Sejarah Persib Bandung dalam 5 Ribu Kata

Klasik

by redaksi 33014

Sejarah Persib Bandung dalam 5 Ribu Kata



Lahirnya Kembali "Generasi Emas" Persib

Akhirnya, didatangkanlah Marek Janota. Marek Janota pun mulai berkeliling kampung. Tujuannya bukan jalan-jalan biasa, melainkan untuk mencari bibit-bibit potensial pemain Persib. Sejarah pun mencatat bahwa para pemain hasil binaan inilah yang kelak menciptakan "Generasi Emas" Persib 1980-an.

Pada masa ini, Persib berada 1-2 tingkat di dalam kompetisi Zona Jawa Barat. Posisi ini menjadikan Persib tidak perlu berjuang terlalu bawah. Seperti kompetisi-kompetisi periode sebelumnya, Persib tinggal menunggu tim-tim lainnya di tingkat Zona Jawa Barat.

Dalam perjalanannya, konflik internal muncul dari manajemen tim Persib. Marek Janota pun sempat dikucilkan. Akhirnya, muncullah Risnandar yang menggantikan Marek Janota. Risnandar ini pula yang berhasil membawa Persib meraih tiket promosi ke Divisi Utama Perserikatan 1983. Sebelumnya, Persib berada di peringkat ke-3 Divisi I Perserikatan 1983. Berdasarkan sistem kompetisi yang berlaku, Persib berhak promosi bersama PSIS (juara), Persema (runner-up), dan PSP (ke-4). Dalam kompetisi itu pula muncul nama Adjat Sudradjat yang menjadi topscorer Divisi I Perserikatan PSSI 1983 dengan raihan 9 gol.

Menjelang Divisi Utama Perserikatan 1983, pelatih Persib kembali beralih. Omo Suratmo tampak menggantikan Risnandar. Di tangan Omo Suratmo, Persib "hampir" membawa Persib menjadi juara Divisi Utama Perserikatan 1983. Sayang, Persib dikandaskan PSMS 2-3 di babak grandfinal. Meskipun gagal, Persib dianugerahi sebagai tim terbaik. Selain itu, Adjat Sudradjat meraih topscorer dengan 8 gol yang disertai gelar pemain terbaik.

Dua tahun berikutnya, Persib harus mengalami prestasi serupa, yaitu runner-up. Ya, Persib harus mengakui keunggulan PSMS 3-4 melalui adu tendangan penalti dalam Divisi Utama Perserikatan 1985. Meskipun begitu, Persib dianugerahi sebagai tim terbaik, termasuk Adjat Sudradjat yang menjadi topscorer dengan 16 gol.

Pada masa ini, tongkat kepemimpinan Persib beralih dari Solihin G.P. ke Ateng Wahyudi. Serah terima jabatan di antara keduanya pun cukup unik, yaitu melalui pesawat telepon. Kini, Ateng Wahyudi yang sudah menjabat sebagai Walikota Bandung dan Ketua Umum KONI Kota Bandung itu tinggal melanjutkan perjuangan Persib untuk meraih prestasi terbaik.

Nista, Maja, Utama. Persib lolos kembali ke babak grandfinal. Persib berhasil menjadi juara Divisi Utama Perserikatan 1986 setelah mengalahkan Perseman 1-0. Gol tunggal Djadjang Nurdjaman pada menit 77 membawa Persib meraih gelar juara sebagai penantian selama 25 tahun. Keberhasilan Persib menjuarai Perserikatan 1986 menjadikan ikon Persib �86 tercipta dalam sejarah Persib.

Persib Juga Bisa Juara di Turnamen Internasional

Dalam perkembangannya, sebagai hadiah dari PSSI, Persib dikirim ke Piala Sultan Hassanal Bolkiah 1986. Pada masa ini, tiga pemain Persib dipanggil PSSI, yaitu Adeng Hudaya, Djadjang Nurdjaman, dan Robby Darwis. Namun, dari ketiga pemain itu, hanya Adeng Hudaya yang masuk menjadi bagian dari timnas Indonesia ketika berlatih di Brasil. Karena Adeng Hudaya "berhalangan" untuk bermain ke Brunei Darussalam, Persib meminjam dua mantan pemain Persib yang bermain di Galatama, yaitu Herry Kiswanto (pemain Persib pada akhir 1970-an) dari Kramayudha Tiga Berlian Palembang dan Yusuf Bachtiar (pemain Persib pada awal 1980-an) dari Perkesa �78 Sidoarjo.

