Sebanyak 135 penonton meninggal dan puluhan lainnya mengalami luka-luka dalam Tragedi Kanjuruhan. Sementara upaya penyelesaian kasus ini penuh dengan keganjilan dan keluarga korban masih berjuang untuk mendapatkan keadilan, Arema FC akan tetap bermain di Liga 1 2023/24 meski harus berkandang di Stadion I Wayan Dipta, Gianyar, Bali.
Setelah Tragedi Kanjuruhan, banyak Aremania yang memutuskan untuk gantung syal dan memutuskan untuk tidak mendukung Arema FC sama sekali. Bahkan, ada yang memboikot Arema FC selamanya.
“Insha Allah selamanya. 135 korban meninggal bukan jumlah yang sedikit, dan ini yang menjadikan sepakbola sudah tidak menarik lagi bagi saya. Kalau boleh menengok ke belakang, masalah dualisme adalah awal saya mengurangi intensitas masuk ke stadion. Dari situ bisa dilihat sikap ketidakjelasan manajemen. Lalu ada momentum tragedi ini (Kanjuruhan) yang membuat tekad saya menggantung syal menjadi bulat,” kata salah satu Aremania bernama Prast saat bercerita kepada Panditfootball Oktober 2022 silam.
Laporan lengkap mengenai sikap Aremania pasca Tragedi Kanjuruhan itu bisa dibaca di sini.
Baca Juga:Sikap dari Malang: Bukan Hanya Gantung Syal, Bahkan Boikot Arema Selamanya
Sikap yang sama ditunjukkan oleh Arek Malang menjelang dimulainya Liga 1 2023/2024. Mereka enggan mendukung Arema FC dan lebih memilih bersolidaritas kepada keluarga korban Tragedi Kanjuruhan.
Ivo, salah satu Arek Malang yang kami wawancarai, mengatakan bahwa mayoritas Arek Malang kecewa dengan sikap klub yang terkesan apa adanya dalam merespon perkembangan penyelesaian Tragedi Kanjuruhan dan mereka lebih memilih peduli terhadap perkembangan hukum Tragedi Kanjuruhan dan terus berada di sisi korban terutama keluarga korban yang saat ini masih berjuang menuntut keadilan.
“Tanpa klub sepakbola bernama Arema pun, kami tetap AREMA [Arek Malang] yang bermental jantan dan ksatria. Kami tetap menyandang identitas Arek Malang yang kritis dan kreatif dalam menyikapi berbagai problema yang terjadi di Malang,” kata Ivo.
Ivo pun mengatakan bersolidaritas kepada delapan terdakwa yang ditahan buntut dari kerusuhan yang terjadi pada 29 Januari 2023 silam di kantor Arema FC.
“Terlepas dari latar belakang Ambon Fanda dan kawan-kawan yang ditangkap, kami jelas memilih bersolidaritas dengan mereka. Aksi yang dilakukan 8 kawan-kawan itu juga termasuk respon kekecewaan terhadap Arema FC. 8 kawan itu sudah menjalani 100 hari lebih masa penahanan, artinya mereka sudah sangat kooperatif terhadap pihak berwajib dan harusnya manajemen Arema sebagai pelapor bisa mencabut laporannya karena apa? Karena kerugian manajemen Arema FC tidak sebanding dengan kerugian para penyintas Tragedi Kanjuruhan di mana Arema FC harusnya menjadi titik acuan penanganan tragedi ini malah seolah pasif dalam pendampingan hukum kasus Tragedi Kanjuruhan,” jelasnya.
Ia pun menegaskan sudah cukup baginya dan kolega di sekitarnya untuk kembali lagi berkecimpung mengikuti liga Indonesia terutama mendukung Arema FC. Menurutnya, dengan mengambil pelajaran dari Tragedi Kanjuruhan, pengorbanan suporter dalam mendukung klub hanya seperti fatamorgana oase di padang gurun.
“Tampak terlihat menggairahkan di satu sisi tapi di sisi lainnya tidak terlihat sama sekali. Dalam arti, perjuangan kawan-kawan dalam mendukung tim yang terbalut dengan fanatisme, harga diri dan identitas kultur dan daerah tetap tidak akan terlihat berarti bagi para pemangku kebijakan klub, suporter hanya menjadi komoditas agar supaya pendapatan tim tetap berjalan sedangkan tidak ada jaminan keamanan dan keselamatan bagi para suporter,” tegasnya.
