Jika ditanya apa lembaga profesional paling tinggi dalam kasta sepakbola Indonesia? jawabnya tentu adalah PSSI. Lepas dari permasalahan kepengurusan federasi ini yang masih carut marut, secara lembaga hukum PSSI adalah lembaga profesional. Namun sebelum melangkah ke tahap itu, PSSI dulunya pun adalah lembaga yang amatir.
Dulu, fokus mereka hanya menangani sepakbola dan membuat orang sehat. Tak ada beban mengelola liga, tak ada hasrat mengeruk keuntungan dari hak siar tv dan lain-lainnya. Ya kejadian itu tentu saja terjadi di zaman dulu, saat PSSI baru lahir dan belum diakui oleh pemerintah kolonial Belanda.
Saya menemukan sebuah kliping menarik yang bercerita soal amateurisme ini. Sebuah esai dari seseorang pengurus yang mengkritisi adanya pengelolaan profesional dalam tubuh PSSI. Inti dari tulisan ini sebenarnya mengkritisi sepak bola yang di masa itu menjadi seperti sebuah pekerjaan. Pada masa dekade 30-an, memang sepakbola dijadikan satu dengan rombongan sirkus. Mereka akan berkeliling nusantara untuk bermain bola. Pendapatan mereka jelas dari karcis, masa-masa itu orang memang sedang gemar-gemarnya menonton bola.
Esai kritikan ini akan saya transkrip tulisan ulang itu dengan ejaan lama yang masih memakai istilah-istilah Belanda. Mohon maaf, mungkin akan membuat anda sedikit bersusah payah untuk membacanya.
Namun yang jelas ketika kita membaca esai pendek ini, mungkin kita akan sedikit tertawa melihat kondisi persepakbolaan kita di masa itu. Berikut isi esai yang tertulis dalam Majalah resmi PSSI berjudul "Majalah Olahraga Edisi November tahun 1937.
P.S.S.I Berdasar Amateurisme.
Perloe disini agaknja kami terangkan sedikit, bahwa persepakragaan kita itoe didasarkan amateurisme. Artinja jang lebih landjoet, bahwa sesoeatoe Bond itoe dilarang membajar pada anggataunja, seroepa oepah. Lebih landjoet, bahwa seseorang lid dari sesoeatoe club (bond) itoe dilarang sama sekali minta oepahan pada clubnja, bila ia kebetoelan disoeroeh main boeat competitie, bersedia tjokoep sepatoe dan kaosnja dan ongkos perdjalanandja. Tidak perdoelie, apa roemahnja jaoeh, apa tempat tinggalnja dideket lapang bal.
Boekan itoe sadja kewadjibannja, malah spelers bal djoega diwadjibkan membajar oeang ieoeran. Ini kami katakan, karena masih banjak sekali anggauta-anggauta jang beranggepan, kalau soedah djadi speler kelas I, malah-malah terpilih djadi bonspeler, laloe tidak maoe bajar contributie: kalau disoeroeh main dalam competitie, minta ditransportkosten. Alesannja, karenadatangja pakai daleman, atau roemahnja djaoeh. Malah ada jang minta sepatoe atau kaos kaki.
Keadaan jang sematjem ini. dipandang sepintas laloe tidak apa-apa. Tetapi sebetoelnja, amat meroegikan kepada club. Tjobalah berpikir diantaranja 11 orang, ada 6 orang jang djaoeh tinggalnja, oempanja sampai 5 KM atau lebih. Seorangja minta transport 30 cent. Djoemblah soedah 6 x 0,30 cent jadi 1,80 gulden. Seminggoe main 2 kali, seboelan djadi 8 kali. Boeat transport sadja soedah 8 x 1,80 gulden ada 14,40 gulden. Beloem ongkos tjoetji pakaian, beloem sewa lapang, beloem bajar contributie pada bond. Lindja tidak maoe bajar contributi. Pengoeroesnja tombok djadi bobrok.
Perlu diperingati oleh club-club sekaliannja, djangan mendidik anggautanja dengan memberikan transportkosten pada spelersnja. Ingin menjadi kampioen memang baik dan seharoesnja. Tetapi djagan menjimpan bibit penjakit, jang soesah diobatinya. lebih tjelaka tidak berani mendjalankan sesoeatoer peratoeran djang haroes didjalankan.
