Halaman kedua
"Indonesian Way" menyerang secara proaktif dengan penguasaan bola, konstruktif dari lini ke lini dan berorientasi progresif ke depan untuk mencetak gol. Proaktif di sini berarti ingin selalu menguasai bola (possession-based). Sementara itu konstruktif artinya membangun serangan secara sistematis dari lini ke lini, misalnya tidak langsung mengirimkan bola dari kiper ke penyerang, melainkan harus melalui bek, ke gelandang, baru ke penyerang. Sedangkan progresif mengutamakan pada operan-operan ke depan agar penguasaan bola yang dimiliki berorientasi pada mencetak gol, bukan hanya memainkan bola di belakang.
Maka yang kita lihat pada Evan Dimas dkk. adalah Indonesia seringkali unggul penguasaan bola. Ketika menyerang, Satria Tama atau Kartika Ajie tidak langsung memberikan umpan jauh ke tengah, tapi memberikan umpan pendek ke pemain belakang. Dari belakang, serangan dibangun perlahan untuk mencapai pemain gelandang. Umpan-umpan jauh yang sering dilepaskan Evan Dimas adalah bentuk dari orientasi progresif, yaitu secepat mungkin mengirimkan bola ke depan, tidak hanya fokus pada penguasaan bola.
Sementara itu, saat bertahan pun ada tiga hal yang perlu dipahami, yakni proaktif, situational pressing, dan zonal marking. Proaktif dalam bertahan berkaitan dengan proaktif saat menyerang, yaitu berusaha merebut bola secepat mungkin (possession-based). Mengenai situational pressing, artinya ketika sedang tidak menguasai bola para pemain harus cerdas menentukan garis pertahanan untuk menekan pemain lawan yang sedang menguasai bola sesuai situasi. Sedangkan zonal marking menekankan pada setiap pemain untuk tidak terpaku pada penjagaan satu lawan satu, melainkan fokus pada lawan yang berada di area terdekat.
Berdasarkan hal di atas, tak heran Indonesia bertahan dengan pressing yang terbilang agresif. Ketika tak menguasai bola, para pemain Indonesia proaktif untuk berusaha dengan cepat merebut bola kembali. Selain itu pressing Indonesia pun bisa dilakukan di lini pertahanan lawan, di tengah ataupun di lini pertahanan sendiri karena mengacu pada situational pressing.
Tapi yang paling penting dari "Indonesian Way" adalah transisi negatif dan transisi positif-nya. Saat transisi negatif (dari menyerang ke bertahan), prioritas pertama saat kehilangan bola adalah langsung memberikan pressing agresif pada pemain lawan yang berhasil merebut bola pemain Indonesia. Sementara saat transisi positif (dari bertahan ke menyerang), serangan balik cepat adalah prioritas utama.
Dengan prioritas transisi di atas-lah "Indonesian Way" bisa berjalan dengan baik. Itu juga yang kita lihat saat Indonesia saat ini bermain begitu militan dengan pressing-pressing agresif yang dilancarkan saat tak menguasai bola. Sementara saat berhasil merebut bola, para pemain Indonesia tidak berlama-lama dengan bola, tapi langsung melancarkan serangan balik cepat, sebagaimana gol yang dicetak Muhammad Hargianto di laga melawan Filipina.
https://twitter.com/ardynshufi/status/898178554663387139/video/1
Definisi sederhana "Indonesian Way" ini rasanya cukup menjelaskan kenapa Indonesia tidak begitu mengandalkan umpan-umpan pendek untuk mengirim bola ke lini pertahanan lawan seperti yang dibayangkan banyak orang tentang sepakbola Spanyol atau Barcelona secara khususnya. Hal ini tak lepas dari kemampuan dasar pemain Indonesia yang punya keunggulan dari segi kecepatan di kedua sayap dan punya individu-individu mumpuni dalam situasi satu lawan satu. Oleh karenanya Evan Dimas ditempatkan lebih ke dalam untuk bisa mengirimkan umpan-umpan panjang ke area flank.
***
Dipertahankannya Milla bisa membuat "Indonesian Way" yang diusung PSSI semakin sempurna dengan pemain-pemain yang ia panggil. Karena itu pula Milla ditugasi melatih timnas Indonesia dengan kebijakan mayoritas pemain yang dipanggil memiliki usia di bawah 23 tahun, selain melatih timnas U23 juga. Bersama para pemain muda yang dipanggil, Milla diharapkan bisa memoles para pemain muda Indonesia saat ini agar semakin matang menerapkan "Indonesian Way" dalam beberapa tahun mendatang.
Di samping beberapa kebijakan PSSI yang menuai kontroversi, "Indonesian Way" dan penunjukan Luis Milla memang menjadi harapan membaiknya sepakbola Indonesia, setidaknya dari segi permainan. Apalagi PSSI juga sudah membentuk kurikulum baru tentang "Indonesian Way" ini untuk disebar pada pelatih-pelatih usia dini dan grassroots.
Pemahaman "Indonesian Way" ini saya dapatkan pada kursus kepelatihan lisensi D PSSI beberapa waktu lalu. Bahkan dalam materinya, PSSI menekankan pola dasar 4-3-3 sebagai formasi belajar untuk usia dini sejak 10 tahun. Sebelumnya, jika melihat kurikulum yang dibuat PSSI sebelumnya (yang melibatkan Timo Scheunemann), selain 4-3-3, anak usia dini juga diperkenalkan dengan sistem 4-4-2.
PSSI berharap "Indonesian Way" perlahan-lahan diperkenalkan ke setiap Sekolah Sepak Bola (SSB) atau akademi lewat kurikulum baru ini. Jika "Indonesian Way" ini bisa dipahami dengan baik oleh anak-anak usia dini, bukan tidak mungkin Indonesia bisa menciptakan Evan Dimas-Evan Dimas baru sesuai dengan kebutuhan sepakbola modern yang semakin menuntut agresivitas dan transisi yang cepat.
Komentar