“Bagi saya sudah cukup, lebih baik fokus karier, hobi dan keluarga tak lupa tetap berjejaring dengan kawan-kawan sefrekuensi yang sampai saat ini terus mengupayakan keadilan bagi para korban Tragedi Kanjuruhan,” tutup Ivo.
Sementara dari sisi keluarga korban, saat ini mereka terus mengupayakan berbagai hal untuk mendapatkan keadilan. Mereka juga menolak rencana pembongkaran Stadion Kanjuruhan. Salah satu keluarga korban Tragedi Kanjuruhan yang namanya tidak ingin disebutkan, mengatakan bahwa mereka sudah mengirim surat audiensi kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Malang dan DPRD Kabupaten Malang terkait penolakan tersebut.
Ia juga mengatakan kecewa kepada Arema FC yang tetap bermain di tengah kondisi hilangnya 135 nyawa suporter dalam Tragedi Kanjuruhan.
“Saya pribadi kecewa banget ketika Arema FC ada 135 nyawa, ada tragedi yang besar seperti itu, tetapi mereka tetep haha hihi, tetep sepakbola, tetep kaya enggak ada apa-apa. Dan itu terbukti, maksudnya kemarin juga ada kaya doa bersama dihadiri anak yatim piatu dan keluarga korban Kanjuruhan. Narasinya kok jadi seperti mereka itu mengadakan doa bersama. Mereka itu tetep klub nirempati yang tetep haha hihi main sedangkan 135 nyawa sama mereka nggak dihiraukan,” ujarnya. Dalam Tragedi Kanjuruhan, ia kehilangan adik lelakinya yang berusia enam belas tahun.
Ia juga memaparkan bahwa keluarga korban sepakat untuk tidak meneriakkan jargon yang biasa dipakai pendukung Arema FC, yakni Salam Satu Jiwa (Sasaji) dalam aksi-aksi mereka.
“Biasanya tiap aksi kan yang buat teriakan selain narasi `hidup korban’ dan seterusnya [dengan] makai sasaji itu. Nah kemarin kita sepakat tidak memakai jargon itu. Lebih kayak rasa kecewa aja sama klub, jadi enggak mau nama mereka numpang terus. Lha wong mereka enggak pernah membersamai keluarga [korban] kok,” paparnya.
“Bahkan waktu itu sempat ada yang bilang ‘Salam Satu Jiwa’, terus dari keluarga protes. Ya kurang lebih wes nggak sasaji-sasajian [udah nggak sasaji-sasajian],” tutupnya.
Dinamika Pasca Tragedi
Pada Januari 2023 silam, melalui komisaris PT Arema Aremania Bersatu Berprestasi Indonesia (PT AABBI) Tatang Dwi Arfianto, ada potensi bahwa Arema FC memiliki opsi untuk bubar.
“Tapi jika dirasa Arema FC ini dianggap mengganggu kondusifitas, tentu ada pertimbangan tersendiri terkait eksistensinya atau seperti apa tapi kami tetap menyerahkan kepada banyak pihak,” ujar Tatang, pada Senin (30/1/2023) dilansir dari Detik.
Sehari sebelum Tatang mengatakan hal itu, terjadi kericuhan di kantor Arema FC setelah massa yang mengatasnamakan Arek Malang berdemo di kantor Arema FC yang berada di Jalan Mayjen Panjaitan 42, Malang. Buntut dari kericuhan itu adalah ditangkapnya ratusan orang yang diduga ikut dalam kericuhan. Sampai saat ini, delapan orang yang ditetapkan sebagai tersangka masih ditahan dan sedang menjalani proses persidangan.
Tim Advokasi Tragedi Kanjuruhan (Tatak) yang menjadi penasihat hukum bagi enam tersangka mengatakan bahwa enam terdakwa ingin bebas.
“Karena memang proses jalannya perkara ini kan menurut tim Tatak ini meninggalkan pertanyaan, karena baik pasal maupun orang-orang yang dijerat terdakwa itu sepertinya belum menyeluruh kalau memang itu dibilang kerusakan, apalagi penghasutan,” ujar Koordinator Tatak Imam Hidayat, Rabu (28/6/2023).
Imam memaparkan demo yang dilakukan pada 29 Januari 2023 silam merupakan langkah yang dijamin undang-undang.
“Karena apa yang mereka lakukan kan rangkaian dari Tragedi Kanjuruhan. Jadi tujuan dan maksud mereka itu demo ini sesuai dengan Undang-Undang Dasar dijamin, supaya manajemen ini ada, berdiri di barisan paling depan untuk memperjuangkan keadilan [bagi] 135 nyawa,” terang Imam.
Komentar