Editorial

by Zen RS

Zen RS

Board of director | Panditfootball.com

Adakah klub yang masih menunggak gaji pemain di musim lalu tapi malah sudah jor-joran mengontrak pemain baru? Ada. Apakah banyak? Banyak. Bisakah diterima akal sehat? Ya tentu saja: tidak!

Seperti sudah diketahui, kemarin Asosiasi Pesepakbola Profesional Indonesia (APPI) merilis daftar klub-klub Indonesian Super League (ISL) yang masih punya hutang kepada para pemain. Klub itu, seperti biasanya cerita akhir musim di sepakbola Indonesia, masih punya kewajiban membayar gaji pada para pemain yang mereka pakai tenaganya musim lalu.

Kalau Persija menunggak gaji pemain, sih, tidak terlalu mengejutkan. Di luar laporan APPI sekali pun, sudah lama kabar Persija menunggak gaji berhembus. Lagi pula, itu sudah menjadi cerita rutin tiap tahun bagi Persija. Begitu juga Persebaya ISL yang sejak fase 8 Besar memang sudah diberitakan punya persoalan dengan kewajiban membayar gaji pemain. Arema juga ternyata masuk daftar sebagai klub yang punya tunggakan gaji dalam rilis APPI, dan ini tidak terlalu mengejutkan juga, karena kabar itu sempat juga mencuat saat kompetisi masih berlangsung*.

Mitra Kukar mungkin yang agak mengejutkan. Nyaris tidak terdengar kabar sebelumnya jika mereka punya persoalan menunggak gaji. Terlebih selama ini Kukar dianggap, atau setidaknya dicitrakan, sebagai tim yang cukup sehat secara finansial. Nyatanya tidak. Mereka bahkan masih punya tunggakan gaji hingga empat bulan. Sama seperti Persija. Kukar dan Persija, dalam rilis APPI itu, disebut sebagai klub dengan tunggakan gaji terbanyak, sama-sama menunggak gaji selama 3mpat bulan.

Sementara kesebelasan-kesebelasan yang jauh dari hingar bingar, seperti Persijap Jepara dan Persik Kediri, justru dilaporkan oleh APPI sudah tidak punya hutang gaji pemain. Begitu juga yang terjadi dengan Gresik United, Barito Putera, Sriwijaya FC. Kalau Persib Bandung dan Persipura, sih, tidak mengejutkan jika tidak punya persoalan tunggakan gaji.

Menarik juga melihat bagaimana Persita Tangerang masuk dalam daftar yang tidak punya persoalan gaji pemain. Benarkah Persita tak punya persoalan hutang gaji pemain? Padahal, kesebelasan yang musim lalu harus terusir dari Tangerang ini, salah satu tim yang musim lalu paling sering didera persoalan ini, sampai-sampai Fabio Oliveira harus meramaikannya di media sosial. Agak meragukan.

Fabio Oliveira sendiri, dalam akun twitternya kemarin, meragukan data yang dirilis oleh APPI. Boleh jadi memang masih ada persoalan di Persita, setidaknya terkait kewajiban terhadap Fabio Oliveira sendiri. Leo Saputra, pemain belakang Persita, juga menegaskan sinyalemen dari Fabio. Hingga tulisan ini dibuat, belum ada respons yang diberikan manajemen Persita terhadap keraguan yang diutarakan Fabio di atas.

Menariknya lagi, atau ini sudah tidak menarik karena sudah jadi modus tahunan, klub-klub yang masih punya tunggakan gaji menurut rilis APPI itu bisa dengan santainya mengontrak pemain-pemain baru.

Persija, misalnya. Tunggakan gaji empat bulan tak menyuturkan Ferry Paulus, dkk., untuk mengontrak pemain-pemain dengan nama besar. Dari mulai memulangkan Bambang Pamungkas dan Greg Nwokolo, hingga mendatangkan pemain-pemain muda seperti Syaiful Indra Cahya hingga Vava Mario Zagallo. Bahkan Persija per hari ini sudah menandatangani kontrak dengan Martin Vunk dan Kabayev, pemain Estonia yang punya rekam jejak lumayan bagus, dan karenanya tentu saja tidak mungkin dibanderol murah. Bepe dan Greg jelas bukan pemain murah yang bisa dikontrak di bawah 500 juta. Estimasi kalau Greg dikontrak di kisaran 1 milyar bisa dibilang sebagai perhitungan yang masuk akal. Pendeknya, Greg bukan pemain berharga murah untuk standar Indonesia.

