One Direction, GBK, dan Mengapa Harus Keliru Memaki?

Editorial

by Redaksi 46

Redaksi 46

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

One Direction, GBK, dan Mengapa Harus Keliru Memaki?

“You’re insecure, you’re insecure, you’re insecure”.

Lini masa twitter sempat dihebohkan dengan tanda pagar (tagar) yang menyudutkan grup vokal asal Inggris, One Direction (1D). Ribuan cuitan menyalahkan 1D yang akan tampil di Stadion Gelora Bung Karno pada 25 Maret mendatang. Pasalnya, jadwal konser tersebut berbenturan dengan jadwal kualifikasi Pra-Piala Asia U-23.

Penggemar sepakbola di Indonesia tiba-tiba mengikuti euforia kebencian tersebut. Mereka melaknati 1D dengan kata-kata kasar. Tidak lupa pelabelan “alay” hingga “banci” pun berserakan di mana-mana. Namun, tepatkah logika para penghujat?

Kami merekomendasikan anda membaca artikel spesial kami yang ini:

6 Alasan Mengapa Anda Masih Harus Menonton Sepakbola Indonesia di Stadion


Saat ini, kata “Alay” telah mengalami perluasan makna. Secara umum, “alay” merujuk pada sesuatu yang tak kalah abstraknya: “kampungan”. “Alay” merujuk pada sesuatu yang tidak sesuai dengan aturan berbahasa, gaya rambut yang aneh, kucel, kusam, hingga yang suka bonceng tiga. “Alay” kemudian diidentikkan dengan masyarakat kelas bawah yang dianggap “salah” karena perilaku yang “berbeda”.

Dari pemahaman tersebut, jelaslah kalau 1D bukan boyband yang ditujukan untuk segmentasi “alay”. Tiket paling murah dibanderol Rp. 500 ribu, sedangkan yang termahal Rp. 2,75 juta.

Saya pun tak yakin, konser tersebut akan didominasi oleh penonton “alay” sesuai dengan definisi di atas. Saat konser digelar, yakinlah kalau tempat parkir di Gelora Bung Karno akan penuh oleh kendaraan roda empat milik para penonton.

Lalu, benarkah kalau 1D adalah boyband “alay”? Hey, adakah anak “alay” yang pakai cardigan seharga motor matic?


Pemandangan yang jarang terjadi. Puluhan ribu penggemar di San Siro lengkap dengan koreografi. (Sumber: fanityfair.it)

Gelora Bung Karno Bukan Milik Kesebelasan Indonesia

Di antara para penghujat, adakah yang tahu siapa lawan kesebelasan nasional Indonesia U-23 di kualifikasi Pra-Piala Asia? Adakah yang hafal lengkap rombongan skuat kesebelasan nasional U-23 selain alumnus U-19?

Dalam hal bisnis, konser 1D akan lebih menguntungkan. Dengan harga tiket termurah setara dengan tiket VIP pertandingan sepakbola, gelaran musik tersebut akan menghadirkan pundi-pundi rupiah yang lebih banyak.

Kalaupun pertandingan Pra-Piala Asia tetap digelar di Jakarta, berapa ribu—atau ratus—orang yang hadir?

Setelah memerhatikan sejumlah cuitan, ada yang berargumen untuk “mengusir” 1D karena Stadion Gelora Bung Karno adalah milik kesebelasan negara Indonesia!

Tentu, logika tersebut tidak tepat, karena Stadion Gelora Bung Karno milik mereka yang mampu membayar sewa. Stadion Gelora Bung Karno pernah dimiliki oleh puluhan ribu kader PKS, kader Hizbut Tahrir, dan partai yang berkampanye pada 2014. Jangan lupa, simpatisan Joko Widodo juga menggelar konser di GBK, tepat di atas rumputnya. Lantas, apa bedanya?

Argumen yang menyatakan kalau stadion bukanlah tempat untuk menggelar konser, juga kurang tepat. Stadion adalah satu-satunya tempat dengan tribun yang mampu menampung lebih dari 20 ribu penonton. Acara musik besar biasanya menggunakan stadion sebagai tempat konser.

Simak cerita lainnya:

Tak Ada Anggota Boyband, Kesebelasan dari Korsel Dilempari, Dicaci & Diancam Mati

Boyband Korea dan Tur-tur Kesebelasan Eropa di Indonesia

Sepakbola ala Boyband Korea


Konser perpisahan grup vokal Westlife juga digelar di Stadion Croke Park, Dublin, Irlandia. Dalam konser tersebut, tidak kurang dari 180 ribu penonton! 1D pernah menggelar di tempat serupa dan berhasil menarik 235 ribu penonton!

Jangankan Stadion Gelora Bung Karno yang memang tidak ekslusif untuk kesebelasan Indonesia, Stadion Wembley saja membuka diri untuk konser musik. Padahal, tidak ada kesebelasan yang main di Wembley kecuali Inggris, dan partai-partai besar seperti final Piala FA, Piala Carling, dan Community Shield.

