Kurniawan DY dan Hal-hal yang Membanggakan dan Disesalinya

Editorial

by Redaksi 46

Redaksi 46

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Kurniawan DY dan Hal-hal yang Membanggakan dan Disesalinya

Di sudut Stadion Siliwangi, mata Kurniawan Dwi Yulianto memerhatikan dengan seksama 22 remaja yang tengah mengikuti turnamen sepakbola. Sesekali ia membuat catatan sembari berdiskusi dengan dua rekannya yang lain.

Meski namanya kini tak lagi terdengar sebagai pesepakbola, Kurniawan tidak pernah benar-benar meninggalkan sepakbola. Ia seringkali tampil di televisi sebagai komentator, maupun hadir di acara-acara offline sebagai pemandu bakat hingga ambassador.

Kurniawan adalah pesepakbola Indonesia yang istimewa. Kehebatannya dibuktikan bukan hanya di dalam negeri tapi juga di Eropa. Pada Sabtu (14/3) silam, kepada Chief Editor Panditfootball, Zen RS, Kurniawan menjawab sejumlah pertanyaan yang tidak lazim ditanyakan kepadanya, mulai dari golnya yang dianulir hingga pemain panutannya.

Penyerang Ala Kurniawan

Pada masa kini penyerang di sepakbola mestilah komplet. Ia harus punya kecepatan, kuat menjaga bola, dan mampu menjadi pemantul untuk dikonversi menjadi peluang oleh rekan-rekannya yang lain. Ini yang membuat sejumlah penyerang seperti Hulk dan Daniel Sturridge lebih sering bergerak ke sayap ketimbang menunggu di area kotak penalti.

"Saya lebih suka menerima bola di depan kotak penalti meski membelakangi gawang," tutur Kurniawan. Jawaban itu diberikan Kurniawan saat Zen bertanya: Sebagai penyerang, lebih suka menerima bola membelakangi gawang serta dikawal bek atau menerima bola di sisi agak ke sayap walau tak dikawal?

Pria yang pernah memperkuat FC Luzern ini beralasan dengan posisi di depan kotak penalti membuat pemain belakang lawan riskan merebut bola secara asal-asalan dan memberikan pressing yang berlebihan. "Biarpun membelakangi gawang tapi kalau kesentuh bisa kena (tendangan) penalti," cetusnya.

Seorang penyerang tidak akan bisa berbuat banyak tanpa hadirnya dukungan berupa umpan dari rekan setim. Umumnya umpan-umpan matang dihasilkan dari pergerakan gelandang. Saat dihadapkan pada gelandang lambat tapi punya umpan terukur atau gelandang dengan pergerakan cepat, Kurniawan memulai jawabannya dengan tersenyum.

"Dua-duanya punya kelebihan," kata Kurniawan. Namun, sebagai seorang penyerang, siapapun gelandangnya ia ingin umpan yang cepat. "Momen di striker itu cuma sepersekian detik. Kalau kita sudah bergerak tapi tidak diberi umpan, momennya akan hilang," ujar Kurniawan.

Saat menghadapi bek lawan, Kurniawan nyatanya lebih senang ditempel oleh Aples Tecuari karena, "Aples lebih tempramen dan buat saya itu sangat menyenangkan. Saat dia emosi tentu konsentrasi dan fokusnya akan hilang."

Zen lalu menyodorkan dua pilihan tentang penyerang macam apa yang dibutuhkan Indonesia saat ini; "Penyerang yang mampu menahan bola seperti Bambang Pamungkas, atau yang cepat-cepat seperti Anda?"

Ada jeda yang cukup panjang sebelum pria kelahiran Magelang tersebut menjawab diplomatis, "Dua-duanya."

Kurniawan menjelaskan saat ini Indonesia butuh penyerang yang mampu memberikan dampak dan perubahan bagi tim. "Bisa mengangkat moral tim," Kurniawan menjabarkan, "dan yang pasti bisa mencetak gol."

Pengalaman di Eropa

Awal karir Kurniawan sebagai pesepakbola profesional dimulai di kesebelasan Swiss, FC Luzern. Ia pun mengaku lebih menikmati karirnya saat berkostum Luzern, "Di sana kesempatan bermain sangat besar, kemudian saya melewati tahap seleksi di situ."

"Saya pernah baca," Zen mengenang, "Anda pernah mencetak gol membelakangi gawang dengan kepala?"

