“Tolong jangan panggil saya arogan, karena ini memang benar. Saya adalah juara Eropa dan saya pikir saya adalah The Special One." Pernyataan semacam itu hanya mungkin keluar dari mulut José Mário dos Santos Mourinho Félix, alias José Mourinho.
Pernyataan yang kemudian menjadi kutipan Mourinho paling terkenal itu keluar di sesi konferensi pers saat yang bersangkutan baru ditunjuk menjadi manajer Chelsea. Kutipan itu kemudian mengubah banyak hal. Media-media di Inggris begitu riang. Kilatan lampu kamera bergantian menyala, sambut-menyambut selama beberapa lama, hanya beberapa detik setelahnya.
Tak sampai menunggu hari berikutnya, The Special One langsung jadi tajuk utama media-media. Jumpa pers menjadi begitu menarik karena tak lagi berisi basa-basi. Para pemburu berita dan pembacanya sama-sama selalu menunggu apa yang akan keluar dari mulut pria kelahiran 26 Januari 1963 tersebut.
Menjuluki diri sendiri dengan sebutan The Special One memang terkesan arogan. Tapi memang begitulah caranya bekerja dan dikenal hingga sekarang. Pria kelahiran Setúbal, Portugal, 26 Januari 1963 ini mungkin baru dikenal begitu luas ketika menjadi manajer Chelsea karena jangkauan dan jumlah pemberitaan media. Tapi kehebatannya sudah terbukti sebelum itu.
Paling mengejutkan adalah saat ia berhasil membawa FC Porto menjadi juara Liga Champions UEFA 2003/04; mendobrak tradisi juara dari nama-nama besar di era Liga Champions modern, termasuk mengalahkan Manchester United lewat drama menit-menit akhir.
Pada saat itu, di babak 16 besar, Porto memenangi pertandingan leg pertama dengan skor 2-1. Tapi banyak prediksi mengatakan bahwa United di bawah Alex Ferguson akan mampu membalikkan keadaan saat leg kedua di Old Trafford. Narasi tersebut kelihatannya akan jadi kenyataan. Hingga 90 menit, Man United masih unggul 1-0 – dengan agregat sementara 2-2, Man United yang akan lolos ke fase berikutnya berkat keunggulan gol tandang.
Memasuki menit ke-91, berawal dari tendangan bebas, Costinha berhasil mencetak gol dari bola muntah Tim Howard. Mourinho merayakan gol tersebut dengan brutal, berlari dengan girang di pinggir lapangan sambil terus melompat melewati depan bangku cadangan lawan, melewati Ferguson yang duduk tertunduk, lesu menyadari peluang lolos timnya menguap.
Baca juga: Nostalgia Mourinho Bersama Porto
Gelar Liga Champions musim 2003/04 semakin melengkapi kejayaan Mourinho di FC Porto; sebelumnya ia berhasil meraih trigelar (treble), termasuk menjuarai Piala UEFA 2002/03 yang menjadi trofi Eropa pertama Mourinho. Hanya butuh waktu dua tahun baginya untuk meninggalkan jejak sejarah era terbaik kesebelasan asal Portugal tersebut.
Meski banyak yang kemudian terkejut, sebenarnya apa yang Mourinho raih di Porto memang sudah sesuai rencana. Rui Tovar, jurnalis Portugal, di bukunya Almanaque do FC Porto, menyebut bahwa pada sesi presentasi awal, Mourinho dengan segala detil serta argumennya memang sudah berjanji akan membawa banyak gelar untuk Porto.
Kemampuan analisis dan melakukan aksi berdasarkan data adalah kelebihan Mourinho. Hal tersebut dikuasai karena ia bukan seorang pemain besar sebelumnya. Benar bahwa semasa muda Mourinho aktif bermain sepakbola, tapi ia tak sebaik sang ayah, Felix, seorang penjaga gawang profesional yang juga sempat mengenakan seragam timnas Portugal.