Meski berat, perjuangan Persib di Brunei Darussalam cukup maksimal. Di babak penyisihan, Persib menang 4-0 atas Filipina dan 2-1 atas tuan rumah Brunei Darussalam sehingga Persib lolos ke babak semifinal. Di babak semifinal, Persib mengalahkan Singapura 4-2 melalui adu tendangan penalti setelah selama 2 x 45 menit dan perpanjangan waktu 2 x 15 menit kedua tim bermain imbang 0-0. Akhirnya, Persib berhasil menjadi juara Piala Sultan Hassanal Bolkiah 1986 setelah mengalahkan Malaysia 1-0 melalui gol Yusuf Bachtiar pada menit 47.

Pada babak final yang dipimpin oleh Adjat Sudradjat sebagai kapten kesebelasan ini, Persib menurunkan formasi pemain: Sobur (penjaga gawang), Suryamin, Herry Kiswanto, Dede Iskandar, Bambang Sukowiyono, Robby Darwis, Uut Kuswendi/Suhendar, Yusuf Bachtiar, Adjat Sudradjat, Iwan Sunarya, dan Djadjang Nurdjaman.

Setelah berhasil menjuarai kompetisi Perserikatan kembali, hal ini membuat rasa percaya diri Persib meningkat. Setiap kekalahan dianggap "luar biasa". Sementara kemenangan dianggap sesuatu yang wajar.

Sebagai juara bertahan, Persib harus bersiap kembali dalam menghadapi kompetisi Perserikatan 1986/1987 dan 1987/1988. Sayang, dalam kedua kompetisi Perserikatan itu Persib tidak memperoleh prestasi terbaik. Dalam kedua kompetisi itu pula Persib harus puas menempati peringkat ke-3. Namun, kalau diperhatikan selama perjalanan kompetisi di kedua periode tersebut, tampaknya hanya persoalan "nasib" saja. Satu catatan, Robby Darwis, dianugerahi sebagai pemain terbaik kompetisi Perserikatan 1986/1987. Sementara gelar juara direbut oleh PSIS (1986/1987) dan Persebaya (1987/1988).

Dalam perkembangannya, PSSI mengubah kembali waktu penyelenggaraannya, yaitu dari satu tahun menjadi dua tahun. Kompetisi Perserikatan berikutnya yang harus dihadapi Persib ialah kompetisi Perserikatan 1989/1990. Setelah dua penyelenggaraan kompetisi tanpa membuahkan gelar juara, Persib akhirnya berhasil merebutnya kembali ketika meraih gelar juara kompetisi Perserikatan 1989/1990. Di babak final, Persib mengandaskan juara bertahan Persebaya 2-0.

Rasa percaya diri setelah menjuarai kompetisi Perserikatan 1989/1990 itu tentu membuat rasa percaya diri Persib meningkat dalam Piala Utama I/1990. Sayang, harapan Persib terganjal oleh Pelita Jaya yang mengalahkannya 2-3 di babak semifinal. Namun, gol terakhir Pelita Jaya yang terjadi pada menit-menit akhir serta berbau offsidemembuat bobotoh kecewa, marah. Inilah awal kerusuhan suporter dalam pertandingan semifinal itu. Persib pun dikenai sanksi tidak boleh memakai atribut nama Persib selama enam bulan.

Dalam kompetisi periode berikutnya, Persib harus berjuang untuk mempertahankan gelar juaranya. Namun, dalam sejarah Persib sejak era "Generasi Emas 1980-an", perjalanan di kompetisi Perserikatan 1991/1992 inilah yang mungkin dianggap paling berat. Saat itu, Persib harus puas menempati peringkat ke-4 di kompetisi Perserikatan 1991/1992. Inilah peringkat terburuk Persib sejak era "Generasi Emas 1980-an". Namun demikian, gelar tim fairplay digenggam Persib.

