Anda barangkali percaya kalau cuma ada dua jenis atlet di dunia ini: berbakat (insting) dan pekerja keras (teknik). Tidak sedikit yang mengatakan kalau Lionel Messi itu adalah pesepakbola yang berbakat sedangkan Cristiano Ronaldo adalah dia yang pekerja keras. Lantas bagaimana dengan Nicklas Bendtner, misalnya?
Kolumnis The Guardian, Jon Townsend, punya jawabannya. Ia menulis kalau pesepakbola yang bermain di level tertinggi adalah mereka yang berlatih jauh lebih keras daripada pesepakbola yang lain. Mereka tidak cuma memanfaatkan bakatnya, tetapi mengolahnya lewat kerja keras.
Townsend bukannya tanpa alasan. Ia melihat bagaimana pesepakbola muda berlatih dalam sebuah sistem kepelatihan di Belanda. Menurutnya, saat ini Belanda mengadopsi cara kepelatihan Wiel Coerver dan Rinus Michel. Para pemain diwajibakan untuk menguasai teknik dasar mengolah bola. Hal paling fundamental adalah melakukan 10 ribu sentuhan dengan bola setiap hari.
âSetiap pemain mendapatkan bola dan berkumpul dalam sebuah grup berisi enam orang. Setelah mendengar instruksi, peluit pun dibunyikan. Para pemain memulai sesi sentuhan bola dalam serempak, sembari tim pelatih menekan click counter,â tulis Townsend, âIni membuat saya tak perlu lama untuk sadar jenis latihan apa ini. Para pemain berlatih berulang memainkan bola dalam 100-200 kali pengulangan.â
Teknik latihan seperti itu diterapkan kepada pemain berusia delapan hingga sembilan tahun. Townsend pun mengakui bahwa tak ada yang rumit dengan gerakan-gerakan tersebut. Semua yang dilakukan merupakan gerakan dasar di sepakbola. âSemua gerakan tersebut bermula dari latihan dasar ke latihan dengan tingkat yang lebih lanjut.â
Baru 70 menit, Townsend sudah merasa kelelahan. Padahal latihan tersebut bukan sesi latihan fisik. âAku hanya tidak pernah berlatih begitu ketat dan terfokus pada pergerakan dasar sepakbola,â ucap Townsend.
Pemain Brasil yang "Berbakat"
Foto: Thesoccerdesk.com
Dalam tulisannya, Townsend menjabarkan, terlepas dari letak geografis negara penguasa sepakbola dunia, orang-orang Amerika Selatan masih memelihara ciri khas yang mirip. Sepakbola, di negara-negara tersebut menyatu ke dalam sendi kehidupan mulai dari urusan politik, sosial, dan budaya. Pemain muda tidak cuma melihat sepakbola sebagai suatu tugas atau hobi karena sepakbola sudah melekat pada diri mereka.
Inilah yang memengaruhi sejauh mana pemain tersebut akan berkembang. Para pemain yang Anda kenal selama ini telah melalui tahapan pelatihan yang begitu keras. Saat berlatih, mereka tak melakukannya âkarena suruhan pelatihâ dan berhenti saat latihan usai. Mereka sadar bahwa sepakbola adalah tentang menguasai bola, terbiasa mengolah bola dan menjadikannya sebagai kebiasaan.
Bagi para anak di negara-negara Amerika Selatan, sepakbola telah menyatu dalam kehidupan mereka. Menurut Simon Kuper dalam Football Against the Enemies, di tiap wilayah di Brasil selalu ada dua hal: gereja dan lapangan sepakbola.
Baca juga: Krisis di sepakbola Brasil.
Tidak ada indikator yang bisa membuktikan kalau pemain Brasil berbakat bermain bola. Kalau ukurannya mereka tak pernah berlatih secara terstruktur dan sistematis tetapi bisa menjadi pemain top dunia, argumen tersebut bisa dibenarkan. Namun, tentu ini sebuah pandangan yang salah.
Pertama, jumlah pesepakbola Brasil yang memiliki gaji di atas 6.380 USD atau sekitar 80 juta rupiah setiap bulan. Sebanyak 85% di antaranya digaji dua kali rata-rata UMR Brasil atau sekitar sembilan juta rupiah setiap bulan. Artinya, jumlah pesepakbola Brasil yang bisa bermain di kompetisi Eropa jumlahnya jauh lebih sedikit ketimbang talenta-talenta Brasil yang ada.
Kedua, anggapan yang menyatakan kalau Ronaldinho dan Pele tidak pernah mengecap akademi sepakbola tapi bisa menjadi pemain top juga kurang tepat. Mereka faktanya telah melalui fase di mana walaupun tidak dilatih secara sistematis dan terstruktur di klub sepakbola, tapi mereka melakukannya di jalanan.
