Tewasnya Haringga Sarila, pendukung Persija Jakarta, di tangan bobotoh merupakan korban tewas ke-63 di sepakbola Indonesia. Insiden ini bukan hanya soal rivalitas bobotoh dan The Jak. Rivalitas suporter di Indonesia secara umum memang sudah kelewat batas. Setiap tahun, kita seolah hanya menantikan kabar duka atas tewasnya suporter di sebuah pertandingan sepakbola.
Kekerasan suporter memang lahir dari kultur masyarakat Indonesia sendiri. Dalam kasus lain, kita sering membaca atau mendengar berita pencuri atau pengendara yang menabrak kemudian tewas dipukuli massa, tawuran antar pemuda, perisakan di media sosial karena salah berkicau, bahkan mencederai orang lain karena perbedaan keyakinan atau pendirian politik.
Dalam pengeroyokan-pengeroyokan tersebut, tak sedikit dari pelaku yang sebenarnya tidak tahu pasti duduk perkaranya, namun karena teriakan mayoritas lainnya, mereka bisa langsung bertindak sebuas-buasnya manusia. Mereka seolah punya pembenaran untuk menghakimi seseorang.
Baca juga: Empat Hal Keliru dari Suporter (Sepakbola) Indonesia
Dalam pengeroyokan korban-korban kekerasan suporter, ia dipukuli bahkan hingga tewas hanya karena ia seorang pendukung kesebelasan rival. Padahal, kita tidak tahu kehidupan sehari-hari korban tersebut. Sekarang bayangkan misalnya seseorang yang di kehidupan sehari-harinya tak punya satu pun musuh, namun harus meregang nyawa karena mendukung kesebelasan yang berbeda.
Situasi seperti ini bukan kesalahan satu pihak tertentu. Tragedi seperti ini adalah wajah buruk sepakbola Indonesia. Sisi gelap manusia Indonesia.
Rivalitas Harusnya Seperti Apa?
Tentu tidak ada aturan tertulis seorang suporter harus dan tidak harus melakukan sesuatu hal untuk mendukung kesebelasan pujaannya. Yang ada adalah batasan-batasan tertentu seorang suporter ketika mendukung. Kontak fisik tidak dibenarkan: aturan tersebut terikat lewat hukum pidana.
Rivalitas di luar negeri lebih aman dibanding di Indonesia. Korban meninggal di luar negeri bukannya tidak ada. Tapi untuk rivalitas di era modern seperti ini, tindakan-tindakan kriminal suporter bisa terminimalisasi karena tingkat keamanan lebih baik. Juga penegakan hukum pidana maupun hukum sepakbola yang tidak pandang bulu.
Para suporter luar negeri, yang paling barbar sekalipun, mereka lebih mengutamakan untuk meneror pemain lawan. Pemain lawan diteror agar tampil buruk sehingga tim yang didukung meraih kemenangan. Mereka tahu, tidak ada untung dan gunanya meneror apalagi bertikai dengan suporter lawan bagi kesebelasan yang didukung.
Berbanding terbalik dengan di Indonesia. Jika El Clasico adalah duel nasionalisme antara Spanyol vs Katalunya, atau Old Firm Derby sebagai permusuhan antara Kristen dan Protestan, atau Superclasico yang lahir karena "pertarungan" antara kelas bawah vs kelas atas; di Indonesia, rivalitas suporter terjadi karena hal sepele.
Rivalitas The Jak vs Bobotoh misalnya, s
Keduanya bentrok karena bobotoh kecewa ada The Jak yang bisa masuk stadion, sementara The Jak kecewa sudah datang jauh-jauh tapi tidak bisa masuk stadion. Insiden ini berlanjut dan semakin membesar karena adanya saling balas pada pertemuan-pertemuan selanjutnya, apalagi setelah memakan korban jiwa. Setelah itu segalanya menjadi semakin kusut untuk diurai.
Randy Aprialdi yang mengamati kultur suporter luar negeri menyebut bahwa rivalitas di Indonesia terlampau barbar. Tidak ada pengeroyokan seorang suporter luar negeri yang tewas oleh suporter lawannya. Hanya sebatas sampai terjatuh dan tak berdaya. Di Indonesia, suporter yang kehilangan nyawa biasanya dipukuli oleh banyak orang (bukan 1 lawan 1) bahkan tidak dengan tangan kosong.
Baca juga: Permusuhan Suporter di Indonesia Terlalu Barbar
Di sinilah letak perbedaan rivalitas suporter di Indonesia dan di luar negeri. Di Indonesia oleh hal-hal sepele seperti saling ejek, salah paham, atau sekadar tidak menerima kekalahan. Di luar negeri, rivalitas lahir karena perbedaan ideologi, dampak budaya, lingkungan sosial, hingga dampak peperangan di masa lalu.
Sudah Seperti Ini, Sekarang Bagaimana?
Federasi sepakbola dan pemerintah sudah terbukti tidak bisa mengatasi masalah kekerasan suporter ini. Saat ada korban suporter melayang, kita akan kembali mengingat masalah di masa lalu yang belum terusut tuntas. Contohnya, ketika Haringga sudah tak bernyawa saat ini, kasus Banu Rusman (suporter Persita) yang menjadi korban meninggal bentrokan dengan "suporter" PSMS pada 2017 lalu masih mengambang tak jelas.
Pelaku yang menghilangkan nyawa diadili saja tidak cukup. Hukuman PSSI terhadap suporter tidak pernah memberikan efek jera. Efek jera apa yang bisa diharapkan dari hukuman “dilarang datang ke stadion dengan atribut” atau “suporter dilarang ke stadion yang boleh adalah penonton umum”?
PSSI tersandera oleh kegagalannya bertindak waras dan adil di masa lalu. Jika mereka hendak bertindak tegas dan berani, mereka mudah diserang oleh ketidakbecusannya di waktu-waktu sebelumnya. Bisa dibayangkan jika kali ini PSSI bertindak tegas, misalnya menghukum Persib, akan muncul pertanyaan: “Kenapa baru sekarang? Kenapa waktu suporter anu membunuh hukumannya gak kayak gini?”
Belum lagi potensi plin-plan di masa depan jika terulang kasus serupa yang dilakukan kesebelasan atau suporter lain. Ketidaklegowoan suporter saat dihukum oleh PSSI salah satunya dipicu oleh tidak seriusnya penegakan hukum oleh PSSI.
Kendati demikian, PSSI tidak punya pilihan kali ini. Tidak bisa tidak, rantai kekerasan di antara suporter Persib dan Persija ini mesti diputus. Dan karena perseteruan ini sudah sangat akut, tidak sesederhana Viking vs Jakmania, melainkan sudah menjadi ribuan orang vs ribuan orang (pendeknya: suporter di akar rumput), terobosan yang luar biasa harus dilakukan oleh PSSI, bahkan mungkin kepolisian dan pemerintah.
Sangat mungkin terobosan itu tidak memuaskan semua kelompok. Bisa saja terobosan yang diambil itu dinilai tidak adil bagi semua kalangan. Tidak apa-apa. Yang penting adalah: terobosan itu harus efektif memutus mata rantai kekerasan yang sudah kelewatan berdarah-darah ini.
Komentar