Potret van Gaal sebagai Dosen Filsafat Olahraga

Editorial

by Zen RS

Zen RS

Board of director | Panditfootball.com

Potret van Gaal sebagai Dosen Filsafat Olahraga

"Free kick bodoh!"[1] Louis van Gaal menuliskan tiga kata itu dalam buku catatan bersampul hitam dengan pena dan tinta yang juga berwarna hitam.

Tak lama kemudian ia melihat Rooney sedang ancang-ancang menerima umpan panjang dari Phil Jones. Rooney Mengangkat kaki kanannya mencoba mengendalikan laju bola. Bola menumbuk tulang kering dan mental sejauh tiga meter. Seorang gelandang lawan mendapatkan bola itu, Rooney mengejar dan meluncurkan tekel. Prit! Wasit menganggap tekel itu sebuah pelanggaran.

Van Gaal kembali meraih pena hitam bertinta hitam di dalam buku catatan yang juga berwarna hitam. Ia melihat jam di tangan kirinya sebelum menuliskan sebuah fatwa: "Kontrol bola pelawak." Ia menggaruk-garuk kepalanya. Ia berkata dalam hati: "Babak kedua baru jalan 7 menit saya sudah harus bikin dua catatan. Huh!"

Manchester United kembali menyerang. Sejak awal babak kedua, anak asuh Van Gaal ini memang mengendalikan permainan. Bola terus menerus bergulir ke pertahanan West Ham United. Eits, bukan bergulir, karena bergulir mensyaratkan bola bergerak secara perlahan, dari satu titik menuju titik berikutnya, sebelum akhirnya sampai tujuan. Lebih tepat dikatakan bola melayang sedemikian rupa, melintas dengan cepat, berseliweran, dari satu sisi ke sisi yang lain, dari belakang ke depan.

Tapi benarkah dalam gerak ada perbedaan yang esensial antara "bergulir" dengan "melayang"?

Para penonton di belakang bangku cadangan bergemuruh, Van Gaal dengan cepat mendongak. Bola terlihat sedang dikuasai di Maria yang lolos dari hadangan Noble. Di Maria dengan cepat masuk ke sepertiga akhir lapangan, sementara Falcao dan Persie dengan sigap merengsek ke dalam kotak penalti. Tapi, lho? Van Gaal tak menatap ke arah Di Maria atau Falcao atau Persie, matanya malah nyalang ke arah Luke Shaw yang berdiri tepat di garis tengah lapangan.

Saat di Maria akhirnya melepaskan umpan silang, yang tentu saja gagal mengenai sasaran, van Gaal malah mulai menulis di buku catatannya: "Otak sebaiknya jangan disimpan di kaki, supaya enteng kalau harus berlari."[2]

Ketika umpan silang Di Maria disapu oleh James Tomkins, sapuan itu mengarah ke sisi kiri penyerangan United. Tentu saja tak ada pemain United, sebab Di Maria baru saja melepaskan umpan di sudut kotak penalti. Shaw tergopoh-gopoh mengejar bola, tapi Alex Song sudah lebih dulu mendapatkan bola.

"Lihat, bos! Terlambat sekali Shaw!" bisik Ryan Giggs ke telinga van Gaal. Tapi van Gaal tak bereaksi berlebihan, ia hanya mengangkat bahunya, lalu memperlihatkan kalimat yang baru saja dituliskannya. Giggs manggut-manggut beberapa kali, kemudian kembali menyandarkan punggungnya, sembari mengusap rambutnya yang agak ikal dan mulai memutih itu.

Ada dua orang yang sedang menyandarkan punggungnya di kursi dalam posisi bersebelahan.Kendati selisih usia keduanya sekitar 23 tahun, tapi rambut keduanya sama-sama memutih, terutama di bagian pinggir. Tanpa ada yang memberi komando, keduanya tiba-tiba mengarahkan pandangan ke titik yang sama: garis berwarna putih di pinggir lapangan.

Waktu berlalu dengan cepat. Beberapa suporter United yang berada di belakang gawang West Ham terlihat berteriak-teriak dengan wajah bosan. Di kafe-kafe dan pub di kota Manchester, beberapa orang membanting kaleng bir. Busa bir terlihat menggenang di beberapa titik lantai pub yang kusam. Busa bir itu menyerupai gabus yang mengapung di kolam yang sudah lama tak dikuras. Bayangkan busa putih mengambang di air hitam yang tak bergerak. Tak bergerak. Sekali lagi: tak bergerak.