Begitu juga Arema Cronus. Tunggakan gaji satu bulan tak menyurutkan mereka untuk mengontrak pemain. Mereka bahkan sudah mengumumkan kontrak dengan Hasyim Kipuw dan Fabiano Beltrame, salah satu pemain termahal Persija dalam  beberapa musim terakhir. Pemain yang musim lalu menjadi kapten Persija ini jelas juga bukan pemain murah. Estimasi angka di atas 1 milyar, kami kira, juga masuk akal untuk harga seorang Fabiano. Kabar terakhir menyebutkan, Arema juga sudah mendapatkan tandatangan Somen Tchoyi, pemain Kamerun pertama yang mencetak hattrick di Liga Inggris. Dia pasti bukan pemain berbanderol murah. Dia boleh jadi berpeluang memecahkan rekor kontrak yang pernah diraih oleh Sergio van Dijk bersama Persib.

Lihat juga yang dilakukan Pelita Bandung Raya (PBR). Mereka dilaporkan APPI masih punya tunggakan gaji hingga dua bulan. Tapi toh itu tak menghalangi niat mereka untuk memburu pemain baru. Ilja Spasosevic bahkan sudah diikat kontrak oleh manajemen PBR. Ilja bukan pemain murah, sehingga butuh uang tidak sedikit untuk mendapatkan tanda tangannya.

tunggakan gaji

Bagaimana kita memahami ini semua? Apa yang bisa membuat klub yang masih punya tunggakan gaji pemain di musim lalu tapi dengan percaya dirinya memburu dan mengontrak pemain-pemain dengan banderol yang tak murah(an)? Akal sehat apa yang bisa mencerna “bursa transfer” di tengah tunggakan gaji macam ini (kita tahu istilah “bursa transfer” ini tak tepat, itulah kenapa ditulis dengan tanda petik)?

Mungkin sepakbola Indonesia punya nalarnya sendiri -- semacam nalar sepakbola yang jenial, khas, dan khusus. Tapi dari mana datangnya atau lahirnya nalar sepakbola seperti ini?

Untuk memahaminya, saya kira, tidak bisa tidak perlu melihat konteks sepakbola Indonesia itu sendiri. Konteks sepakbola itu, jika dikerucutkan, ya merujuk pada federasi dan operator kompetisi. Sederhananya begini: jika tidak pernah ada toleransi terhadap kasus-kasus penunggakan gaji, mustahil ada keberanian menggunakan nalar sepakbola macam itu.

Memang benar, awal musim lalu, federasi dan operator liga mengancam memberi hukuman terhadap klub-klub yang masih punya tunggakan gaji. Hukumannya macam-macam. Dari tidak boleh mengontrak pemain asing, dibatasi jumlah pemain, hingga pengurangan poin. Tapi benarkah itu diterapkan? Silakan anda mencari tahu sendiri. Mudah, kok, melacaknya.

Pendeknya, ada pembiaran bertahun-tahun terhadap kasus tunggakan gaji. Kematian pemain asing Diego Mendieta sebagai tamparan paling ekstrim sekali pun ternyata tak membuat federasi dan operator liga berani keras dan tegas sejak dini.

Joko Driyono sendiri, kemarin, kembali melontarkan ancamannya. Ia bilang, tim-tim yang masih tak sanggup membereskan persoalan tunggakan bisa dihukum degradasi alias tak bisa lagi bermain di ISL musim 2015. Joko Driyono mengutarakan cara mengukurnya: jika aset yang dimiliki klub tersebut tidak bisa menutup tunggakan gaji, maka siap-siap saja klub tersebut akan dihukum.

Joko tidak berbicara tentang aset-aset tak bergerak, macam gedung, stadion, dll. Apa pasal? Memangnya siapa saja, sih, klub yang punya aset-aset macam itu? Mayoritas tak punya.

Aset yang dimaksud Joko, demikianlah ia menggarisbawahi, terutama adalah potensi revenue dari kompetisi. Katanya, “Asumsi yang didapat klub tahun depan, 2-3 miliar rupiah. Boleh main, jika jumlahnya terukur. Kalau utang melampaui proyeksi kontribusi komersial, tidak boleh.”

