Pelanggaran dalam sepakbola merupakan hal lumrah, yang kemudian disikapi dengan tiga macam keputusan pengadil lapangan: pelanggaran biasa, pelanggaran berat diganjar kartu kuning, dan pelanggaran berat diganjar kartu merah langsung. Masalahnya batasan di antara kategori pelanggaran bisa jadi bias yang berujung pada subjektivitas wasit.
Seperti para penikmat sepakbola telah mafhum, sulit melepas subjektivitas dalam sebuah permainan yang melibatkan 22 orang sekaligus. Belum lagi menyertakan kompleksitas taktik, posisi, dan manipulasi ruangwaktu berbatas garis tepi dan garis gawang yang terjadi selama 90 menit bersih. Bahkan setelah ditempa sekian musim liga, selalu ada kemungkinan putusan seorang wasit menjadi kontroversi.
Berbagai teknologi dikerahkan untuk meminimalisasi perdebatan. Sebut saja sensor garis gawang dan asisten wasit berbasis video–yang lalu mengundang kontroversi lain bahwa teknologi telah mengusik sisi manusiawi dari perwasitan sepakbola. Tetap saja setelah usaha dikerahkan, masih ada sesuatu yang mengundang protes.
Barangkali kritik suporter tidak terlalu signifikan, jika bahasan ini dibatasi hanya untuk 90 menit pertandingan. Tetapi protes yang datang dari area teknikal dan di atas lapangan tentu berpengaruh terhadap keberlangsungan laga.
Dilansir dari The Guardian, badan wasit federasi Inggris (PGMOL) mencatat statistik kasus pertentangan di liga Inggris level profesional meningkat dari 165 kali selama musim 2022/2023 menjadi 347 kali di musim 2023/2024. Salah satu yang lalu menjadi perhatian adalah berkurangnya respek kepada ofisial pertandingan.
Lumbung Dosa dan Skorsing Sementara
Sejak musim 2019/2020, sepakbola akar rumput Inggris telah menerapkan aturan “sin bin” yang mencegah percekcokan antara pemain dan staf pelatih menentang keputusan ofisial pertandingan. Secara harfiah sin bin berarti tempat sampah untuk dosa. Ketika memvonis pelanggar sin bin, wasit mengangkat kartu kuning ditambah gestur kedua tangan menunjuk sisi lapangan.
Meskipun terkesan seperti nama tempat, tidak ada tempat khusus yang menampung pelanggar. Pemain hanya tidak boleh ikut serta dalam permainan dan wajib keluar arena selama 10 menit. Sin bin boleh dibilang hanya lumbung fiktif yang menampung sementara para "pendosa".
Dewan Internasional Asosiasi Sepakbola (IFAB, International Football Association Board), selaku lembaga yang menerbitkan regulasi, kini mewacanakan pengaplikasian sin bin di level profesional. Sebagai langkah awal, piala FA dan Women Super League di Inggris menjadi sasaran pengetesan. Belum ada waktu pasti, tapi sistem baru ini diperkirakan dapat berlaku mulai musim 2024/2025. Mantan wasit sekaligus anggota IFAB, Pierluigi Collina, juga mengatakan aturan sin bin kini bisa dicoba ke level profesional–bahkan kasta tertinggi–untuk menghukum pertentangan dan pelanggaran taktikal.
Insiden Giorgio Chiellini menarik jersei Bukayo Saka saat final Piala Eropa 2020 ialah salah satu contoh pelanggaran sin bin. Bisa dibilang kartu kuning terlalu “ramah” untuk menghukum perilaku Chiellini, namun kartu merah pun terlalu keras.
Kepada The Guardian Mark Bullingham, ketua eksekutif Asosiasi Sepakbola Inggris (FA), berujar, “Pasti ada rasa frustasi di kalangan fans, kala melihat serangan balik tim mereka dirusak (pelanggaran taktikal) dan (timbul pertanyaan) apakah hukuman kartu kuning cukup.”
Aturan ini sudah pakem di cabang olahraga lain seperti rugby, lacrosse, hoki es, dan polo air. Perbedaannya kartu kuning mereka memang memberlakukan sin bin atau skorsing sementara. Tim yang rekannya keluar akan dirugikan karena harus menanggulangi kondisi mereka yang kekurangan orang. Dengan demikian, para pemain sebisa mungkin tidak melanggar untuk menghindari kartu kuning.
Logika seperti itu yang diharapkan terbentuk ketika sepakbola menerapkan sin bin. Pada level akar rumput, sin bin terbukti menurunkan pertentangan dengan wasit hingga 38%. Menurut FA, trial sin bin juga disambut respon positif insan sepakbola yang terdampak aturan tersebut. Sejumlah 72% pemain, 77% manajer, dan 88% wasit menyetujui sin bin terus diberlakukan.
