Polemik penundaan hak-hak pemain ditunaikan sudah menjadi isu rutin tiap musim. Baik yang dilaporkan secara resmi ke Asosiasi Pesepakbola Profesional Indonesia (APPI), dilaporkan secara tidak resmi, dan sebatas rumor masih saja terjadi berulang kali. Bahkan klub-klub yang sudah diperkarakan hingga ditangani badan arbitrase yang berwenang untuk menangani persengketaan di sepakbola atau National Dispute Resolution Chamber (NDRC), masih eksis berkompetisi di liga nasional.
Kasus terbaru, pemain Kalteng Putra bersuara mengenai gaji dan bonus mereka yang tertahan. Isu tersebut mulai bereskalasi sejak para pemain tuan rumah Stadion Tuah Pahoe itu mengunggah "Surat Pernyataan/Perjanjian", berbunyi tuntutan kepada manajemen klub untuk membayarkan hak pemain dan ancaman mogok melawan Persipura Jayapura, apabila klub tidak melunasi tunggakannya sebelum hari pertandingan, yang jatuh pada pekan keempat play-off degradasi Liga 2, Senin (22/1), di kandang Kalteng Putra.
Surat tersebut mengatasnamakan 28 pemain, 21 di antaranya terkonfirmasi mengunggah bentuk protes itu di Instagram pribadi masing-masing, 4 orang tidak mengunggahnya, dan 2 akun pemain dikunci (private). Sebenarnya perkara penundaan gaji ini telah melalui proses panjang usaha para pemain memperjuangkan pembayaran jasa mereka.
Menurut Riza Hufaida, legal APPI, awalnya lima pemain melaporkan tunggakan gaji mereka. Setelah berkonsultasi, APPI menyarankan pemain Kalteng Putra untuk memprosesnya secara internal bersama manajemen klub terlebih dahulu.
"Sebelum posting (surat pernyataan di Instagram), sudah ada laporan (dari) 5 orang pemain. Ya kita menerima laporan formal, tapi isu gaji ditunggak itu sudah sampai ke kita (sebelum ada laporan). Kita juga sudah menyarankan untuk proses internal dulu," jelas Riza kepada redaksi Pandit Football, hari Kamis (1/2).
Sebelum adanya surat pernyataan, pemain sudah berkali-kali mengusahakan komunikasi internal. Namun manajemen tidak kunjung memberi kejelasan. Ditambah seiring waktu berlalu, tunggakan gaji semakin banyak. Tanggapan yang diberikan manajemen justru meminta pemain menunggu keputusan CEO Kalteng Putra, yaitu Agustiar Sabran.
Merasa tidak ditanggapi, para pemain melayangkan dua surat kepada pihak klub, yaitu surat pernyataan dan surat kesepakatan berisi jaminan waktu bagi manajemen membayarkan tunggakan gaji pemain.
"(Pemain Kalteng sudah) berkali-kali meminta pembayaran gaji dan tidak kunjung dibayar, dengan alasan menunggu CEO. Makanya yang saya dengar dari pemain, mereka meminta audiensi dengan CEO di surat pernyataan tersebut," demikian keterangan CEO APPI, Hardika Aji, kepada redaksi Pandit Football pada Jumat (26/1).
Peringatan aksi mogok pemain pun tidak serta merta dilakukan. Sebelumnya sudah terjadi proses panjang, mulai dari upaya menjangkau manajemen dan CEO klub, hingga laporan resmi kepada APPI. Usaha meminta mediasi pun telah berkali-kali diajukan pemain. Sementara APPI juga telah turun tangan mewakili pemain berkorespondensi melalui surat resmi kepada manajemen Kalteng Putra yang sayangnya tidak berbalas.
"Aksi mogok bertanding yang kami lakukan telah kami beritahukan ke pihak Klub Kalteng Putra sejak tanggal 18 Januari 2024 sebelum bertanding melawan Persipura Jayapura tanggal 22 Januari 2024 dalam bentuk Surat Pernyataan/Perjanjian. Tetapi Klub Kalteng Putra menolak menandatangani surat tersebut yang akhirnya kami (pemain) posting di Instagram, yang berujung pada Laporan Polisi oleh Klub Kalteng Putra kepada kami," ungkap kapten tim, Shahar Ginanjar pada Jumat (2/2), dilansir dari laman resmi APPI.
Menjelang pertandingan kontra Persipura, sebenarnya pemain sempat berkompromi saat manajemen meminta mereka untuk turun ke lapangan, baru berdiskusi setelah pertandingan selesai. Namun usai peluit panjang, manajemen Kalteng Putra malah meninggalkan lokasi tanpa diskusi untuk membahas tuntutan pemain. Akibat tidak ada itikad baik dari manajemen, para pemain menyematkan Surat Pernyataan/Perjanjian di Instagram sebagai aksi protes.