Persoalannya, selain ketegasan untuk menghukum tanpa toleransi, proyeksi aset ala Joko itu bisakah diterapkan bukan hanya untuk klub-klub yang masih bermasalah di musim lalu? Bisakah proyeksi aset macam itu juga digunakan untuk mengukur kemungkinan-kemungkinan buruk di musim yang akan datang?

Tidak ada salahnya PSSI dan operator liga juga mengukur proyeksi aset itu (kemungkinan revenue musim depan) dan menggunakan hal itu untuk menghitung kemungkinan kegagalan sebuah klub untuk membayar gaji di musim depan. Ini penting agar aspek antisipasi juga dijadikan prioritas kebijakan, agar bisa bersifat preventif, dan tak sekadar reaksioner setelah kejadian muncul.

Tren tiap klub dalam pemasukan sebenarnya bisa diperkirakan. Sudah ada polanya berapa jumlah penonton di masing-masing klub. Mungkin ada naik turun, tapi dengan melihat jumlah penonton dalam beberapa musim, tren itu bisa terlihat sebenarnya. Dari situ bisa diperkirakan besaran pemasukan dari tiket.

Revenue dari hak komersial (misalnya dari TV) juga sudah bisa diukur. Kita, sih, tidak tahu persis besaran kontrak PT Liga dengan pihak televisi, tapi PT Liga pasti sudah bisa mengukur perkiraan besaran revenue yang akan dibagikan ke masing-masing klub.

Jika perhitungan macam itu bisa dilakukan, harusnya aspek antisipasi juga bisa dipraktikkan. PT Liga bisa saja memberi early warning system kepada tim-tim yang jor-joran tapi kalkulasinya tidak masuk akal. Jika jor-jorannya itu sudah dirasa kelewatan, PSSI atau operator liga bisa saja melakukan tindakan konkrit untuk menghentikannya.

Inilah fungsi terpenting pemilik otoritas. Agar otoritas itu tak hanya digunakan untuk menghukum dan menghukum dan menghukum, thok. Tapi juga mengantisipasi agar kejadian tak terulang lagi. Jika cuma menghukum yang bisa dilakukan, pemilik otoritas sesungguhnya sedang mengkerdilkan dirinya sendiri. Untuk toleransi seperti ini, tak bisa lagi sekadar menyalahkan pihak klub. Toh klub sekadar menikmati iklim yang lahir dari kebiasaan yang terus dibiarkan. Ada hulu yang memungkinkan hilir bertindak demikian.

Menghukum itu adalah tindakan setelah kejadian. Kenapa harus menunggu kick-off ISL untuk menilai tunggakan gaji sudah diselesaikan atau belum? Kenapa tidak sejak sekarang? PSSI dan operator liga, misalnya, bisa saja tidak mengesahkan pemain-pemain baru jika klub tersebut masih punya tunggakan. Ini akan memaksa setiap klub untuk lebih dulu bekerja keras menyelesaikan hutang-hutangnya sebelum berpikir mengontrak pemain baru. Ini lebih masuk akal, lebih bisa diterima akal sehat dan (kendati mungkin tidak disukai oleh banyak klub) ini justru bisa memastikan bahwa tidak ada klub yang akan terdegradasi karena perkara hutang-piutang.

Ini semua penting untuk digarisbawahi agar riuh-rendah dan tempik-sorak "bursa transfer" ala ISL ini tidak menutupi persoalan laten dan menahun yang sebenarnya belum sepenuhnya tuntas. Jangan sampai gegap gempita ini membuat banyak orang berpikir bahwa industri sepakbola Indonesia sudah benar-benar siap tinggal landas tanpa tahu bagaimana caranya lepas landas dan hendak lepas landas ke mana. Agar lepas landas betulan, bukan malah bablas seperti biasanya!

===========================

* Kabar terakhir, Iwan Budianto selaku CEO Arema memberikan klarifikasi kalau Arema bukannya terlambat membayar gaji, melainkan memang belum membayar gaji. Alasannya: masih dalam batas toleransi karena dalam kontrak jika toleransi keterlambatan diberikan hingga maksimal 10 hari dari tenggat.

Baca juga:

Agar PSSI Tak Menjadi Rezim yang Tertutup

Komentar