Pembukaan Piala Dunia 2014 tinggal menyisakan hitungan jam. Berdasarkan jadwal yang telah ditetapkan jauh-jauh hari, tim tuan rumah Brasil akan dihadapkan dengan Kroasia di Arena de Sao Paulo. Lalu, bagaimana peluang tim yang pernah melahirkan nama besar Pele itu di negerinya sendiri?
Namun, biarlah ulasan itu disajikan pada tulisan lain. Nah, dalam tulisan ini, mari kita selami bagaimana penampilan dan kepribadian Pele ketika mengunjungi Indonesia pada 1972 lalu.
Berbeda dari sajian "umum" yang "meramaikan" kehebatan Pele di Senayan, sajian kami justru sebaliknya. Majalah TEMPO edisi 1 Juli 1972 pun mendeskripsikan: "...Pemain Santos yang dianggap akan mengesankan, ternyata membuat kecewa. Selain bermain lambat, pertandingan nyaris ricuh."
Maksud hati hendak menolong, Iswadi Idris justru dibalas dengan sikutan. Akibatnya, kanan luar timnas Indonesia yang bernomor punggung (13) itu pun naik pitam dan menendang pemain Santos yang sedang terduduk.
Ya, pada 21 Juni 1972 itu, timnas Indonesia asuhan Pelatih Endang Witarsa memang sedang meladeni Santos, klub Brasil. Sayang, pertandingan yang disaksikan sekitar 75 ribu penonton di Stadion Utama, Senayan, Jakarta, itu tampak tidak mengesankan. Terlebih permainan Pele yang menjadi pusat perhatian pecandu bola di tanah air.
Sebagaimana dikutip dari majalah TEMPO, gerak-gerik pemain yang bernama asli Edson Arantes do Nascimento itu tidak lebih berbahaya dari kiri luar Edu, mantan pemain timnas Brasil, dan tidak selincah Afonso, pemain cadangan yang masuk di babak kedua --meski sementara orang mengatakan bahwa terlalu dini untuk menilai Pele dari satu pertandingan persahabatan tersebut.
Tidak mengesankannya permainan Pele bisa jadi juga karena psywar. Coach Endang Witarsa memang sempat menyampaikan psywar "ingin menyelesaikan Pele dalam waktu 15 menit". Namun, yang jelas, Pele telah tampil dengan sikap yang memandang sepele pertandingan. Apa yang tersisa pada dirinya hanyalah gerakan-gerakan sporadis dan setelah itu tidak jarang memperlambat tempo permainan.
Jika dicermati, sesungguhnya kekecewaan masyarakat pencinta sepak bola kepada Pele dilatarbelakangi beberapa alasan, seperti Pele merupakan pemain bintang dunia yang terakhir kali meraih Piala Dunia 1970 (jarak dua tahun dari 1972) sebagaimana yang disaksikannya di media (televisi) sehingga ekspektasinya terlampau tinggi serta publik tanah air sempat diperlihatkan kualitas permainan Cruzeiro, klub Brasil lainnya, yang juga sebelumnya pernah berkunjung ke tanah air.
Terlepas dari penampilan Pele di Senayan, lantas tak membuat peraih tiga kali juara dunia itu kehilangan kepribadiannya. Kehadirannya di luar lapangan hijau lebih mengesankan. Kesederhanaan dan kerendahan hati Pele seperti yang dikesankan kepada Captain Partono, pilot CIA "Bali Express" dan pramugari Christina Loing merata pula pada mereka yang langsung berkenalan dengan Raja Bola ini.
Rupanya kepribadian Pele yang membuat dia tetap tenar, seperti pernah dikatakan: "Pada akhirnya kerja sama di lapangan harus diterapkan dalam the game of life".
(NMR)
Komentar