Barangkali jauh lebih mudah merenovasi 50 ribu stadion, ketimbang mereformasi FIFA. Badan tertinggi yang mengelola sepakbola ini telah begitu lekat dengan korupsi dalam artinya yang amat luas. Andrew Jennings telah memaparkan satu bagian kecilnya dengan begitu jelas dalam FIFA`s Dirty Secret yang tayang di BBC.
Dalam tulisan sebelumnya, kekuasaan FIFA amatlah superior. Mereka seperti memiliki kuasa atas suatu negara jauh lebih tinggi dari siapapun; jauh lebih kuat ketimbang kuasa Israel atas Amerika Serikat; jauh lebih rekat ketimbang lem kayu dengan rambut mohawk.
Bagi negara-negara maju, khususnya dalam industri sepakbola, sulit bagi mereka untuk melawan FIFA khususnya di era rezim Sepp Blatter. Bukan tidak mungkin FIFA mem-ban suatu federasi yang membuat industri sepakbolanya kolaps.
Inggris misalnya. Sejak lama bahkan Inggris tak mau bergabung dengan delapan negara pembentuk FIFA pada 1914. Inggris memiliki hubungan yang tidak harmonis dengan FIFA. Hubungan tersebut kian rumit setelah Blatter menyatakan akan kembali naik sebagai presiden pada kongres tahun ini. Namun Inggris tak bisa berontak terlalu keras, karena jika FIFA tak senang, akibatnya adalah industri sepakbola Inggris, yang merupakan industri sepakbola terbesar di dunia. Sefrontal apapun Greg Dyke, Ketua Federasi Sepakbola Inggris (FA), berkonfrontasi dengan FIFA, ia akan tetap menjaga kata-kata yang terucap agar lembut.
FA dalam kongres pemilihan presiden FIFA pada 2011, memutuskan untuk tidak mendukung siapa-siapa. Lain halnya dengan federasi lain yang begitu lantang berada di belakang Blatter. Dendam Inggris barangkali sudah terlampau memuncak setelah mereka gagal menjadi tuan rumah Piala Dunia 2018. Mereka percaya kekalahan itu dikarenakan FIFA memilih tuan rumah di bawah "tekanan" uang yang berlimpah.
Gara-gara Grant Wahl
Ada kisah "lucu" dari jurnalis sepakbola, Grant Wahl. Penulis Sports Illustrated tersebut mengaku pernah mencalonkan diri menjadi presiden FIFA pada 2011. Wahl pun mencari tahu apa yang dibutuhkannya untuk bisa melenggang sebagai calon presiden FIFA. Sebagai awalan, dia melakukan survei kepada pembaca Sports Illustrated. Hasilnya mengejutkan karena dia mendapatkan 95% dukungan, sementara Sepp Blatter hanya 2% dan Mohammed Bin Hamman 3%.
Survei tersebut sekaligus menunjukkan adanya ketidakpuasan atas kepemimpinan Blatter di FIFA. Pembaca lebih memilih orang-yang-tidak-tahu-siapa untuk menjadi presiden FIFA, ketimbang orang-orang di dalam FIFA itu sendiri.
Wahl lantas mencari tahu syarat apa saja yang diperlukan. Syaratnya terdengar mudah karena dia tinggal membutuhkan dukungan dari satu federasi negara untuk bisa melenggang sebagai calon presiden FIFA.
Kala itu, Federasi Somalia, negeri yang dikenal korup dengan banyaknya bajak laut, menominasikan Blatter sebagai presiden. Wahl tak mau ketinggalan. Dalam tulisannya di The Guardian, Wahl bercerita kalau dia mengontak 150 federasi negara, tapi tak ada satupun yang mendukungnya.
Dengan waktu yang kian mepet, Wahl pun menemui federasi negara yang tergabung di UEFA karena bertepatan dengan kongres UEFA di Paris. Dia kemudian bicara dengan salah seorang perwakilan.
Percakapan kami berlangsung seperti ini. "Mengapa federasi Amerika tidak mendukung Anda?" tanya pria tersebut. "Mereka seperti yang lainnya," kataku. "Mereka takut mendapatkan reaksi yang buruk dari Blatter dan FIFA". Lalu pria itu menerangkan posisi federasinya sendiri, satu hal yang berpengaruh bukan cuma Blatter tapi juga presiden UEFA, Michel Platini.
"Besok, di kongres UEFA, Blatter akan mengumumkan bahwa dia tak akan maju pada 2015," katanya. "Platini ingin maju pada 2015, jadi Platini meminta semua negara besar di Eropa untuk mendukung Blatter pada tahun ini. Kami tak menyukai Blatter, tapi sekarang kami menerima Platini dengan baik."
Masalahnya, dia menerangkan, menominasikan seorang kandidat untuk presiden FIFA akan menjadi deklarasi publik, "sesuatu hal yang akan mendapatkan hukuman dari Blatter dan Platini", sementara pemilih sebenarnya akan tetap rahasia. "Kami lebih mungkin memilih Anda di pemilihan ketimbang menominasikan Anda," katanya. "Menominasikan Anda adalah hal yang tak mungkin."
Rupanya ada yang lebih mustahal, eh... mustahil, ketimbang memilih non-Blatter! Sebab memilih orang yang bukan Blatter jauh lebih mudah. Salah satu hil yang mustahal dalam hidup ini.
Percakapan tersebut membuat Wahl kehilangan semangat. Seperti yang diketahui, Wahl akhirnya tidak jadi nominasi dalam pemilihan presiden FIFA.
Perubahan Aturan
Pada pertengahan 2014, telepon genggam Wahl berbunyi. Rupanya, seorang informannya di FIFA memberinya pesan singkat. Pesan tersebut bertuliskan: Gara-gara Anda kami mengubah aturan.
Wahl pun balik menelepon informan tersebut. Rupanya, FIFA mengubah aturan untuk pemilihan presiden pada 2015. Aturan tersebut menyatakan bahwa kandidat mesti dinominasikan oleh lima negara federasi, dan harus bekerja di federasi selama lima tahun.
Aturan tersebut kemudian membuat Wahl berpikir akan semakin sulit untuk mereformasi FIFA. Mendapatkan dukungan dari lima negara tidaklah mudah, kecuali Anda adalah raja minyak yang berperan penting bagi negara-negara tersebut.
Permasalahannya bukan pada pemilihan, tapi pada nominasinya. Dalam tulisannya, Wahl meyakinkan bahwa mungkin saja negara-negara lain memilih kandidat di luar Blatter karena pemilihan dilakukan secara rahasia. Artinya, FIFA sudah "menyeleksi" calon kandidat bahwa mereka tidak akan lebih besar dari Blatter itu sendiri.
"Keunikan" lainnya adalah kongres pemilihan presiden akan dihelat di Zürich, kota tempat Blatter tinggal. Hmmm.... Apakah kota pemilihan yang sama dengan tempat tinggal kandidat terkuat itu mengingatkan Anda akan sesuatu di Indonesia?
Komentar