Saddil Ramdani kembali menjadi sorotan setelah tertangkap kamera sedang main tarkam (antar kampung). Beberapa hari berselang, giliran Bayu Gatra yang kedapatan bermain tarkam dan dikomentari oleh banyak warganet. Para pemain profesional itu lantas dihujat melalui media sosial karena bermain tarkam.
Ketika seorang pesepakbola sudah menjadi pemain profesional, tentu mereka tidaklah pantas bermain sepakbola tarkam. Seorang pemain yang digaji oleh klub profesional, tapi malah bermain dengan klub lain yang berstatus amatir, melawan pemain amatir, di pertandingan yang tidak resmi, bahkan di lapangan yang tidak sangat pantas untuk bermain sepakbola secara profesional.
Semua orang pasti sepakat dengan hal di atas. Kami pun begitu. Tapi ada beberapa hal yang membuat pemain profesional, sampai batas tertentu, boleh bermain tarkam: kondisi sekarang tidak ideal bagi pemain profesional.
Saat ini kompetisi tengah berhenti tanpa adanya kejelasan akan bergulir karena pihak kepolisian tidak mengizinkan berlangsungnya liga profesional. Memang operator liga merencanakan liga akan kembali berjalan pada Februari 2021 mendatang. Tapi siapa yang bisa jamin pandemi sudah teratasi pada periode itu? Toh, sampai saat ini pandemi virus corona ini masih belum menunjukkan tanda-tanda membaik.
Situasi ini berpengaruh besar pada kehidupan pemain profesional, khususnya dari segi kebugaran dan finansial. Mari kita bahas satu per satu.
Sepakbola Indonesia dihentikan per Maret silam. Artinya para pemain sudah memasuki bulan kedelapan tanpa kompetisi resmi. Sempat menjalani latihan untuk mengembalikan kebugaran, kini para pemain kembali diliburkan oleh klub.
Sebagai seorang atlet, tingkat kebugaran dan kompetitif tentu harus terus dijaga. Semakin lama seorang pesepakbola tidak bertanding, semakin menurun kebugaran pertandingan (match fitness) pemain tersebut. Sialnya, match fitness tersebut tidak bisa dijaga hanya lewat latihan dengan intensitas ringan di rumah, hanya bisa lewat pertandingan. Karena hal itu juga sebuah tim harus menjalani serangkaian uji tanding dalam pra-musim sebelum liga dimulai.
Sebetulnya seorang pesepakbola terbiasa menjalani periode di mana ia libur bertanding dan berlatih pada periode jeda kompetisi. Tapi biasanya, periode tersebut hanya sekitar satu-dua bulan saja. Sementara sekarang ini, para pemain tidak tahu kapan akan kembali bertanding. Bahkan jika liga benar-benar bergulir pada Februari 2021 mendatang, itu artinya para pemain di Indonesia tak bertanding hampir selama satu tahun!
Selain kebugaran, sentuhan pemain terhadap bola juga harus tetap dijaga. Tengok bagaimana seorang pemain yang cedera panjang ketika harus kembali bermain. Setelah cederanya sembuh ia tidak bisa begitu saja langsung bermain. Pemain tersebut, sehebat apapun dia, tetap perlu menyesuaikan diri kembali dengan bola sampai benar-benar ia kembali terbiasa menyentuh, mengoper, menggiring, hingga menendang bola.
Dari sisi finansial lebih krusial. Selama masa pandemi, para pemain di Indonesia hanya mendapatkan gaji sebesar 25%, seperempat dari gaji yang biasa mereka terima. Itu kalau dibayar, karena bukan tak mungkin di era seperti ini klub juga kesulitan mendapatkan pendapatan sehingga pembayaran terlambat, tertunda, bahkan mungkin terutang.
Sekarang berapa banyak pemain yang masih hidup berkecukupan dengan gaji hanya 25% dari biasanya? Di awal-awal pandemi, Asosiasi Pesepakbola Profesional Indonesia (APPI) mengatakan bahwa tak sedikit pemain yang bergaji 5-6 juta per bulan di masa normal, sehingga jika dipotong 75% gajinya akan di bawah Upah Minimum Regional (UMR). Asosiasi pesepakbola profesional dunia (FIFPro) juga sempat menyatakan kritiknya terhadap keputusan PSSI yang menganjurkan klub memotong gaji sebesar 75% (bahkan sempat ada yang 90%) selama pandemi dengan menyebut PSSI tidak peduli terhadap nasib pemain Indonesia.
"Terakhir cuma dikasih 10% malah," kata Revi Agung, pemain Persijap Jepara yang pada 2020 ini berkompetisi di Liga 2, ketika kami mintai keterangan.