Sebab, selain soal perencanaan dan jadwal yang sudah tersusun jauh-jauh hari, Wembley juga sudah sangat siap untuk event-event yang berbeda-beda dalam waktu mepet. Sangat biasa Wembley disulap dan berubah dalam waktu kurang dari 18 jam.

Anda bisa memiliki Stadion Gelora Bung Karno asal mampu membayar sewa, itu saja kuncinya.

Kuncinya adalah pada perencanaan. Industri musik sudah jauh lebih baik mengelola dirinya sendiri, sejak jadwal, promo, penjualan tiket, hingga manajemen antrian. Penonton masuk stadion tanpa tiket relatif sulit didapatkan dalam konser-konser musik.

Ini berbeda dengan industri sepakbola Indonesia. Semua terbiasa mendadak, jadwal pertandingan selalu berubah-ubah, manajemen tiket kerap amburadul (ingat Piala AFF 2010 dan Sea Games 2011), dan kelewat banyak orang keluar masuk lokasi pertandingan tanpa tiket.

Di awal 2015, sebelum ISL ditunda, PT LI sempat merilis jadwal kompetisi. Persija sangat keberatan dengan jadwal tersebut karena ada beberapa laga di mana mereka tak bisa menggunakan GBK. Apa pasal? Karena GBK sudah dipesan lebih dulu untuk acara-acara non-sepakbola.

Siapa yang salah? Promotor? EO yang memesan GBK? Mosok menyalahkan Persija, sih? Yang salah, ya, yang terlambat menyusun jadwal sehingga keduluan. Jadi siapa? Nah!

Di luar negeri, stadion menjadi tempat konser tak terlalu menjadi masalah yang berujung keriuhan karena semuanya sudah terjadwal -- ya acara musiknya, ya acara sepakbolanya. Setahun sebelum hari-H, sudah jelas kesebelasan nasional akan bertanding di mana dan melawan siapa. Kalender FIFA dimanfaatkan dengan perencanaan jauh-jauh hari, bukan mendadak seminggu dua minggu atau sebulan dua bulan -- yang kalau di Indonesia bisa berubah atau bahkan bisa batal suka-suka.

Simak esai menarik perihal fungsi stadion dalam kebudayaan dan kehidupan sosial:

Di Bawah Lindungan Stadion


Siapa yang Salah?

Pada akhirnya, kita akan saling menuding soal siapa yang salah. 1D bukanlah grup vokal yang hari ini ditelfon, minggu depan manggung. Jadwal konsernya padat dan belum tentu mau terbang belasan jam ke Asia. Perlu ada kepastian terkait stabilitas nasional dan yang paling penting adalah jaminan keamanan, juga kepastian jadwal.

Ini barangkali bisa menjadi jawaban mengapa 1D yang terbentuk pada 2010, begitu lama tidak menggelar konser di Indonesia. Padahal, Indonesia memiliki basis penggemar yang besar.

Promotor menetapkan tanggal 25 Maret 2015 sebagai hari-H, bukanlah sebulan sebelumnya. Ada perhitungan yang matang mengapa mereka memilih tanggal tersebut. Selain mencocokan dengan jadwal manggung 1D, mereka juga pasti mencari tempat yang representatif, yang bisa menampung puluhan ribu penggemar.

Di Jakarta, barangkali tempat yang paling representatif adalah di Gelora Bung Karno. Jadwal di Stadion Gelora Bung Karno pun tidak semudah saat kita mencari jadwal kosong di arena futsal. Promotor bahkan sudah mengumumkan jadwal kedatangan 1D sejak setahun silam!

Sebelum mengumumkan jadwal, mereka pasti sudah mendapat kepastian terkait jadwal penggunaan Stadion Gelora Bung Karno. Dari fakta ini, kita bisa menyimpulkan bahwa promotor sudah menyewa Stadion Gelora Bung Karno sejak lebih dari setahun lalu.

Simak cerita ini:

Jalan Panjang dan Berliku Menuju Stadion-stadion di Indonesia


Lalu, mengapa tiba-tiba PSSI dan media ribut dan khawatir kesebelasan Indonesia U-23 gagal menyelenggarakan pertandingan di Gelora Bung Karno. 1D manggung pada 25 Maret, dan Pra Piala Asia pada 27 Maret. Dengan asumsi PSSI lebih lambat menyewa stadion Gelora Bung Karno, mengapa 1D yang disalahkan?

PSSI seharusnya sadar kalau ada konser musik yang berpotensi merusak rumput lapangan dua hari jelang pertandingan. Lantas, mengapa mereka masih ngotot mau jadi tuan rumah Pra Piala Asia U-23 tanpa melakukan --misalnya-- negosiasi ulang, entah dengan AFC atau dengan promotor?