Sejumlah 29 pemain pun kembali melaporkan kasus ini ke APPI untuk ditindaklanjuti secara hukum, pada Rabu (24/1). Berdasarkan pernyataan Aji, APPI lalu memprosesnya secara hukum dan mengirimkan surat elektronik kepada manajemen Kalteng Putra secara privat dan perdata.
Baca juga Kronologi Kasus Tunggakan Gaji Pemain Kalteng Putra
Insiden ini semakin berlarut-larut karena pada Kamis malam (25/1), manajemen melaporkan 23 pemain kepada Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah (Polda Kalteng). Menurut keterangan Jefriko Seran selaku kuasa hukum Manajer Kalteng Putra, Sigit Widodo, manajemen melaporkan aksi protes di media sosial itu sebagai pencemaran nama baik dan fitnah.
"Pemain mem-posting surat ke Instagram dan caption-nya menggiring opini publik bahwa manajemen Kalteng Putra tidak membayar gaji selama dua bulan. Seharusnya permasalahan itu tidak bisa langsung di-post dan menyebabkan kegaduhan publik. Ada prosedur penyelesaian secara keperdataan kalau mereka merasa dirugikan tidak digaji. Nah, sebenarnya itu hanya keterlambatan (dibayar gajinya) 15 hari," kata Jefriko dilansir dari kanal Youtube Tribun Kalteng News Video.
APPI menyayangkan tanggapan dari manajemen Kalteng Putra. Bukannya ditanggapi secara privat dan perdata antarpihak yang berselisih, manajemen justru memilih memperkarakan secara pidana atas dasar hukum Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang notabene pasal karet.
Terlepas dari reaksi warganet–yang di luar kontrol pemain–isi surat yang diunggah pemain pun bersifat netral tanpa menyebut berapa bulan penundaan gaji pemain, seperti yang dituduhkan. Adapun reaksi pemain yang mengangkat isu ini ke media sosial merupakan akibat dari sikap acuh tak acuh yang ditunjukkan manajemen.
"Sangat disayangkan ketika pemain mempertanyakan hak mereka, selalu dibawa ke ranah pidana. Sebelum ini, para pemain sudah minta difasilitasi manajemen untuk membuat kesepakatan, yang tidak direspon dengan baik. Kami telah mengirim surat tapi sampai mereka (manajemen) melaporkan (pemain) ke polisi, belum ada sanggahan atau tanggapan. Mereka menyanggah di depan publik, tapi secara perdata kami belum ditanggapi," jelas Aji kepada Pandit Football.
Lepas kejadian itu, pemain kembali mengultimatum bahwa mereka tidak akan melanjutkan pertandingan sampai manajemen membayar gaji. Meskipun demikian, mereka berkomitmen tetap tinggal di mess sampai selesai laga terakhir versus Persekat Tegal di Stadion Tuah Pahoe (3/2).
Lagi-lagi bukan memberikan penyelesaian, manajemen malah menginstruksikan pemain meninggalkan mess jika bersikukuh mogok, tanpa informasi pembelian tiket untuk tanding ke PSCS Cilacap. Laga tersebut akan berlangsung pada Sabtu (27/1). Akan tetapi kealpaan pemain di Stadion Wijaya Kusuma dipermasalahkan sebagai kelalaian. Buntutnya, Komite Disiplin (Komdis) PSSI menggelar sidang untuk mengadili 12 pemain pada hari Rabu (31/1) disusul 13 lainnya di hari Kamis (1/2).
"Itu yang terjadi. Kami (APPI mewakili pemain) menyurati, dan menanyakan, tapi tidak ada respon positif. Sehingga pada titik tertentu, ketika pemain bertekad untuk tidak bermain, yaa kami support. Hak mogok secara undang-undang juga diatur," kata Riza merujuk regulasi FIFA yang memperbolehkan terminasi kontrak apabila pemain tidak dibayar dua bulan. APPI menyampaikan kepada Pandit Football bahwa masalah gaji Kalteng Putra bervariasi antara satu sampai dengan tiga bulan.
"Bahkan ketika mogok, masih bisa berubah (pemain bisa saja batal mogok). Karena mereka siap berangkat kalau ada pembayaran (gaji) dan tiket dibelikan. Nah manajemen malah nyuruh bubar, mengancam tidak menjamin keselamatan mereka," tambah Riza.
