Kierkegaard dan Filosofi Sebuah Penalti

Editorial

by Dex Glenniza

Dex Glenniza

Your personal football analyst. Contributor at Pandit Football Indonesia, head of content at Box2Box Football, podcaster at Footballieur, writer at Tirto.ID, MSc sport science, BSc architecture, licensed football coach... Who cares anyway! @dexglenniza

Kierkegaard dan Filosofi Sebuah Penalti

Sifat yang cenderung menyakitkan dari sebuah tendangan penalti mungkin akan sedikit punya hubungan dengan seorang filsuf dan teolog Denmark, Søren Kierkegaard. Kierkegaard meninggal pada tahun 1855 di Kopenhagen, setidaknya beberapa dekade sebelum sepakbola mulai melakukan migrasi global jauh dari Inggris.

Meskipun sepakbola telah beberapa kali menghindar dari pengalamannya sendiri, ada banyak yang dapat Kierkegaard tawarkan untuk menjelaskan mengapa tendangan penalti kadang-kadang dapat mendiskreditkan para pemain profesional. Konsep Kierkegaard tentang kecemasan (The Concept of Anxiety) dapat memberi penjelasan mengapa prospek tendangan penalti bisa menjadi terlihat jelas untuk beberapa kegagalan.

Kesadaran dalam Memilih

Sebuah karya memang sebagian didorong oleh isu hubungan kita dengan kebebasan, terutama dengan mengamati contoh di mana perjuangan seseorang untuk merdeka (bebas) bisa kandas seketika. Terlepas dari berbagai nuansa ketidakbebasan yang beraneka ragam, ada dua aspek yang saling terkait yang dapat menawarkan kejelasan tentang mengapa tendangam penalti bisa menjadi ancaman: bahwa faktor pilihan dalam tendangan penalti membutuhkan sesuatu untuk memandu keputusan, baik penendang maupun kiper, dan pilihan itu sendiri disertai dengan potensi untuk dibebani dengan sebuah paradoks.

Mengapa seseorang memilih ketika membuat keputusan? Jawaban sederhana, adalah dengan melihat pilihan hanya sebagai sarana untuk memperoleh keadaan yang diinginkan. Sebuah pilihan kemudian menjadi baik benar atau salah, tergantung pada apakah hasil yang diinginkan terpenuhi.

Sebuah pengambil penalti seperti misalnya Andrea Pirlo akan memilih dengan benar jika ia mencetak gol, salah jika ia gagal melakukannya. Di sini kita mengesampingkan apakah ia melakukannya dengan tendangan keras, tendangan placing, tendangan panenka, dan lain sebagainya.

Tapi menyisakan sebuah evaluasi dari pilihan hanya pada keberhasilan atau kegagalan itu tidak menjelaskan mengapa pilihan tertentu dibuat dalam mendukung pilihan lain yang tersedia. Menjebak penilai pilihan pada matriks keberhasilan atau kegagalan, kemudian akan gagal untuk menangkap berbagai macam pilihan yang dapat terjadi.

Salah satu alasan mengapa pilihan tidak bisa hanya dievaluasi mentah dari matriks sukses atau gagal ini karena tidak semua keputusan membawa beban yang sama pentingnya.

Pilihan dapat berkisar dari banal ke penting sebagian besar pada untuk apa itu maknanya bagi individu-individu tertentu. Sebuah tendangan penalti yang berhasil, jauh tidak lebih penting maknanya ketika tim tersebut sudah memimpin unggul tiga gol atau lebih dalam sebuah pertandingan.

Keadaan dapat memainkan peran penting dalam menentukan pentingnya pilihan. Tapi bagaimana seseorang menentukan apa yang merupakan pilihan yang banal dan apa yang merupakan pilihan yang penting?

Bagi Kierkegaard, jawabannya dapat dipahami dengan seberapa besar pertaruhan diri dalam membuat sebuah pilihan.

Konsep kecemasan Kierkegaard ini adalah bukti bahwa diri adalah konstruksi tripartit, sebuah sintesis dari tubuh dan pikiran yang bersatu dalam sebuah massa, sebuah roh, sebuah jiwa, sebuah kesadaran. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka terlebih dahulu kita harus menentukan bagian mana dari diri kita yang sedang terlibat dalam pembuatan keputusan.

Baca juga: Elegi Tendangan Penalti

Kasus Panenka: Keinginan untuk Memilih

Tidak semua pilihan dapat kita beli di pasar ide atau gagasan yang rasional. Pengendalian diri dan keinginan dikendalikan oleh tubuh kita sendiri. Kadang keinginan dipilih karena memang harus dilakukan.

Untuk orang yang kelaparan, keinginan untuk memperoleh makanan mungkin akan lebih besar daripada keinginan-keinginan lainnya, seperti keinginan untuk bersosialisasi atau keinginan untuk berhubungan seks. Salah satu kelemahan mengenai keinginan atau dorongan, adalah bahwa pertimbangan implikasi pada keadaan eksternal dapat menjadi pertimbangan sekunder untuk memuaskan keinginan sendiri.