Harapan Persib untuk memperoleh prestasi terbaik di Piala Utama pun kembali muncul. Sayang, Persib kembali kalah dari Pelita Jaya. Saat itu, di babak final Piala Utama II/1992, Persib harus mengakui keunggulan Pelita Jaya 0-2. Sejak kekalahan dari Pelita Jaya inilah setiap Persib bertemu Pelita Jaya dianggap sebagai pertandingan bergengsi. Apalagi pada masa itu, Persib ibarat tim terbaik Perserikatan, sedangkan Pelita Jaya ibarat tim terbaik Galatama. Terlepas dari itu, Persib dinobatkan sebagai tim fairplay Piala Utama II/1992, selain Sutiono Lamso yang menjadi topscorer dengan raihan lima gol.

Juara Perserikatan Terakhir, Juara Liga Indonesia Perdana

Dua tahun berikutnya, Persib mengikuti kompetisi Perserikatan 1993/1994. Prestasi Persib pun cukup membanggakan. Persib berhasil menjadi juara Perserikatan 1993/1994 setelah mengalahkan PSM 2-0. Selain itu, gelar pemain terbaik diberikan kepada Sutiono Lamso.

Pada masa ini muncul wacana peleburan kompetisi Perserikatan dan kompetisi Galatama menjadi kompetisi Liga Indonesia. Tentu di sana-sini masih timbul pro dan kontra. Ada yang menyebutkan "tidak logis". Alasannya, mana mungkin amatir disatukan dengan profesional. Namun, PSSI tetap menjalankannya juga. Segala perbaikan dibenahi sambil jalan.

Bersyukurlah Persib. "Generasi Emas" Persib atau paling tidak "berkah"-nya berhasil membawa Persib menjuarai Liga Indonesia 1994/1995. Persib berhasil mencatatkan sejarah ketika berhasil menjadi juara kompetisi profesional pertama kali bagi Persib.

Tapi kejayaan itu menyurut sangat lama. Sejak 1995, Persib sangat menderita karena tak pernah menjadi juara lagi. Jangankan juara, menjadi runner-up pun keteteran.�Persib bahkan nyaris terdegradasi pada musim 2003. Jika tidak ada babak play-off, sejarah manis Persib niscaya akan tercoreng lagi karena Si Pangeran Biru terdegradasi kembali. Beruntung Persib lolos pada babak play-off yang berlangsung di Manahan.

Memasuki era Indonesian Super League yang dimulai pada 2008, Persib mulai memperbaiki diri. Transisi dari perserikatan ke era profesional berhasil dilalaui dengan lumayan baik, setidaknya dibanding kebanyakan tim perserikatan lainnya. Kondisi finansial yang stabil membuat Persib lumayan kompetitif.�Kendati demikian, tidak serta merta Persib bisa langsung menjadi juara.

Barulah pada musim 2014 trofi juara akhirnya kembali ke bumi Pasundan. Di laga final ISL 2014, Persib berhasil mengalahkan Persipura melalui adu penalti. Persib kembali juara setelah puasa gelar nyaris 2 dasawarsa lamanya.�Selanjutnya, trofi Piala Presiden pun berhasil digondol Persib�seakan melengkapi superioritas mereka di kancah sepakbola nasional.

Menjadi juara pada 2014, setidaknya, telah menghapus debu-debu yang terlalu lama menempel pada trofi dan dokumen Persib. Bersama trofi Piala Presiden, sejarah Persib kembali disegarkan, kembali mengalami penyegaran, dan tak lagi kusam, penuh debu, selayaknya trofi dan dokumen yang dipamerkan di dalam museum.

Apakah Persib akan kembali puasa gelar seperti yang terjadi pasca menjuarai Liga Indonesia pertama? Sejarah yang kembali akan memberikan jawabannya.

Komentar