Kabar terakhir, laporan kepolisian tidak dicabut dan Polda Kalteng sedang melakukan penyelidikan. Sementara di laman resmi Liga Indonesia Baru (LIB), perolehan poin Kalteng Putra di Grup D play-off menjadi -5 setelah dikurangi 9. PSCS Cilacap menang walkout (WO) 3-0 atas Kalteng Putra dan belum ada pembaruan data terkait Kalteng Putra yang absen melawan Persekat, per 5 Februari 2024.
Kamis (1/1), Federasi Internasional Asosiasi Pesepakbola Profesional (FIFPRO) menyatakan dukungan atas laporan penunggakan gaji 29 pemain. Dilansir dari laman resmi APPI, FIFPRO meminta PSSI segera mengintervensi guna menyelesaikan masalah tunggakan gaji dan menghentikan tindakan yang sangat tidak profesional dan tidak terpuji dari Klub Kalteng Putra.
"Kami sudah minta dukungan FIFPRO. (Terkait laporan klub ke polisi) sebagai warga negara yang baik ya ikuti proses. Kami belum mendengar pencabutan laporan. Kami juga belum mendengar reaksi PSSI. Padahal sebagai induk Kalteng Putra, PSSI mestinya `menjewer` kalau tidak ingin PSSI disanksi," demikian keterangan Riza.
Dilansir dari Bola.com, Komite Eksekutif PSSI, Arya Sinulingga, sudah bersuara menanggapi kasus Kalteng Putra. “Langkah pertama yang paling dekat kita minta supaya PT LIB menahan subsidi yang diberi kepada klub. Kedua, kami akan melakukan mediasi antara Kalteng Putra dan pemain, supaya bisa diselesaikan masalahnya,” jelas Arya pada Jumat (2/2). Subsidi untuk klub Liga 2 ialah sebesar Rp1,25 miliar dengan termin tujuh kali pembayaran.
Lagu Lama, Musim Baru
APPI juga menegaskan bahwa kasus keterlambatan gaji pemain Kalteng Putra bukan lagi barang baru. Musim lalu saja (2022/2023), ada 19 orang yang masih ditunggak gajinya dan mediasinya sudah terputus. Bahkan ketika sudah diputuskan NDRC, Kalteng Putra belum menjalankan keputusan tersebut.
Artinya butuh ketegasan dan kebijaksanaan federasi dalam melihat kasus ini, tidak sekadar menghakimi aksi mogok dan melabeli pemain melalaikan kewajiban. Belum lagi masalah pihak klub melaporkan pemain ke polisi, padahal PSSI punya statuta dan kode disiplin yang mengatur bahwa masalah sepakbola diselesaikan dalam lingkupnya, yaitu NDRC.
"(Setelah ada keputusan NDRC) sudah jadi kewenangan PSSI. Tapi malah (klub bermasalah) tetap bisa ikut kompetisi. Itu yang saya tekankan, jangan ditolerir hukum begini. Apalagi nyuruh main dulu (tanpa kejelasan pembayaran gaji)," ungkap Riza menyayangkan sikap permisif dalam verifikasi pendaftaran liga.
Jika melihat kasus ini dengan lebih luas, perkara gaji memang sudah sering sekali terjadi di Liga 2. APPI pun membenarkan perihal laporan yang masuk kebanyakan dari Liga 2 dan Liga 3, meskipun tidak menafikan kenyataan bahwa rumor masalah gaji di Liga 1 juga berseliweran.
Memasuki musim ini, APPI pernah mengangkat perihal gaji di Persikab Bandung. Aji menuturkan kepada Pandit Football mengenai gaji pemain Persikab untuk musim lalu yang hanya sekitar 40-45% dibayarkan. Selain itu, musim lalu ada laporan sekitar lima puluh pemain yang gajinya macet, khususnya dari klub Persikab dan PSKC Cimahi. “Belum Kalteng, Persijap, dan masih banyak,” tambah Riza kepada Pandit Football sebelum Liga 2 bergulir (29/8/23).
Baca juga Tunggakan Gaji Musim Lalu Oleh Klub: Warisan Problem Liga 2 di Depan Mata
Menurut APPI, alasan minim laporan dari Liga 1 adalah faktor ketimpangan gaji. Pemain Liga 2 masih ada yang dibayar di bawah upah minimum. Keterlambatan gaji berarti kebutuhan hidup yang semakin mencekik. Sementara gaji yang relatif tinggi di Liga 1 membuat pemain masih bisa menahan diri untuk protes ketika gaji mereka terlambat karena masih punya simpanan untuk sehari-hari.