Di sisi lain, dalam kondisi apapun, kebutuhan harian setiap pemain tetap terus berjalan. Apalagi tak sedikit pemain yang bukan hanya tulang punggung bagi anak-istrinya, melainkan juga tulang punggung keluarga besarnya. Ada banyak orang yang masih dan terus harus dihidupinya. Sampai batas tertentu, seseorang akan rela melakukan apa saja demi menghidupi keluarganya.
Mudah menyarankan mereka untuk mendapatkan penghasilan lewat usaha atau bekerja di sektor lain. Bagi para pemain senior yang sudah bertahun-tahun berkarier atau hendak memasuki akhir karier hal itu sudah mereka lakukan jauh-jauh hari. Tapi bagaimana dengan para pemain muda yang baru merintis karier?
Tentu bukan hal mudah menciptakan usaha baru begitu saja mengingat situasi luar biasa seperti ini telah menutup banyak sumber pencaharian jutaan orang dari sektor manapun. Malah dengan pengetahuan yang minim dan pengalaman yang kurang bukan tak mungkin upaya membuka pintu rezeki itu malah mendatangkan resiko lain: rugi bisnis.
Para pemain profesional adalah mereka orang yang ahli dalam bermain sepakbola. Maka dari itu, hal termudah untuk mendapatkan uang bagi mereka bukanlah berdagang atau berbisnis, tapi lewat sepakbola juga.
"Kalau dibilang stres, ya stres sekali. Bagi saya pribadi sendiri pendapatan saya hanya di sepakbola. Kompetisi di tahun sekarang ini bener-bener tidak ada sama sekali, sampe saya harus mencari uang di luar sepakbola buat menyambung hidup. Saya sendiri cuma berharap mencari nafkah dari sepakbola. Ada kepikiran kalau sepakbola Indonesia masih gini-gini aja saya mending cari kerjaan lain. Saya berhenti jadi pemain profesional. Tapi namanya hati, susah, karena sudah terlalu cinta dengan sepakbola," tutur Revi berkeluh-kesah.
Lalu kenapa gak main di luar negeri aja?
Begini, siapa, sih, pemain yang tidak ingin main di luar negeri? Kami yakin para pemain akan dengan senang hati berkarier di luar negeri jika mereka mendapatkan kesempatan. Pertanyaannya, memangnya kesempatannya ada? Kalau kesempatannya ada, memangnya klub mengizinkan?
Itu dari segi karier, belum dari faktor eksternal seperti adanya larangan warga negara Indonesia datang ke negara tertentu. Pada September lalu diketahui bahwa 59 negara telah menutup penerbangan dari Indonesia ke negara mereka akibat tingginya kasus COVID-19 di negara kita masih sangat tinggi, beberapa di antaranya adalah negara tetangga seperti Brunei Darussalam dan Malaysia.
Maka dari itu tarkam menjadi pilihan para pemain. Kami pun yakin, para pemain yang memilih jalur tarkam pun karena tarkam merupakan opsi terakhir mereka untuk mendapatkan pundi-pundi rupiah, yang kadang tidak seberapa walaupun tidak menutup kemungkinan bernilai cukup besar juga.
Tapi perlu diketahui, tarkam bukan hanya sebatas pertandingan antar kampung yang memperebutkan hadiah. Tarkam bisa juga berupa uji tanding, fun football, hingga pertandingan tradisi seperti yang kerap terjadi di Tulehu, Makassar, Papua, dan daerah-daerah tertentu. Semua pertandingan itu punya kesamaan meski berbeda nama: bertanding bukan di kompetisi pro alias amatir alias tarkam.
***
Kami bertanya pada salah satu pemain dari klub papan atas Liga 1 soal tarkam, ia mengatakan bahwa klubnya melarang pemainnya tarkam dan itu tercantum di kontrak, jika melanggar akan ada sanksi pengurangan gaji, termasuk di era sekarang ini. Tapi ada juga klub Liga 1 yang memperbolehkan pemainnya bermain tarkam di masa pandemi seperti ini, dengan alasan ketidak jelasan kapan liga bergulir.
Selain itu untuk kasus Saddil, ia mengatakan bahwa ia tidak bermain pada laga tarkam yang dituduhkan padanya itu. Bayu Gatra pun sebenarnya bukan bermain tarkam, ia mengaku tidak mendapatkan sepeser pun uang karena laga tersebut bertajuk laga persahabatan dan berisi para pemain liga di Jawa Tengah, walau kebanyakan pemain dari Liga 2 dan Liga 3.
Jadi sebaiknya warganet tidak perlu melimpahkan kebencian pemain bermain tarkam terhadap sang pemain. Jika memang harus disalurkan, salurkanlah ke yang lebih penting, misalnya meminta pemerintah untuk menangani pandemi lebih serius atau ke Kemenpora dan PSSI dengan merumuskan strategi yang lebih bisa meyakinkan pihak kepolisian agar liga bisa dijalankan di tengah pandemi.
Komentar