Townsend mengutip buku Malcolm Gladwell, Outliers, tentang teori di balik angka. Menurut Galdwell penguasaan atas satu keterampilan setidaknya memakan waktu tidak kurang dari 10 jam untuk fokus dan berlatih.
Baca juga: Messi yang memilih berlatih ketimbang liburan.
Townsend memandang hal yang sama di sepakbola di mana untuk menguasai bola diperlukan 10 ribu sentuhan setiap harinya. Hal ini yang dilakukan para pesepakbola Brasil atau Amerika Latin di jalanan. Mereka melakukannya bukan karena suruhan pelatih maupun atas dasar keterpaksaan.
Dengan memahami bola seutuhnya, membuat para pemain Brasil terlihat âlebih berbakatâ ketimbang pemain Inggris, misalnya. Ini tentu tidak lepas dari lingkungan di Brasil yang memungkinkan anak-anak untuk tidak sekolah dan bermain bola setiap harinya.
Namun, tentu ini memiliki kelemahan di mana ada sejumlah hal yang tidak dimiliki pemain yang tak berlatih secara sistematis dan terstruktur. Salah satunya adalah soal pengambilan keputusan hingga pemahaman taktik di atas lapangan. Ini yang membuat saat ini pemain Brasil kesulitan bersaing di tim besar untuk mengisi pos poros ganda yang bertugas bukan cuma menahan serangan lawan, tapi juga pemahaman tentang ruang.
Mengubah Cara Bermain
Dalam tulisannya di kanal About The Game, Abimanyu Bimantoro, menjabarkan penelitian para ahli untuk mencari ciri-ciri pemain yang memiliki bakat luar biasa seperti Lionel Messi. Mereka berharap dapat menemukan formula ampuh agar bisa "menciptakan Messi-Messi lain".
Hal ini sejalan dengan apa yang dilakukan Pemerintah Tiongkok saat memilih atlet yang berlaga di Olimpiade. Sebelumnya, terdapat tim khusus yang menyeleksi atlet berdasarkan ciri fisiologi hingga kemampuan aeorbik untuk menentukan secara spesifik kemampuan maksimal sang atlet.
Namun, untuk sepakbola, menciptakan "Messi yang lain" bagaikan kemustahilan karena para ahli gagal menemukan ciri-ciri tersebut.
"Dalam kasus sepakbola, tidak ada ciri-ciri fisik, fisiologi, maupun psikologi dari yang membedakan anak berbakat atau tidak. Struktur otot, VO2 Max, anaerobic fitness, antropometri, mental, dan segala macam faktor pembeda pesepakbola profesional dan amatir, ketika diperiksa di usia dini hasilnya dapat jauh berbeda ketika anak tersebut beranjak dewasa," tulis Abimanyu.
Messi bahkan divonis mengidap kelainan hormon yang menyebabkan lambatnya pertumbuhan sang pemain. Namun, berkat dukungan sport scientist Barcelona, Messi bahkan bisa dibilang memiliki kemampuan dan prestasi yang jauh lebih baik ketimbang pesepakbola yang terlahir "normal".
Hal lain yang membuatnya bisa mencapai fase sekarang ini tak lain karena latihan yang terstruktur dan sistematis. Seperti yang ditekankan Townsend, pertanyaan mengapa Belanda tak pernah kehabisan stok pemain muda, bisa dijawab dengan melihat sistem pelatihan dan pengembangan pemain muda mereka. Bagaimana Belanda menekankan pada penguasaan penuh pada bola ketimbang bertungkus lumus dengan pembahasan taktik yang sejatinya belum cocok bagi pemain usia 8-9 tahun.
Ditekankan oleh Townsend pula bagaimana pemain Brasil yang tanpa latihan terstruktur tapi bisa mencapai level tertinggi, tak lain karena latihan atas penguasaan bola tersebut. Para pemain tersebut kemudian mendapatkan pelatihan "yang semestinya" di kesebelasan tempat mereka bernaung.
Intinya, saat melihat Messi dan Ronaldo Anda tak perlu berdebat mana yang punya bakat mana yang bekerja keras, karena keduanya bekerja keras jauh lebih keras daripada yang pernah Anda bayangkan. Karena bakat saja tidaklah cukup.
Tulisan Abimanyu Bimantoro tentang pembinaan di sepakbola pernah dibahas dalam tiga seri artikel di kanal About The Game Detik Sport di sini.
foto: greatleaguesoline.com
Komentar