Proffesional atau Beroepsvoetballer?
Beroepsvoetballer atau prof, ialah seseorang voetballer, jang hidoepnja dari pemainan bal. Karena permainannja bal ito, ia dapat gadjih. Djadi penghidoepannja dari main bal. Pada ini wektoe di Indonesia soedah ada tjontonja, ialah Miss Riboet eftal. Orang-orang itoe hidupnja meloeloe dari permainan bal. Eftal Miss riboet itoe kaoem boeroeh, pekerdjaanja main bal. Madjikannja ialah toean Theo, Directeur Eingenaar Miss Riboet.
Apa sebabnja kita tegen pada prof voetballer. Dipandang sepintas laloe, kita disalahkan, kita kedjem, kita enz, enz.
Sebeloemnja kita mendjawab lebih landjoet, kita madjoekan terlebih dahoeloe pertanjaan kita dibawah ini: Soedah masakkah masjarakat kita oentoek mengandakan beroepsspelers? koetkah kita memberi penghidupan pada spelers-spelers itoe? Dan berapa tahoenkan orang bisa main Voetbal dengan baik?
Djawabnya: Masjarakat kita masih terlaloe moeda oentoek mengandakan beroepsspelers. Penghargaan publiek masih rendah pada voetbalspel. Boektinja penonton beloem banjak seperti penonton di loear negeri. Sesoeatoe competitie di London sampai dikondjoengi 10.000 penonton. Interstedelijke wedstrijd di kita paling banjak dikoendjoengi 4000 orang (bandoeng dan solo pernah mengalami). Competitie kita biasanja dikoendjoengi 50 gelinti penonton.
Apakah eftal Miss robert itoe meloeloe main bal sadja pekerdjaanja, kamipoen masih sangsi djangan-djangan kaloe waktoe malem masih diberi pekerdjaan lain, oempanja poetong kartjis, toekang lajar dan lain-lainja, jang berhoeboengan dengan toenoel. Teranglah disini, jang berhoeboengan dengan tooneel. Teranglah disini kalau kita beloem boleh mengadakan beroepsspelers. Entah belakang hari, tergantoeng pada masjarakat kita.
Indirect mengadakan beroepsspelers banjak terdjadi. Oempanja: seorang chief di beurau, germar pemainan bal, lalu lihat seorang voetballer, bintang lapang. Kebetoelan gadjihnja sedikit. Orang itoe, karena permananja bal, laloe dipelet, diberi pekerdjaan, jang gadjihnya lebih besar. Orang itoe laloe pindah pekerdjaan, dan mempertahankan clubnja chefnja. Poen keadaan jang begini, Masyarakat kita beloem bisa meniroe. Banjak terdjadi, pemain PSSI meninggalkan barisannja karena dilain tempat bisa dapat pekerdjaan, jang gadjihnja lebih besar. Siapa jang salah? Boekan pemain itoe, tapi masjarakat kita. Tetapi pemain sematcam ini tidak boleh diseboet beroepsspelers, karena penghidupannja tidak dari pemainan bal. Tjoema, lantaran permainannja bal bagoes, laloe dapat pekerdjaan. Extra diploma.
Dus, karena masjarakat kita beloem masak boeat mengadakan beroepsspelers, kita tegen. Bagaimana rasanja, bila soedah tidak terpaki lagi oentoek main bal, kembali kemasjarakat biasa. Seorang voetballer biasanja dipoedji-poedji dan ginding, karena kena tjilaka atau permainannja moendoer, sebab oemoernja naik laloe werkloos. Apa jang akan diboeat?
Penoetoep toelisan ini: Koetkanlah azas amateurisme, peganglah tegoeh-tegoeh amateurisme. sport tinggal sport, dan kesehatanlah yang ditoedjoe.
Esai diatas ditulis oleh salah seorang pengurus PSSI, sayangnya tak dicantumkan siapa yang menulisnya. Jujur saya senang dengan kalimat penutup dari esai diatas. "Koeatkanlah azas amateurisme, peganglah tegoeh-tegoeh amateurisme" dan keinginan si penulis itu mampu dipegang teguh oleh pengurus PSSI, toh sampai sekarang, meski sudah hidup di era profesionalisme, amateurisme masih hal yang selalu melekat di PSSI.
Komentar