Guti Hernandez, Sang Legenda yang Tak Bisa Mengikat Hati Para Madridista

Backpass

by Redaksi 24 31300

Redaksi 24

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Guti Hernandez, Sang Legenda yang Tak Bisa Mengikat Hati Para Madridista

Dibandingkan dengan Raul Gonzales dan Iker Casillas, sosok Jose Maria Gutierez Hernandez atau pemain yang karib disapa Guti itu banyak dianggap sebagai figuran dari kelompok Pavones (sebutan untuk para pemain lulusan dari akademi Real Madrid), di era Los Galacticos pertama. ‘Musuh’ Pavones adalah Zidanes (para pemain bintang yang dibeli dalam proyek Galacticos) yang berhasil memberikan kejayaan bagi Madrid di era 1990 hingga 2000-an.

Saat ini, Guti memang disebut sebagai legenda bagi publik Santiago Bernabeu, namun pamornya tak lebih hebat dari Raul sang Pangeran dan Casillas sang penerus tahta yang pada akhirnya lengser juga.

Meski begitu Guti tetaplah sosok yang melegenda, kariernya di Santiago Bernabeu berlangsung hingga kurang lebih 25 tahun lamanya (1986-2010). Dalam rentang waktu tersebut Guti telah melakoni 542 pertandingan di semua ajang. Dari catatan penampilannya, Guti membukukan 77 gol, 59 asis, dan menyumbang total 15 trofi bagi Los Blancos. Sebelum memutuskan hijrah ke Besiktas pada 2010 lalu, nama Guti pun tercatat sebagai pencetak gol ke-5000 Real Madrid di La Liga dan gol ke-500 di Liga Champions.

Guti merupakan pesepakbola asli Madrid, ia lahir di Torrejon de Ardoz. Sejak kecil Guti sebenarnya bukanlah anak yang terlalu menggemari sepakbola, olahraga favoritnya adalah tenis. Namun kedua orangtuanya lebih menyukai Guti bermain sepakbola. Pada usia delapan tahun ia pun dimasukkan ke Akademi Real Madrid pada 1986.

Meski begitu, Guti tetap menikmati perannya sebagai seorang pesepakbola, saat itu posisinya adalah sebagai penyerang. Secara bertahap, kemampuan olah bola Guti terus meningkat, secara linear karier Guti di Madrid terus menanjak. Ia berhasil menembus skuat utama di tim C dan B Real Madrid. Pada tahun 1995, ia akhirnya promosi ke tim utama.

Debut profesional Guti bersama Madrid terjadi pada 2 Februari 1995, saat Madrid mengalahkan Sevilla 4-1 di Santiago Bernabeu. Dalam laga tersebut Guti memulai pertandingan dari bangku cadangan, ia masuk menggantikan Jose Amavisca pada menit 60. Meski tidak mencetak gol atau pun asis yang dibukukan dalam debutnya itu, namun permainan Guti mampu memikat Jorge Valdano yang saat itu menjabat sebagai pelatih Los Blancos.

Tapi saat itu Guti masih berusia sangat muda, hingga kesempatan bermain di tim utama pun tidak terlalu banyak ia dapatkan. Terlebih saat tampuk kepemimpinan beralih ke Vicente del Bosque, yang kemudian beralih ke Arsenio Iglesias, Fabio Capello, Jupp Heynckes, Jose Antonio Camach, Guus Hiddink, dan John Toshack.

Namun ketika Del Bosque kembali dipercaya menangani Madrid pada 1999, Guti yang sudah jauh lebih matang pun mendapatkan kepercayaan yang lebih banyak untuk bermain di lini tengah Madrid. Pada musim 2000/2001, Madrid harus kehilangan Fernando Morientes yang merupakan tandem ideal Raul di sektor penyerangan Madrid kala itu, akibat cedera.

Del Bosque menunjuk Guti untuk menggantikan peran Morientes. Guti mampu menjawab kepercayaan tersebut dengan mencatatkan 14 gol dalam semusim, yang merupakan rekor gol terbanyak Guti selama membela Real Madrid hingga tahun 2010. Lebih spesial karena Guti juga mampu menjadi aktor penting keberhasilan Madrid merebut gelar ke-28 La Liga dan gelar ke-9 Liga Champions.

Potensi yang Meredup Akibat Ambisi dari Proyek Galacticos

Melihat klinisnya penampilan Guti pada musim 2001/2002, membuat banyak orang memprediksi bahwa Guti akan menjadi tandem sepadan bagi Raul di lini depan pada musim berikutnya. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Masih dalam pengembangan proyek Los Galacticos jilid pertama, Ronaldo da Lima berhasil diboyong Madrid dari Inter Milan pada tahun 2002, posisi Guti dikembalikan ke tengah, yang membuat namanya berada di bawah bayang-bayang Zinedine Zidane sebagai jenderal lapangan tengah Madrid.

Namun Guti tidak terlalu peduli, ia tetap menjalankan perannya dengan maksimal meski pun yang lebih dielu-elukan penggemar adalah sosok Zidane. Pada tahun 2006, Zidane akhirnya pensiun. Sebuah jalan bagi Guti untuk bisa mengambil alih peran yang selama ini ia idam-idamkan. Namun para penggemar ragu untuk melihat Guti bisa menjadi suksesor Zidane, maklum penampilan Guti kala itu masih angin-anginan, dan lebih sering menjadi pemain pengganti kala itu.

Kebanyakan penggemar lebih senang untuk melihat David Beckham menjadi suksesor Zidane. Guti yang mulai mendapatkan lebih banyak menit bermain selepas kepergian Zidane pun lebih diharapkan para penggemar untuk memainkan peran seperti halnya Clarence Seedorf, saat masih membela Madrid. Guti pun merasa bahwa itu adalah permintaan yang sulit untuk ia lakoni.

