"Laga ini akan mirip dengan Boca Juniors dengan River Plate? Bukan. Itu lebih dari sekadar pertandingan. Mereka ada konflik strata sosial," celoteh seorang kawan di jejaring sosial.
"Celtic vs Rangers?" lanjut sang kawan yang sama. "Itu juga bukan. Ah, Persib vs Persija? Ssttt, orang-orang kita terlalu sensitif untuk membicarakan hal itu. Lantas? Bukan hanya soal menentukan siapa yang layak disebut sebagai abang-abangan killer pass antara Iniesta dan Kroos. Bukan pula soal Messi yang akan memecahkan rekor gol Zarra di depan muka Ronaldo. Ini soal perseteruan yang sepertinya baru akan berakhir ketika orang-orang Catalan mengakuiâ?? bahwa mereka bagian dari Spanyol.â?Â
Dengan kata lain, tidak akan pernah. Menjadi bagian dari Spanyol? Please, Katalunya malah tengah mempersiapkan referendum untuk memerdekakan diri.
Sang kawan (agar mudah, kita sebut saja Rayhan karena memang itulah namanya) sebenarnya paham betul bahwa Boca Juniors melawan River Plate adalah pertandingan sakral. Jika ada satu laga yang harus disaksikan oleh siapapun sebelum ajal menjemput, ya pertandingan itulah pilihannya; bukan El Clásico. Ia juga tahu bahwa persoalan agama di balik perseteruan dua klub kota Glasgow adalah penyebab dari kebencian yang mendarah daging terhadap tetangga sendiri.
Salah satu pertandingan sepakbola yang wajib ditonton, minimal sekali, sebelum mati adalah River Plate vs Boca Juniors.
Bacaà Kegilaan dan Kengerian Laga Super Clasico
Namun Rayhan tetap merasa bahwa El Clásico adalah sebuah pertandingan penting. Sesuatu yang layak ditunggu-tunggu. Padahal ia bukan orang Katalunya. Kecintaannya kepada FC Barcelona tidak muncul karena Barcelona merepresentasikan daerah tempatnya berasal. Atau tempatnya tumbuh besar. Kalau memang alasannya adalah itu, Rayhan pasti sudah menjadi pendukung Persikad Depok garis keras.
Kecintaan Rayhan kepada Barcelona tidak membuatnya membenci Real Madrid. Rayhan bukan Hristo Stocihkov yang pernah terang-terangan berkata â??saya akan selalu membenci Real Madrid. Lebih baik bumi terbelah dan menelan saya, ketimbang harus bekerja untuk mereka. Membicarakan Real Madrid membuat saya merasa ingin muntah!â?Â
Walau demikian Rayhan tetap menaruh Madrid di tempat yang berbeda dengan klub-klub lain. Madrid, kata Rayhan, bagaimanapun tetaplah rival Barcelona. Bahkan ketika saya meminta Rayhan untuk memilih salah satu di antara derby Katalunya (Barcelona melawan Espanyol) dengan El Clásico, Rayhan memilih opsi kedua. Di mata Rayhan, rival Barcelona itu Madrid, bukan Espanyol. Menurut Rayhan derby Katalunya adalah sesuatu yang terlalu biasa. Padahal tidak benar begitu adanya.
Sajjana berbeda dengan Rayhan. Ia berasal dari Makassar, besar di Bekasi, namun berkiblat ke kota Madrid. Ia beranggapan bahwa El Clásico menjadi sesuatu yang besar karena ada gengsi politik di dalamnya. Katalunya melawan Kastilia. â??Lo beneran sampe peduli soal politiknya?â? tanya saya meyakinkan. Sajjana bilang tidak. Hanya gengsi, katanya. Tapi ia menolak untuk memisahkan politik dari El Clásico.
Rayhan dan Sajjana kurang lebih mewakili kebanyakan pendukung Barcelona dan Madrid yang tidak berasal dari kota tempat kedua klub bermarkas. Semesta belum mengizinkan mereka (dan kebanyakan pendukung Barcelona dan Madrid di luar Spanyol) untuk menyaksikan El Clásico dan merasakan langsung atmosfernya. Mereka tahu tapi tidak benar-benar peduli terhadap sejarah, politik, dan hal-hal lain yang membangun panasnya pertandingan. Bagaimanapun El Clásico sudah menjadi sesuatu yang istimewa bagi keduanya.
Tidak ada yang salah dengan itu. Kata Zen RS, chief editor Pandit Football, kita serigkali tak memiliki kuasa untuk memilih klub kesayangan kita. Lagipula, kita semua memang tidak bisa memilih jatuh cinta kepada siapa. Kalau memang cinta, ya cinta saja.
Termasuk jika cinta tersebut ditumbuhkan oleh manipulasi televisi. Dalam bukunya yang berjudul Real Madrid and Barcelona The Making Of Rivalry, Elliot Turner mengungkap bahwa citra El Clásico sebagai pertandingan panas, keras, dan sengit adalah sesuatu yang dibentuk oleh media. Dengan mudah anggapan tersebut ditanamkan di dalam kepala jutaan manusia lewat televisi. Hal ini sedikit banyak menjelaskan mengapa El Clásico menjadi sesuatu yang istimewa bahkan bagi orang-orang yang tidak mendukung Barcelona ataupun Madrid.
Hasil riset Turner didukung oleh Franklin Foer dan Simon Kuper. Dalam bukunya, How Soccer Explains The World, Foer yang secara terang-terangan mengaku sebagai pendukung Barcelona mempertanyakan sikap (para pendukung) klubnya sendiri.
Di masa lalu, kebencian orang-orang Katalunya terhadap mereka yang berasal dari Madrid dapat dimengerti. Jenderal Franco memang begitu kejam menindas orang-orang Katalunya. Tapi Franco sudah lama tiada. Begitu juga penindasannya. Foer merasa bahwa kebencian para pendukung Barcelona terhadap orang-orang Madrid adalah sesuatu yang abstrak.
Sementara itu lewat buku Football Against The Enemy Kuper berkisah bagaimana El Clásico, oleh para pendukung Barcelona, dijadikan kendaraan untuk terus mengulang cerita kelam era Franco. Orang-orang Barcelona mencari alasan untuk terus merasa tertindas saat mereka sudah hidup bebas.
El Real sendiri tidak mempermasalahkan tindakan para pendukung Barcelona. Mereka malah mendukung hal-hal tersebut agar citra panas, keras, dan sengit El Clasico tetap terjaga. Semua demi keuntungan besar dari hak siar televisi. Madrid, Barcelona, dan media telah bekerja sama untuk mengontrol jalan pikiran umat manusia.
Kata National Geographic, we donâ??t see the world as it is; we see the world as we are. Jika Anda merasa bahwa El Clásico adalah pertandingan paling keras, paling panas, paling sengit di dunia, pertahankanlah anggapan tersebut. Tidak ada yang salah dengannya.
Tapi jika Anda menentang anggapan tersebut (atau terlanjur terpengaruh oleh tulisan ini sehingga sinar El Clásico di mata Anda mulai meredup), tak usah khawatir. Dunia masih mampu menawarkan banyak pertandingan sejenis. Beberapa di antaranya malah lebih baik.
Komentar