Setelah mendapatkan segala hal yang diimpikan semua pemain sepakbola di/bersama Barcelona (bayaran sangat mahal, trofi yang bejibun, gelar pemain terbaik dunia yang berulang), tentu saja sangat wajar jika publik Argentina berharap Messi bisa melakukan hal sama untuk tanah airnya. Setidaknya sekali saja.
Harapan yang sangat wajar. Ekspektasi yang tidak berlebihan, kok. Sekali lagi: setidaknya kali ini saja, di Copa America setidaknya. Jika trofi Piala Dunia dianggap terlalu mewah untuk "alien" yang nyasar ke muka bumi, mosok sih Copa America harus dianggap terlalu berat untuk "alien"?
Tapi rupanya Copa America pun masih terlalu mewah untuk "alien". Ternyata Copa America masih kelewat berat untuk ditanggung Messi. Setidaknya hingga edisi 2015 yang baru berakhir pagi tadi.
Mereka yang membela Messi sangat benar jika berargumen bahwa sepakbola adalah permainan kolektif-kolegial. Tidak bisa, juga tidak adil, membebankan semuanya hanya kepada Messi. Sebab sepakbola dimainkan oleh sebelas orang, bukan oleh seorang saja. Itulah mengapa pernah ada kata yang begitu syadap didengar dalam kosa kata kita: "kesebelasan".
Masalahnya, individu sejak awal mendapatkan tempat yang kudus dalam sejarah sepakbola.
Ketika Messi berkali-kali sendirian mengobrak-abrik pertahanan lawan, misalnya saat mencetak gol ke gawang Getafe, semua orang (termasuk para pembela Messi yang paling gigih) dengan serta merta akan memberikan aplaus dan memujanya setinggi bintang. Jarang atau sedikit yang ingat bahwa dalam setiap aksi-aksi paling brilian Messi ada kontribusi tak terlihat dari pemain lain -- sesedikit apa pun kontribusinya.
Makanya Messi mendapatkan bayaran sangat tinggi di Barcelona, lebih dari siapa pun. Makanya Messi berkali-kali mendapatkan Ballon d'Or, sementara Xavi dan Iniesta (yang ketiadaan keduanya di timnas Argentina sering dijadikan alasan para pembela Messi untuk memaklumi kegagalannya di timnas) tidak pernah mendapatkan bayaran setinggi Messi, juga tidak pernah mendapatkan Ballon d'Or.
Di situlah pangkal soalnya!
Ballon d'Or, juga semua label Pemain Terbaik Dunia, mesti dibaca sebagai pengakuan, sekaligus penghormatan, kepada individu yang dianggap melampaui sepuluh rekan-rekannya. Pada setiap gelar Pemain Terbaik, sepakbola sebenarnya mengakui -- karena memang tidak bisa disangkal dan dibantah -- bahwa individu sangatlah penting. Kemenangan seringkali tak bisa diraih dengan melulu mengandalkan sepenuhnya kerja kolektif. Sangat sering sebuah laga ditentukan oleh terutama kejeniusan individual.
Kejeniusan individual! Sekali lagi: kejeniusan individual.
Dalam hal Maradona, kejeniusan individual itu terlihat dalam kejeniusan menggiring bola dan menipu. Ketika dibutuhkan, ia keluar dari sarangnya sembari menggiring bola melewati setengah lapangan lebih untuk menciptakan gol terindah sepanjang masa. Ketika diperlukan, ia keluar dari kediamannya dengan tangan mengepal dan teracung untuk menciptakan gol paling culas sepanjang masa.
Maradona pun lantas menjadi "tuhan", sementara Messi sejauh ini baru dipanggil sebagai "alien". Lebih tinggi mana: tuhan atau alien? Wah, ini debat lain lagi, deh. Kapan-kapan aja dibahasnya, ya?
Kejeniusan individual seperti itulah yang diharapkan oleh publik Argentina. Sebab Messi punya hal itu. Sebab Messi memiliki kemampuan itu. Sebab Messi memenuhi kualifikasi itu.
Apakah publik Argentina kelewat bodohnya sampai-sampai lupa bahwa sepakbola adalah permainan sebelas orang? Ya tentu saja tidak.