Lagipula, kerusakan lapangan lebih karena rumput yang terutup oleh alas. Dikhawatirkan rumput mati karena tidak tersinari matahari, dan bukan karena terinjak-injak.

Mereka yang berargumen “bentrok dengan jadwal kesebelasan Indonesia U-23” juga amatlah aneh. Argumen tersebut tidak memiliki fondasi yang kuat karena terlontar dengan asal-asalan. Jelas-jelas konser 1D sama sekali tidak tabrakan dengan jadwal pertandingan karena digelar dua hari sebelumnya.

Lalu, mengapa PSSI masih ngotot mengajukan diri menjadi tuan rumah Pra Piala Asia, tapi mereka tidak mengecek jadwal stadion?

Ada laporan menarik tentang stadion-stadion di Indonesia:

Toilet-toilet di Stadion Sepakbola Indonesia


Memahami GBK sebagai situs politik 

Muktamar Khilafah. Sejalan dengan Pancasila? Mengapa suara yang protes tidak nyaring? (Sumber: hizbut-tahrir.co.id)

Apakah Presiden Sukarno sedih stadion yang ia prakarsai dijadikan konser musik? Bukankah saat beliau masih menjabat, stadion tersebut pun sering dijadikan alat untuk menyampaikan ide-ide politik?

Jika mau menggunakan perspektif historis, anda perlu memahami bagaimana motif non-olahraga sejak awal sudah terperam dalam fondasi stadion Gelora Bung Karno. GBK merupakan mimpi Sukarno sebagai bentuk pembangunan bangsa. Sebagai negara yang baru merdeka, Indonesia membutuhkan sesuatu yang besar, yang dapat mengangkat martabat negeri ini di mata dunia.

Simak artikel tentang sejarah pendirian GBK:

Sukarno dan Membangun Kejayaan Nasional Melalui Stadion


Kemegahan, kebesaran dan keagungan stadion yang berada di Senayan merupakan pengejawantahan dari hasrat Sukarno terhadap segala yang mega, segala yang akbar, segala yang dahsyat. Indonesia, baginya, harus bisa tampil dengan gagah, akbar dan dahsyat. Stadion di Senayan, mula-mula, merupakan sebuah situs politik, di mana genetika politik Indonesia ditanamkan -- setelah itu barulah urusan-urusan olahraga yang mengisinya.

Jangan heran Bung Karno sangat senang jika menggelar rapat-rapat akbar di stadion itu. Sebagai orator, ia mendapatkan tenaga yang berlimpah tiap kali berhadapan dengan massa yang luar biasa banyak. Massa adakah injeksi dan selang infus bagi Sukarno. Jauh dari massa adalah seburuk-buruknya keadaan bagi Sukarno.

Tidak heran jika ia sangat senang kalau organisasi-organisasi massa, juga partai-partai politik, menggelar rapat akbar di Stadion Utama Senayan. Dari PNI, NU, hingga PKI pernah menggelar rapat akbar di sana. Juga militer, kepolisian, hingga organisasi-organisasi kepemudaan.

Jika PKS, Gerindra, PKB, Golkar, atau PDIP hingga para capres menggunakan GBK sebagai lokasi rapat akbar dan kampanye, itu bukanlah penyimpangan, itu bukanlah anomali, melainkan sesuatu yang sejalan dengan genetika stadion GBK itu sendiri. Setidaknya, itu merupakan sesuatu yang historis, hal ihwal yang punya referensi dengan sejarah pendiriannya.

Bahkan Hizbut-Tahrir Indonesia (HTI), yang cita-cita besarnya ialah meniadakan negara-bangsa (termasuk Indonesia) guna membangun kekhalifahan yang lintas benua, bisa dengan santai mengadakan rapat akbar di GBK. Bisa anda bayangkan jika cita-cita HTI itu terealisasi, kesebelasan nasional Indonesia bukan hanya tak bisa bertanding di GBK, tapi kesebelasan nasional itu sendiri akan musnah dengan sendirinya karena punahnya negara-bangsa.

Tak ada anak bola yang protes dan bikin hestek, bukan?



Mengapa kita mempersoalkan konser musik padahal stadion Gelora Bung Karno juga rutin dijadikan tempat penyebaran ideologi yang bertentangan dengan Pancasila? Mengapa saat acara-acara macam itu rutin digelar, kita diam saja?

Sebegitu besarkah kita berilusi mengidamkan prestasi, sehingga sampai lupa siapa yang sebenarnya lebih patut mendapatkan caci maki.

You’re insecure, don’t know whats for..

Baca juga tulisan yang terkait langsung:

Agar Terus Hidup, Stadion Jangan Hanya untuk Olahraga



">#1DINDOProject kita, Directioners! — ISMAYA LIVE (@IsmayaLive) https://twitter.com/IsmayaLive/status/577429247972622336">March 16, 2015

Sumber gambar: cbslocal.com

Komentar