Kegemaran Francesco Totti untuk melakukan panenka pada tendangan penalti mungkin adalah metode yang disukainya, tetapi setiap kiper akan cukup bijaksana untuk mengetahui hasil tendangan Totti jika Totti selalu mencoba itu sepanjang waktu.

Salah satu kesulitan dari keinginan dan pengendalian diri adalah bahwa mereka dapat, dan kadang harus, dalam lingkup sempit, membuat kepuasan yang hanya dapat diperoleh dengan benar-benar mendapatkan apa yang mereka inginkan.

Totti memang bisa saja mencetak gol, tapi ia lebih ingin jika mencetak gol melalui panenka.

Memilih Secara Alami dan Acak

Di sisi lain, melibatkan alasan untuk mempertimbangkan pilihan mencerminkan beberapa kesadaran akan ide-ide universal. Memilih untuk bertindak secara alamiah, seperti bertindak sesuai dengan hukum moral misalnya, disertai dengan pengakuan bahwa dunia objektif tidak hanya ada untuk eksploitasi satu individu melainkan ada untuk orang-orang di sekitarnya juga, sehingga membatasi apa yang seseorang bisa lakukan.

Implikasi dari bertindak sesuai dengan beberapa pengertian yang alami, adalah bahwa hal itu dapat menghambat kemungkinan untuk berkreasi. Jika setiap orang diwajibkan untuk bertindak dengan cara yang sama, maka gagasan tentang diri tertentu mulai mengikis. Tapi kompromi ekspresi diri tampaknya sedikit diperhatikan untuk pengambil tendangan penalti, karena pilihan untuk ekspresi diri sangat terbatas. Hanya ada beberapa cara pemain bisa mencetak tendangan penalti.

Namun, masalah masih tetap sama: mana dari pilihan yang tersedia yang sang penendang penalti harus ambil? Dalam mencoba untuk menjawab pertanyaan ini, penendang penalti pasti akan mempertimbangkan penghalang tujuan, yaitu kiper.

Pertanyaan seperti kemana kiper akan meloncat, apakah ia tahu saya akan menendang kemana, apakah ia tahu bahwa saya tahu kalau ia tahu saya akan menendang kemana, dan pertanyaan-pertanyaan yang tidak akan ada habisnya. Setiap perdebatan diri tidak berfokus pada kreativitas tendangan, melainkan pada apakah ada cara terbaik untuk mendapatkan hasil yang diinginkan.

Beberapa pemain, seperti Franck Ribery, mengakui bahwa ia sendiri tidak tahu ia akan menendang ke arah mana beberapa milidetik sebelum ia benar-benar menendang penalti. Pemilihan secara acak itulah mungkin yang menjadi kekuatan utama Ribery, bagaimana ia mungkin akan bisa senang maupun kesal manakala penaltinya gagal maupun berhasil. Aneh.

Kesatuan Jiwa

Tindakan kesegera-segeraan maupun penuh pertimbangan terletak pada kemampuannya untuk menempati dua hal tersebut, karena mereka dapat berupa abstrak dari kondisi saat ini maupun untuk membayangkan masa depan. Sifat-sifat di atas mensyaratkan bahwa jiwa mempengaruhi kesadaran diri dalam membuat pilihan yang akan memiliki dampak pada masa depan.

Keputusan-keputusan yang sulit dalam hidup, seperti memilih karir, selalu tampak lebih sulit sebelum diputuskan, karena kemudian setelah itu berbagai kemungkinan pilihan-pilihan yang membuktikan berhasil atau tidaknya tetap tidak akan diketahui.

Kierkegaard berbicara tentang tubuh dan pikiran yang bersatu dengan jiwa, bahwa seseorang hanya dapat memahami kepribadian mereka secara keseluruhan jika tubuh dan pikiran mereka bekerja bersama secara harmonis dalam membuat keputusan. Ini adalah kesulitan dalam memilih, karena masalah seperti terus-menerus bermunculan.

Apakah itu soal membuat serangkaian pilihan yang salah yang membuat banyak tim-tim besar gagal gara-gara penalti? Apakah beberapa pemain meragukan pilihan mereka, sehingga sulit untuk mengeksekusi tendangan penalti mereka? Atau sebaliknya, justru pilihan yang bebas membuat penalti menjadi rentetan kegiatan yang menjadi formalitas? Berapa banyak dari diri harus diinvestasikan dalam suatu tindakan yang merupakan salah satu bagian dari masalah dalam membuat pilihan?

Semua ini adalah hal rumit yang mungkin tidak sempat dilakukan oleh orang-orang yang terlibat. Di tengah kondisi yang pelik penalti, mana mungkin mereka memikirkan tetek-bengek itu semua!

Tulisan ini adalah lanjutan dari prosa "Elegi Tendangan Penalti"

Komentar