Tapi, nih, ya! Andai pun publik Argentina kelewat bodohnya sampai lupa bahwa sepakbola adalah permainan sebelas orang, memangnya salah gitu kalau mengharapkan Messi memperlihatkan kejeniusannya? Wajar, bukan? Lha, Messi memang jenius, kok. Siapa, sih, yang tidak berharap melihat kejeniusan jika kesebelasan yang kita dukung punya pemain sejenius Messi? Gila apa kalau sama sekali tidak ngarep begitu. Eman-eman, dong, punya pemain jenius tapi tidak ngarep sama sekali. Betul apa betul?
Lagi pula, Messi mungkin tidak perlu terlalu merindukan Xavi atau Iniesta karena ia pun ditemani pemain-pemain yang mustahil disebut kacangan. Sebutlah itu Angel di Maria, Kun Aguero, Carlos Tevez, Javier Mascherano, Marcus Rojo, Pablo Zabaleta atau Lucas Biglia. Mereka jelas pemain yang lumayan, terhitung sangat bagus bahkan, setidaknya untuk level Copa America.
Tapi, kan, Biglia dan Banega di lini tengah Argentina tidak sekelas Xavi atau Iniesta? Lha, lini tengah Chile juga tak semewah Real Madrid yang dihuni Toni Kroos, James Rodriguez, Luca Modric, Khedira atau Bayern Munich yang lini tengahnya diisi Schweinsteiger, Xabi Alonso, Javi Martines sampai Robben dan Ribery. Betul apa betul?
Tapi, kan, Zabaleta atau Rojo tidak selevel Pique atau Dani Alves? Lha, memangnya lini belakang Chile itu sedahsyat Real Madrid yang diisi Sergio Ramos, Pepe, Marcelo dan Casillas atau Juventus yang diisi Chiellini, Bonucci, Barzagli hingga Buffon. Betul apa betul?
Tidak pada tempatnya membela Messi dengan mengeluhkan ketiadaan Xavi dan Iniesta (atau Alves atau Pique) di Argentina. Mengeluhkan ketiadaan sosok seperti Xavi dan Iniesta di Argentina sebagai faktor kegagalan Messi di timnas akhirnya menjadi alasan yang tidak adil.
Pertama, alasan itu menyederhanakan atau menyepelekan atau meremehkan Xavi dan Iniesta semata sebagai "dayang-dayang" Messi. Xavi dan Iniesta bukan "dayang-dayang", mereka pemain hebat, sangat hebat bahkan. Keduanya adalah juara dunia dan juara Eropa (yang digelar empat tahun sekali, bukan dua tahun sekali seperti Copa America sampai edisi 2001). Dua gelar yang belum diraih Messi, loh!
Bahkan walau Xavi dan Iniesta menjadi juara dunia sekali pun, dan semoga anda tak lupa Iniesta pencetak gol di final Piala Dunia 2010, toh gelar Ballon d'Or tetap saja jatuh ke Messi yang timnya dihancurleburkan Jerman dengan skor memalukan 0-4 di perempatfinal. Mengapa harus menyalahkan "ketiadaan dayang-dayang", ketika para "dayang" itu menjadi juara dunia pun tak mendapatkan ganjaran sepatutnya semacam Ballon d'Or?
Kedua, argumentasi itu mengabaikan sebuah faktor sangat penting dalam sepakbola, faktor yang selama ini justru membuat Messi dipuja-puja setinggi surga dan sedalam neraka (dan juga yang membuat Xavi dan Iniesta tak bisa meraih Ballon d'Or dan bahkan kadang diremehkan hanya menjadi sekelas "dayang-dayang"). Faktor apakah itu?
Apalagi kalau bukan: kejeniusan individual.
Mengapa melulu harus mengeluhkan dan menjadikan kolektifitas sebagai kambing hitam ketika bayaran termahal dinikmati sendiri dan kemasyhuran gelar Ballon d'Or juga dinikmati sendiri?
Mengenai kambing hitam dalam sepakbola, juga dalam kehidupan sehari-hari, simak esai kami yang lain:Memahami Para Pecundang Sepakbola Melalui Teori Kambing Hitam Rene Girrad
Saya harus menegaskan, terutama agar para advokat Messi tidak lekas naik pitam: seluruh paragraf di atas bukan untuk merendahkan Messi.