Kurniawan pun mengangguk, "Ya, saat menghadapi Basel itu benar-benar pertandingan derby, dan saya mencetak gol kemenangan." Kala itu, Luzern menang 2-1 saat menjamu Basel di kandang. "Itu gol orang Indonesia pertama di liga resmi di Eropa," tutur Kurniawan.

Gol lain yang membuat nama Kurniawan melambung adalah tendangan jarak jauhnya saat menghadapi Sestri Levante.

"Saat itu saya dipinjam karena Ruud Gullit dipanggil tim nasional, (Roberto) Mancini juga gak bisa main, kemudian saya dipinjam untuk pertandingan ujicoba lawan Sestri Levante. Saya bermain pada babak kedua, dan," Kurniawan melanjutkan, "Mereka tidak menaruh ekspektasi pada saya. Karena saya bertubuh kecil. Tapi lewat satu peluang dari jarak cukup jauh, menerima umpan Pietro Vierchwood, saya shooting. Gol. Baru mereka kaget. Itu luar biasa buat saya dan tidak terbayarkan."

Saat membela Sampdoria, Kurniawan pun ikut tur kesebelasan yang dibentuk pada 1946 tersebut ke Indonesia. Stadion Gelora Bung Karno yang dipenuhi oleh puluhan ribu penonton menjadi saksi bagaimana penyerang muda masa depan Indonesia mencetak gol.

"Dua gol itu sama-sama berkesan. Tapi itu bebannya lain. Waktu lawan Sestri Levante saya ingin membuktikan kalau saya punya kualitas. Waktu main di GBK, saya ingin menjawab bahwa harapan dari masyarakat itu tidaklah salah," ucap Kurniawan.

Rantis hingga Gol yang Dianulir


kurniawan

Pulang dari Eropa, Kurniawan berkostum Pelita Mastrans (hasil merger Pelita Jaya dan Mastrans Bandung Raya) yang kala itu tengah jaya-jayanya. Meski tidak mengantarkan gelar juara tapi ada pengalaman menarik soal pertemuannya dengan Persib di Stadion Siliwangi.

"Dulu, Persib belum panas-panasnya dengan Persija, tapi kencengnya sama Pelita sampai penonton meluber ke sentel ban," ucap Zen, "Ada yang berkesan?"

"Ada!" jawab Kurniawan dengan tegas. Mimik wajahnya berubah sembari memandangi sudut Stadion Siliwangi. "Saat itu saya mencetak gol, Pelita menang dan pulang naik panser," kata Kurniawan. "Saya masih ingat istrinya Henk Wullems (pelatih Pelita Mastrans) menangis saking takutnya dengan teror bobotoh Persib di Siliwangi."

Kurniawan sempat membela PSM Makassar sejak 1999 hingga 2001. Ia membawa Juku Eja, julukan PSM, hingga ke partai final Liga Indonesia. Kurniawan mencetak gol ke gawang Persija Jakarta tapi dianulir oleh wasit. Namun, siapa sangka dianulirnya gol tersebut masih mengganjal perasaannya hingga saat ini.

"Masih mengganjal," jawab Kurniawan dengan tegas, "Karena buat saya itu tidak offside. Itu kontroversial karena kata wasit, sebelum ditendang saya sudah berada pada posisi offside. Jadi, bola rebound saya tendang, gol. Tapi saya merasa bahwa sebelum bola ditendang, saya masih onside."

Meskipun demikian Kurniawan merelakan keputusan wasit tersebut, "Ke sini-sini ya sudahlah."



Cuplikan final Liga Indonesia 2001 antara PSM vs Persija dan gol Kurniawan yang dianulir


Ada hal lain yang juga disesalinya. Saat ditanya Zen soal adakah hal yang disesali, yang jika waktu bisa diulang ia tak akan melakukannya lagi, Kurniawan sempat terdiam beberapa saat. Zen bertanya sekali lagi, barulah Kurniawan menjawab: "Melakukan beberapa hal buruk yang tidak seharusnya dilakukan sebagai pemain."

"Apa saja itu?" kejar Zen lagi.

Kurniawan hanya diam. Sembari tersenyum.

Tentang Pengembangan Timnas

Kurniawan bisa dibilang sebagai produk dari pengembangan PSSI di luar negeri. Sejak 1990-an, PSSI mulai giat mengirim tim dengan pemain muda untuk menimba ilmu di luar negeri. Saat dimintai komentarnya, Kurniawan tidak menampik bahwa program tersebut tidaklah sia-sia.