Di sisi kanan penyerangan United, Valencia berlari mengejar bola dan mendapatkannya dengan mudah. Ia bisa melewati Aaron Craswell dengan cara menekuk bola dengan kaki kanannya. Pemain Ekuador itu mendapatkan posisi yang enak untuk melepas umpan silang. Tapi itu harus dilakukan dengan kaki kiri. Di tiang jauh, Falcao melambaikan tangannya dengan ekspresi seperti kelasi di sebuah kapal pesiar yang sedang berpapasan dengan kapal pesiar yang lain. Van Gaal menghela nafas dalam-dalam, ia sudah tahu apa yang terjadi.

Ia mengabaikan apa yang akhirnya terjadi dan memilih menggoreskan kalimat di buku catatannya, ia menuliskan sebaris kalimat yang nadanya terdengar seperti ucapan Haruki Murakami: "Mengapa saat melihat laut kalian ingat gajah dan saat melihat gajah kalian malah ingin berenang di laut?"


Kemudian dipanggilnya Marouane Fellaini. Fellaini harus dimasukkan mengganti Januzaj, pikirnya. Kepada Fellaini ia perlihatkan apa yang harus dilakukan di atas lapangan dengan cara menggerakkan beberapa pion di papan chalkboard yang diambilnya dengan tergesa dari Giggs. Fellaini mengangguk-anggukan kepala seakan memberi isyarat bahwa ia paham yang dimaksud van Gaal. Saat Fellaini sedang membungkuk membenahi kaos kaki, van Gaal menepuk pundaknya sembari berkata: "Fate is written in the hair."

Louis van Gaal
Fellaini tertawa. Tentu saja ia tak paham maksud kalimat itu. Ia hanya tahu bahwa nasib manusia dituliskan Tuhan saat Ia melompat dari singgasana-Nya di langit ketujuh -- ini menjelaskan dengan baik bahwa nasib Fellaini memang digariskan untuk melompat dan melompat lagi. Melompat dengan lebih tinggi, lebih tinggi dan lebih tinggi.

Van Gaal menyukai kalimat itu. Kalimat itu sebenarnya milik Federico Fellini, sutradara dan maestro sinema dari Italia yang masyhur karena cerita-cerita yang menggabungkan ingatan, kenangan, dan mimpi-mimpi. Bahwa Fellini itu pengucapannya dekat dengan Fellaini, itu hanyalah kebetulan. Lagipula kalimat itu hanyalah plesetan, sebab aslinya berbunyi "fate is written in the face".

Kalimat itu sering ia ucapkan kepada pemain lain dengan berbagai variasi. Kepada Valencia ia pernah berkata: "Fate is written in the right foot". Kepada Di Maria, dalam sebuah sesi latihan, ia mengubahnya menjadi "fate is written in the heart" sembari memperlihatkan gesture hati dengan kedua tangannya, sebagaimana sering dilakukan di Maria saat merayakan gol.

Hingga menit 85, skor masih 1-0 untuk West Ham. Dan De Gea baru saja menendang bola sejauh 65 meter. Lagi-lagi bola panjang. Ryan Giggs berkata kepada van Gaal. "Umpan panjang ke 75, nih, bos!"

Van Gaal menoleh dengan mimik muka kesal. Ryan Giggs pura-pura tak melihat. Ia lalu sedikit menggeser posisi duduknya beberapa kali, seperti menggesek-gesekkan pantatnya. Pantatnya seperti berkedut-kedut.[3]

Bola panjang dari de Gea melayang ke arah Fellini, eh Fellaini, dan dengan sangat baik Fellaini mendapatkan bola itu dengan melompat sangat santai, sementara Cheikho Kouyate melompat dengan susah payah sembari menutup matanya untuk menghindari rambut dari kepala Fellaini menusuk bola matanya.

Fellaini menahan bola dengan dadanya, dengan sikap yang sangat rileks, seakan waktu berhenti dan alam raya tunduk dalam takzim. Tapi demikianlah memang adanya. Para pemain West Ham terpaku di posisinya. Kouyate tertahan di punggung Fellaini yang berdiri dengan bola di kaki kanannya selayaknya pusat dunia.

Di salah satu rumah yang kumuh di Buenos Aires, Ricardo Bochini, sang legenda La Pausa yang kepadanya bahkan Maradona rela untuk menjura, menyaksikan momen itu dengan menggeleng-gelengkan kepalanya dan bergumam: WARBYASAK!

Halaman selanjutnya: Fellaini sebagai fantastista akhirnya menjadi penyelamat. Apa penjelasan van Gaal tentang Fellaini sebagai fantastista?

Komentar