Jenius sepertinya mustahil dengan gampangnya direndahkan. Seluruh argumentasi saya, juga barangkali semua sinisme (atau kalau ingin menggunakan kata bullying ya boleh lha ya) orang-orang terhadap Messi, tidaklah mungkin membatalkan kejeniusan Messi. Jika boleh memplesetkan istilah Gus Dur yang terkenal, alien tidak perlu dibela (sebab ia bisa membela dirinya sendiri).
Argumentasi saya, juga mungkin sinisme dan cibiran orang lain, sebaiknya dibaca sebagai sebuah ungkapan -- yang bisalah diwakilkan dalam dua kata-- yaitu "tragedi Messi".
Jika Sisifus dihukum mendorong batu besar hingga ke puncak Olympus, maka Messi dihukum untuk mendorong batu besar bernama bendera Argentina menuju puncak kejayaan.
Sisifus dihukum untuk mendorong batu ke puncak Olympus. Tapi setelah sampai ke puncak, batu besar itu digelindingkan lagi ke bawah dan ia harus mendorongnya lagi hingga ke puncak. Lagi dan lagi. Terus begitu. Sampai entah.
Sebagaimana Sisifus yang sudah sampai ke puncak, Messi pun sudah sampai ke puncak berkali-kali (bersama Barcelona). Tapi tiap kali ia sampai di puncak (bersama Barcelona), Messi seakan-akan dilempar lagi ke bawah saat harus berseragam Argentina. Maka berapa kali pun Messi sampai ke puncak kejayaan dan kemasyhuran bersama Barcelona, ia akan dihempaskan lagi ke bawah tiap kali harus membela Argentina. Ia harus merangkak lagi, mendorong batu besar bernama Argentina menuju puncak.
Jika Sisifus mendorong batu dengan tenaganya, Messi mendorong batu besar itu dengan bakatnya.
Satu-satunya cara agar Messi tidak menjelma persis seperti Sisifus hanyalah membawa batu besar Argentina mencapai puncak yaitu menjadi juara dunia sebagaimana dilakukan Maradona (semoga, bung!).
Namun justru di situlah letak persoalannya. Justru di situlah inti dari lakon "tragedi Messi" -- yang membuat Messi (sejauh ini) menjelma menjadi seperti Sisifus-nya sepakbola.
Sisifus tak bisa mengelak dari hukuman mendorong batu itu terus menerus, sebagaimana Messi juga sudah tak bisa lagi mundur dari tugas mendorong batu besar Argentina. Jika Messi memutuskan pensiun dini dari tim nasional, itu hanya akan membuat Messi menjadi olok-olok yang jauh lebih menyedihkan ketimbang sekadar gagal membawa negaranya juara.
Messi sudah tak bisa lagi mengelak dari beban atau tugas atau tanggungjawab (atau apalah kata yang dianggap lebih tepat) terhadap Argentina. Jika Sisifus dikutuk mempunyai kebebasan, dan ia dengan bebas memilih terus mendorong batu, maka Messi dikutuk mempunyai bakat yang luar biasa. Kebebasan dan bakat adalah dua kekuatan luar biasa yang harus dipikul oleh Sisifus dan Messi.
Kekuatan itulah yang melahirkan situasi yang tak mudah. Dalam kata-katanya Uncle Ben, karakter dalam film Spider-Man:Â "With great power comes great responsibility."
Sisifus, dikabarkan, penuh ikhlas menjalani hukuman itu. Apa benar Sisifus menjalani hukuman itu dengan sepenuh hati? Entah juga. Tapi Albert Camus, di bagian akhir novel-esai Mite Sisifus, mengajak pembaca untuk percaya dan membayangkan bahwa Sisifus berbahagia.
Dalam esai Mite Messi, saya mengakhiri tulisan dengan kalimat: "Haruskah kita membayangkan jika Messi bahagia?"
Agaknya kalimat itu kali ini mesti diganti menjadi: Mari berdoa semoga Messi (tetap) berbahagia. Sekaligus sehat dan bebas cedera, panjang umur serta mulia. Dan menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warrahmah (bersama para penggemarnya yang setia dalam mahligai perkawinan, eh... perkawanan).
Setidaknya dengan itulah Messi tak sendirian, tak seperti Sisifus yang menjalani segalanya dalam dan bersama kesunyian.
Komentar