juara lainnya, yang diraih dengan kegentingan situasi dalam negeri, di kompetisi lain.
Perlu diketahui juga, Irak sempat tidak bisa menjalankan pertandingan internasional di kandang pada 2003 hingga 2009. Faktor keamanan membuat Irak harus terbang ke negara-negara tetangga, bahkan Malaysia, untuk bisa melakoni laga internasional. Selain itu, pengaruh stigma negatif Presiden Irak saat itu, Saddam Hussein, membuat tak banyak negara yang mau bertanding menghadapi Irak.
Palestina, yang juga merupakan negara konflik, menjadi salah satu negara yang berani bertandang ke Irak (2009). Selain itu, masih ada pertandingan kandang lain seperti pada 2013 dengan menghadapi Liberia.
Tapi dengan juaranya Air Force Club di AFC cup, sekali lagi, Irak telah menunjukkan kemauan keras mereka untuk bisa menjadi buah bibir dunia dengan hal-hal yang membanggakan, tidak hanya dengan peperangannya saja. Mereka tak menghiraukan darah yang bercucuran setiap hari untuk terus bisa berprestasi.
Sejumlah pemain Irak pun sudah mulai membela oleh kesebelasan-kesebelasan Eropa seperti Ali Adnan (Udinese), Dhurgham Ismail (Çaykur Rizespor), Ahmed Yasin (AIK Stockholm), Brwa Nouri (Östersunds FK), Osama Rashid (Lokomotiv Plovdiv), Yaser Kasim (Swindon Town), dan masih banyak nama lainnya. Dengan keberhasilan di segala usia dini, para pemain Irak memang memiliki masa depan yang cerah.
Situasi di atas tentunya menjadi tamparan telak bagi Indonesia. Timnas Indonesia masih kering prestasi meski tak ada masalah seperti yang terjadi di Irak. Tapi benar kata sebuah pepatah, musuh terbesar memang datang dari diri sendiri. Itulah sebabnya, mengapa Indonesia harusnya malu melihat kesebelasan Irak, baik klub maupun negaranya, yang mampu membuktikan diri sebagai salah satu kekuatan Asia di tengah masalah yang melibatkan nyawa sebagai taruhannya.
foto: afc-com
Komentar