"Terus, mungkin ada unsur ketakutan. Kalau masih sebulan masih bisa lah (memenuhi kebutuhan hidup) meskipun pas-pasan. Daripada lapor nanti ribut malah gak dibayar. Yang harus dibedakan itu Liga 1 gajinya relatif lebih besar, masih bisa bertahan dari gaji sebelumnya," jawab Riza menanggapi alasan jarang ada laporan resmi dari pemain Liga 1.
Maksud dari laporan resmi kepada APPI adalah laporan untuk dibuatkan surat kuasa sehingga APPI dapat mewakili pemain dalam menyelesaikan masalah. Sementara itu, laporan tidak resmi biasanya pelapor hanya meminta konsultasi APPI dan masih menjalankan kasusnya sendiri.
Berdasarkan pembaruan yang dimuat laman resmi APPI, terdapat 7 klub dan 44 pemain yang berkasus dalam kompetisi Liga 2 musim 2023/2024. Masalah pelanggaran kontrak oleh klub meliputi penunggakan gaji, pemutusan kontrak sepihak, pemutusan kontrak karena cedera, pemotongan gaji karena cedera, tidak bertanggung jawab atas perlindungan pemain yang cedera, dan ketidaktahuan peraturan perekrutan pemain asing.
Kasus yang serupa dengan pemain Kalteng Putra pernah dialami mantan pemain Persikabo asal Brazil, Alex dos Santos. Dia memenangkan sidang Ketenagakerjaan FIFA atas kasus penahanan 75% gajinya selama pandemi Covid-19 oleh Persikabo. Namun saat hendak memperpanjang visa dan butuh persetujuan, pihak klub menolaknya. Alex menceritakan perkara itu di Instagram, tapi malah dilaporkan Persikabo ke polisi atas dasar fitnah.
Alex kemudian merelakan sekitar Rp840 juta agar presiden klub mencabut laporannya ke kepolisian di akhir tahun 2021. Manajemen Persikabo pun membatalkan tuntutan kepada Alex.
Ketika penyerang yang kini bermain untuk Jequié itu kembali ke Brazil, FIFPRO dan pengacaranya bersuara atas ketidakadilan yang dilakukan Persikabo. Bersama FIFPRO, Alex kembali menuntut haknya yang tertahan. Dia kembali memenangkan kasus perselisihan gajinya. Akibatnya Persikabo dihukum larangan transfer. Presiden klub juga dituntut melunasi gaji Alex yang pada akhirnya selesai dicicil pada Juli 2022.
Benahi Verifikasi dan Tegakkan Aturan
Jika menengok ke Liga 1, isu-isu keterlambatan gaji terlihat seperti paradoks. Di satu sisi, ada kontrak mahal bernilai ratusan juta yang bahkan terhitung tinggi jika dibandingkan dengan liga domestik lain yang lebih mapan. Di sisi lain, ada penunggakan gaji yang dialami pemain-pemain Liga 1 sampai hitungan bulan.
Contohnya seperti yang pernah terang-terangan diungkapkan pelatih PSM Makassar, Bernardo Tavarez. Bulan Desember 2023 lalu, anak asuhnya dikabarkan belum menerima gaji dua sampai tiga bulan. Sementara staff PSM lain ada yang belum menerima haknya sampai lima bulan.
Masalah gaji juga sempat dibenarkan CEO PSIS Semarang, Yoyok Sukawi dalam kanal Youtube pribadinya (31/12/23). PSIS kemudian menyiasatinya dengan mencicil gaji pemain tertentu dengan nominal yang sangat besar. Yoyok mengatakan bahwa cicilan yang dibayarkan sudah memenuhi biaya hidup selama satu bulan.
Baca juga Nilai Kontrak Tinggi Tapi Ada Kasus Tunggakan Gaji
Terlepas masih rumor atau kasus resmi di laporan APPI, baik PT LIB sebagai penyelenggara liga maupun PSSI sebagai induk sepakbola nasional, seharusnya gencar menginvestigasi prahara kebutuhan dasar klub-klub peserta kompetisi. Secara prinsip, idealnya tidak ada toleransi bagi klub yang tidak memenuhi profesionalitas untuk mengikuti kompetisi, salah satunya tentu masalah kesehatan keuangan.
Jika verifikasi dilakukan secara tegas, insiden pemenuhan hak-hak pemain tentu tidak lagi menuai episode baru di musim yang akan datang. Begitu pula ketika ada persoalan. Penyelesaian harus diurus dalam lingkup sepakbola terlebih dahulu.
"Kasus-kasus melibatkan ini (sepakbola), jangan dibawa pidana ke polisi. Itu kan justru mengingkari komitmen. Selesaikan dulu lewat NDRC. Lapor polisi adalah langkah yang salah kaprah bahkan bisa membahayakan PSSI sendiri, karena bisa disanksi," tutup Riza.
Komentar