"Semua kesempatan datang mendekati saya. Saya merasa sangat senang bermain sebagai gelandang, namun Zidane akhirnya tiba dan merebut posisi itu. Kemudian saya bermain sebagai penyerang, dan saya menikmatinya, tapi akhirnya Ronaldo pun tiba. Saya berada di tim nasional sebagai gelandang dan Beckham pun hadir,” katanya pada 2003 lalu, seperti dikutip dari These Football Times.

Melihat pernyataan tersebut, bisa disimpulkan bahwa kehadiran pemain-pemain bintang di Santiago Bernabeu menghambat perkembangan kariernya bersama Real Madrid. Sebab setiap posisi potensial yang bisa ia mainkan, selalu diambil oleh para bintang yang masuk di era Galacticos pertama. Kondisi yang membuat Guti semakin tidak nyaman, ketika ia lebih sering dibangku cadangkan saat era kepelatihan Fabio Capello di musim 2005/2006.

Guti dianggap sebagai sosok yang lebih sering merusak skema permainan bila diturunkan sejak awal, hal itu yang membuatnya lebih sering dijadikan sebagai super-sub, karena turun dari bangku cadangan lebih membuat Guti memiliki kontribusi yang bagus bagi tim. Kondisi tersebut membuat Guti semakin hilang kendali, dalam pertandingan ia lebih sering menunjukkan sikap temperamen dan para penggemar tidak menyukai itu.

Pada tahun 2008, santer digosipkan bahwa Guti memiliki perilaku seks menyimpang. Gosipnya, ia tidak hanya menyukai perempuan, namun juga ia penyuka sesama jenis. Isu tersebut merebak setelah sebuah foto yang ditayangkan majalah Cuore menangkap momen kemesraan Guti bersama salah seorang yang diduga adalah pria. Padahal saat itu Guti diketahui sudah memiliki seorang istri dan dua orang anak.

Melalui wakilnya, Zoran Vekic, Guti membantah dirinya adalah seorang transeksual. Menurutnya, orang yang dia cium itu bukan laki-laki, melainkan perempuan yang tak lain adalah adiknya sendiri. Kejadian tersebut terjadi saat ia hadir dalam perayaan kecil keluarganya yang menyambut kabar bahagia bahwa adiknya itu hamil. Merasa nama baiknya tercemar oleh foto tersebut, maka ia pun melayangkan gugatan kepada Cuore.

Namun isu soal perilaku seks Guti yang menyimpang malah membuat para suporter Madrid memiliki celah untuk memberikan ejekan kepadanya. Saat Madrid bentrok dengan Sevilla pada tahun 2009, Guti terlihat terlibat ketegangan dengan salah satu pemain Sevilla. Kabarnya ia sampai meludahi pemain tersebut. Kala itu Guti terprovokasi karena permainan keras lawan, dan seruan suporter tuan rumah yang mengejeknya dengan sebuah lagu yang dengan memelintir namanya dengan kata `Puti`, yang berarti pelacur dalam Bahasa Spanyol.

Janji Setia untuk Real Madrid

Pada tahun 2010, Guti memilih hijrah ke Besiktas, namun kepergiannya seolah dibiarkan. Satu hal yang kurang adil bagi pemain yang telah memberikan segalanya bagi klub. Setidaknya selama bertahun-tahun Guti menjadi wakil Raul sebagai kapten. Selain itu, ia telah melakoni lebih dari 500 penampilan untuk Madrid.

Guti tidak pernah bisa merebut hati para fans Madrid. Meski ia memiliki emosi yang tidak stabil, namun Guti tetaplah legenda yang patut mendapat penghormatan di Bernabeu. Guti bahkan merupakan representasi Pavones yang mampu bertahan di tengah badai kegemilangan para pemain bintang yang silih berganti tiba di Bernabeu. Meski harus diakui, bahwa pada akhirnya ia menyerah dan mengikuti jejak Sang Raja, Raul Gonzales, untuk meninggalkan Istana Bernabeu.

Meski begitu, Guti tetap menaruh cinta yang dalam kepada klub yang telah membesarkan namanya itu. Setelah mengumumkan pensiun dari sepakbola, Guti pun mengambil peran sebagai pelatih di Akademi Real Madrid. Saat ini, ia tercatat sebagai asisten pelatih di tim pemuda Los Blancos. Mimpi terbesarnya adalah meraih kesuksesan bersama Madrid dengan status sebagai pelatih di tim senior.

Kurang lebihnya, Guti ingin mengikuti pencapaian yang berhasil ditorehkan Zinedine Zidane yang sukses menggenggam kesuksesan bersama Madrid saat masih menjadi pemain dan pelatih pada saat ini. Potensinya sangat terbuka lebar bagi Guti untuk mengikuti langkah mantan pesaingnya itu di lini tengah Madrid dulu.

"Saya mengatakan ini sebagai seorang penggemar Real Madrid, kami menginginkan Zidane tetap menjadi pelatih selama beberapa tahun ke depan. Saya akan terus berusaha agar saya bisa seperti Zidane. Saya memiliki cita-cita untuk meraih hasil terbaik bersama Madrid di masa depan. Saya akan sangat bodoh jika mengatakan melatih tim utama bukanlah target karier saya saat ini. Akan tetapi, saya masih jauh untuk berada di garis depan,” tegasnya seperti dilansir Marca.

Sumber: These Football Time dan Marca

Foto: Bleacher Reports, Euro Sport, Istimewa

Komentar