Babak 16 besar Piala Dunia 2006 mempertemukan Italia dan Australia. Pertandingan tersebut berakhir dengan skor 1-0 untuk kemenangan Italia. Hanya saja kemenangan skuat Marcelo Lippi itu diwarnai sebuah kontroversi yang mungkin sulit dilupakan publik Australia.
Pada laga itu Italia harus bermain dengan 10 pemain setelah Marco Materazzi menerima kartu kuning kedua pada menit ke-50. Namun meski unggul jumlah pemain, Australia tak mampu menembus kokohnya pertahanan Italia - hingga kompetisi berakhir Italia hanya kemasukan dua gol, satu gol bunuh diri dan satu lewat penalti Perancis di final.
Sadar tak bisa mencetak gol, Australia berharap pertandingan berlanjut hingga babak tambahan, atau mungkin adu penalti. Maka pelatih socceroos kala itu, Guus Hiddink, tak melakukan sisa dua pergantian pemain karena ingin memanfaatkan kelelahan Italia pada babak tambahan waktu.
Namun yang terjadi sangat tak diduga oleh skuat Australia. Ketika tambahan waktu babak dua tinggal menghitung detik, Italia mendapatkan hadiah penalti. Francesco Totti yang menjadi eksekutor 12 pas pun menunaikan tugasnya dengan baik.
Penyebab penalti tersebut sangat tidak mengenakkan bagi kubu Australia. Karena Fabio Grosso sebenarnya tak dilanggar Lucas Neill, tapi menjatuhkan diri (diving). Australia merasa `dirampas` kesempatannya untuk lolos ke perempat final. Cercaan pun berdatangan kepada tim Italia karena menang dengan cara yang tidak fair.
Sepakbola Italia memang tak lepas dari stereotipe sepakbola negatif. Baik dari segi taktikal maupun non-taktikal. Ini tak lepas dari prinsip yang dipegang teguh para pemain Italia. Dalam buku karangan Gianluca Vialli, The Italian Job, ia menyebut bahwa bagi pesepakbola Italia, sepakbola adalah sebuah pekerjaan, bukan sebuah permainan.
Ini berbeda dengan sepakbola Inggris yang menganggap sepakbola adalah permainan. Permainan? Bagi pesepakbola Italia sepakbola tidak semenyenangkan sebuah permainan. Bagi mereka, kemenangan adalah target yang wajib dicapai. Entah bagaimanapun caranya yang akhirnya menghalalkan segala cara.
Maka dari itu, Fabio Grosso setelah pertandingan melawan Australia itu pun dengan jujur mengakui `kecurangan` yang dilakukannya. "Pertandingan ini sangat berat. Tapi kami perlu melangkah ke babak berikutnya. Bek lawan melakukan sebuah sliding tackle dan hanya sedikit mengenai kakiku. Aku perlu melakukannya. Bagiku itu penalti walaupun sebenarnya tidak."
Sebenarnya, bukan hanya Grosso yang pernah melakukan "dosa" untuk Italia. Nama-nama seperti Filippo Inzaghi, Alberto Gilardino, dan Francesco Totti serta nama lainnya, tak luput dari sebuah trick dalam permainan sepakbola yang bernama diving.
Namun diving bukan lah sebuah tren. Bagi Italia, diving adalah sebuah seni yang mengacu pada istilah furbizia atau seni tipu muslihat. Dalam hal ini, furbizia adalah sebuah cara mengelabui lawan melalui pendekatan performatif, taktis dan psikologis yang tidak keluar dari peraturan pertandingan.
Menurut Andrea Tallarita, seorang kolumnis football Italiano, Furbizia tidak hanya diving. Ada beberapa contoh lain furbizia seperti: tactical fouls, melakukan tendangan bebas ketika kiper lawan belum siap, membuang-buang waktu, memprovokasi (baik fisik maupun verbal), dan hal-hal lain yang bisa menyerang psikologis pemain lawan.
Bagi sepakbola di luar Italia mungkin ini curang. Tapi di Italia, furbizia adalah strategi umum dan telah melekat pada sepakbola Italia sejak lama. Bahkan pada 2008, ESPN mengeluarkan sebuah iklan tentang tim nasional Italia untuk promosi Piala Eropa 2008 dengan sedikit menyindir Italia yang gemar melakukan provokasi.
Walaupun melakukan fubrizia adalah sebuah dosa, untuk mempraktikannya di lapangan tentunya bukan perkara mudah. Kartu kuning sudah menjadi hantu bagi siapapun yang ketahuan melakukan diving. Perlu kejelian, ketepatan dan sedikit keberuntungan agar bisa "menghasilkan". Pada 2002, Totti dilanggar jelas oleh bek Korea Selatan. Alih-alih mendapat penalti, Totti malah mendapat kartu merah karena menerima kartu kuning kedua.
Hingga pada akhirnya, fubrizia tetap akan menjadi ciri Italia. Mengapa? Karena sepakbola adalah tentang siapa yang menang dan siapa yang kalah, bukan mana yang benar dan mana yang salah. Ketika Italia melakukan fubrizia, sebagian orang mungkin akan membenci Italia, tapi sebagian lagi akan menganggapnya pahlawan.
Itulah Italia, Itulah Sepakbola.
[ar]
Komentar