“Kesuksesan sin bin di level akar rumput telah menjadi pencegahan alih-alih pengobatan. Maksudnya pemain menyadari ancaman dikenai sin bin, jadi mereka tidak melanggar,” jelas Bullingham.
Terlepas dari posisinya yang seolah di tengah-tengah spektrum kartu kuning dan kartu merah, imbas dua kali sin bin malah terasa lebih ringan. Jika akumulasi dua kartu kuning sama dengan kartu merah, pemain yang dikenai dua kali sin bin hanya diusir, tapi boleh digantikan selama masih tersedia jatah substitusi tim.
Satu kali sin bin sama dengan skorsing 10 menit. Sin bin kedua mengharuskan tim bermain dengan 10 pemain lagi sampai 10 menit masa skorsing berlalu, baru boleh menukar pelanggar dengan penghuni bangku cadangan. Kartu kuning yang dilayangkan sebelum atau sesudah sin bin hanya mencatatkan nama pemain sebagai pelanggar. Barulah sin bin kedua setelah kartu kuning bisa mengusir pemain tanpa bisa diganti, sebagaimana akumulasi dua kartu kuning.
Masa skorsing yang terpotong jeda babak, akan dilanjutkan di babak berikutnya. Misalnya seorang pemain kena sin bin di menit terakhir sebelum turun minum, maka larangan bermainnya selesai di menit ke-55 babak kedua. Begitu pula skorsing yang memotong waktu penuh, akan berakhir di babak extra time. Akan tetapi pemain yang dikenai sin bin dan belum terusir di akhir waktu ekstra, masih boleh terlibat di babak adu penalti.
Menurut panduan yang diterbitkan FA untuk sepakbola akar rumput, penjaga gawang tidak luput dari aturan sin bin. Jika kiper kena skorsing, salah seorang pemain wajib menggantikannya di bawah mistar gawang. Setelah hukuman sin bin-nya selesai, kiper boleh masuk permainan sebagai pemain outfield, menunggu bola mati, lalu boleh kembali merajai kotak penalti.
Penolakan Sin Bin
Belum juga diterapkan di kompetisi profesional, sin bin sudah menuai protes. Ange Postecoglou yang saat ini menukangi Tottenham Hotspurs mentah-mentah menolak sin bin. "Buang saja, buang keseluruhan ide itu. Lupakan saja. Aku tidak tahu mengapa mereka (IFAB) terus-menerus menyusupi permainan (padahal) tidak banyak cela dalam sepakbola. Kupikir kalau mereka melontarkan ide, biasanya mereka sudah tes ombak.
"Kupikir kamu melihat lebih banyak pertentangan saat ini, ya karena banyak hal yang memicu orang-orang protes. Dulu cuma wasit saja. Tapi (sekarang) kamu bisa menentang ofisial keempat, kamu bisa menentang VAR, kamu bisa menentang kepala wasit," katanya seperti dikutip dari ESPN.
Paul Merson, mantan punggawa Arsenal tahun 1985-1997, dalam salah satu diskusi yang digelar Sky Sports juga menyatakan penolakannya, “Mereka (IFAB) mencoba meniru rugby. Kamu dikenai sin bin dalam rugby, (tim) kamu tidak dihukum berat. Dalam sepakbola, sepuluh orang (yang tersisa) tinggal parkir di belakang bola, dan permainan ‘terbunuh’ saat pemain cuma berlari, (membuang bola lalu) lemparan ke dalam, dan buang-buang waktu.”
Merson menjelaskan sin bin hanyalah kesia-siaan. Mantan gelandang yang pernah merumput bersama Aston Villa selama tahun 1998–2002 itu mencontohkan kasus, apabila beberapa pemain secara berturut-turut dikenai sin bin, maka permainan malah berubah alot dan monoton. Semua orang hanya akan melihat papan penunjuk waktu menunggu skorsing sin bin rekannya selesai.
Soal pelanggaran dalam sepakbola barangkali memang cukup dihargai dua warna kartu. Klasifikasi pelanggaran, kartu kuning, dan kartu merah mungkin cukup tanpa perlu diselipkan kategori lain. Terlebih regulasi terbitan IFAB telah mengatur rincian jenis pelanggaran dan hukumannya. Karena masalah subjektivitas yang hendak dibenahi sesungguhnya bisa ditangani dengan standardisasi ofisial pertandingan. Ataukah mungkin, sepakbola yang terlanjur terbiasa dengan pelanggaran dan berbagai kontroversinya?
Komentar