"Mengirim tim ke luar negeri itu baik," tutur Kurniawan, "Tapi saat kembali ke sini, mereka harus satu tim. Karena saat mereka bubar akan beda lagi. Karena saya merasakannya."

Zen kemudian mengajak Kurniawan mengingat apa yang telah ia berikan pada Indonesia karena ia sempat bermain di dua final Piala Tiger, tapi gagal merengkuh gelar. Padahal, itulah satu-satunya kompetisi internasional yang memungkinkan untuk dimenangkan Indonesia.

"Sedikit sekali peluang Anda untuk memberikan trofi buat Indonesia," tanya Zen, "Ini kegagalan sebagai tim atau kegagalan sebuah generasi sebetulnya?"

Kurniawan menjawab, "Dua-duanya. Saya merasa gagal sebagai pemain; saya merasa gagal sebagai generasi. Karena untuk tim nasional saya nothing-lah. Saya tidak memberikan gelar apapun untuk tim nasional."

Membuka Rahasia Kegagalan "Tim Hollywood"

Selain dengan Pelita Jaya, Kurniawan juga pernah memperkuat PSPS Pekanbaru yang kala itu begitu royal mengeluarkan uang untuk merekrut besar. Namun, "Apa problem dari Pelita Jaya, sampai-sampai masuk babak semifinal Ligina saja tidak pernah," tanya Zen?

Kurniawan pun menyoroti tidak adanya motivasi lebih, "kalah menang ya sudah, begitu saja. Tidak ada semangat memiliki."

Ia pun mengeluhkan hal yang sama di PSPS Pekanbaru yang menurutnya berisi para pemain bintang, "Hanya di posisi-posisi yang sebenarnya diperlukan itu kurang. Pemain bintang datang di posisi depan, jadi pemain tengahnya tidak balance."

Pemain Panutan

"Bima Sakti," ucap Kurniawan tanpa berpikir saat ditanya siapa pemain panutan yang layak dicontoh oleh siapa pun, termasuk para pemain muda yang sedang bermimpi menjadi pemain profesional.

"Dia profesional di luar dan di dalam lapangan. Dia contoh pesepakbola langka di sepakbola karena dia tidak pernah merasa bintang, padahal dia legend, kapten."

Satu hal yang disoroti Kurniawan adalah kemampuan Bima Sakti yang masih menjaga kondisi tubuhnya hingga saat ini. "Tidur jam sembilan jam sepuluh, jaga makan. Bahkan saat saya sekamar sama dia, usai sembahyang Subuh, dia selalu jaga kondisi. Itu luar biasa buat saya. Makanya dia masih ‘laku’ di liga paling tinggi di Indonesia," kata Kurniawan.

Di luar lapangan pun Bima Sakti dianggap tidak pernah memilih-milih teman. Ia pun memiliki jiwa sosial yang begitu tinggi. Bima Sakti pun menganggap, �"junior itu bukan sebagai saingan tetapi sebagai generasi masa depan. Ia tidak pelit sama ilmu."

Best Eleven versi Kurniawan

kurniawan2

Saat dihadapkan dengan chalkboard, Kurniawan segera menyusun magnet-magnet ke dalam formasi 4-4-2. Pada posisi kiper, Kurniawan berpikir agak lama. Ia kesulitan memilih apakah Kurnia Sandy yang satu tim dengannya di Sampdoria ataukah Hendro Kartiko yang sama-sama pernah membela PSPS Pekanbaru. "Hendro," ucapnya sembari menulis.

Selanjutnya, Kurniawan memilih dua bek tengah, "Eko dan Bejo. Anang. Di kiri itu siapa ya? Aji, oh Aji Santoso."

Di lini depan, Kurniawan memilih Bambang Pamungkas sebagai tandemnya. Pada posisi gelandang Kurniawan seperti tidak kesulitan. Ia memilih Bima Sakti dan Ansyari Lubis sebagai gelandang tengah, sedangkan untuk pos di sayap kiri Kurniawan sempat kebingungan.

"Sayap kiri siapa ya?" tanyanya pada Zen. "Sayap kiri di Primavera yang pra olympic itu Asep Dayat kan?"

Kurniawan mengangguk tapi masih ragu. "Di PSM siapa ya?" tanya Zen.

"Di PSM, oh ini saja," kata Kurniawan sembari menuliskan nama Boaz Solossa. "Boaz sama Elie," ucapnya mantap.

Pelatih? Tidak banyak berucap, Kurniawan pun menulis, "Danurwindo."

Komentar