Mourinho mengawali karier di dunia kepelatihan dengan menjadi penerjemah Bobby Robson, seorang manajer Inggris yang tak bisa berbahasa Portugis, di Sporting Lisbon. Di sini bakatnya sudah mulai terlihat. Sebagai penerjemah, Mourinho tidak hanya menjadi alih bahasa dari Inggris ke Portugis dan sebaliknya, tetapi juga memberi penekanan tertentu sehingga apa yang keluar dari mulut Robson tak hanya menjadi terjemahan kata, tapi makna.
Kemampuan linguistik tersebut didapat dari pengalamannya mengajar sebagai seorang guru. Di sini pula kemudian kita tahu kenapa Mourinho begitu pandai memanfaatkan kata-kata.
“Dia (Mourinho) selalu berdiri di belakangku. Mendengar, belajar, melihat, mencatat, dan terus mengingat,” ujar Robson berkisah di film dokumenter The Greatest Manager. Seiring berjalannya waktu, kemampuan Mourinho melatih sepakbola ikut meningkat.
Ketika kemudian Bobby Robson pindah ke FC Porto, sebagai anak kesayangan, Mourinho ikut dibawa. Robson terus membawa Mourinho bahkan sampai ke Barcelona. Pangkat Mourinho naik, tak lagi hanya sebagai pelengkap, tapi juga bagian penting dengan sebagai asisten pelatih.
Mourinho bertugas menyiapkan segala hal sebelum pertandingan seperti analisis lawan, membuat rencana taktik, hingga memimpin latihan. Meski begitu, julukan penerjemah masih melekat kuat karena kemampuan berbahasanya paling baik di antara semua anggota tim.
Saat Robson memutuskan hengkang dari Barcelona, Mourinho tetap dipertahankan untuk jadi pendamping sang pengganti, Louis van Gaal.
Baca juga: Natal, Pep, dan Mourinho
Bagaimana juga, Mourinho ia tetap seorang manusia biasa. Kegemarannya berbicara kadang tak sebanding dengan ego besar yang ada dalam dirinya. Konon ini juga yang menjadi penyebab kenapa saat pemilihan pelatih Barcelona pada 2008, Mourinho yang seorang kandidat kuat akhirnya tak jadi dikontrak. Pihak kesebelasan kemudian memilih untuk mempromosikan Pep Guardiola, pelatih tim B, ke tim utama.
Ego besar juga yang membuat Mourinho hanya bisa menyelesaikan sembilan pertandingan di Benfica, jabatan pertamanya sebagai seorang pelatih kepala. Ia berselisih paham dengan para petinggi kesebelasan, mulai dari pemilihan asisten pelatih hingga soal kesepakatan kontrak.
Mulut besarnya, meski kerap menjadi kontroversi, harus diakui juga disenangi oleh banyak orang.
“Dia (Mourinho) sungguh terorganisir, banyak hal yang ia katakan menjadi kenyataan” ucap Frank Lampard pada wawancaranya bersama Chelsea FC. “Menurutku, dia memberi dimensi baru pada konferensi pers, membuat kita bersemangat sebelum pertandingan. Itu dilakukan demi membela kami di garis depan untuk tujuan akhir, yaitu menang."
Pendekatan yang dilakukan oleh Mourinho memang cenderung pragmatis, dilakukan untuk satu tujuan yakni menang dan kemudian menghasilkan gelar juara di akhir. Semua itu dilakukannya pada nyaris semua aspek, mulai dari persiapan di luar dan dalam lapangan hingga cara bertanding.
Bahkan karena hal itu, José Mourinho juga dikenal sebagai pelatih dengan taktik parkir bus. Paling terkenal tentu saat ia bersama Inter Milan melawan Barcelona di Camp Nou pada semifinal leg kedua Liga Champions 2009/10.
Menang pada leg pertama 3-1, Inter hanya butuh menahan tak kebobolan 2 gol agar bisa menang. Mourinho kemudian menumpuk para pemainnya di belakang. Sepanjang 90 menit, Barcelona terus membombardir gawang Julio Cesar.
Mourinho, berdasarkan analisisnya, tahu bahwa lawannya malam itu tak pandai memanfaatkan umpan silang dan duel udara. Aliran bola dari tengah ditutup dan karena itu sisi sayap menjadi longgar, tapi tak jadi soal karena, sekali lagi, Barcelona tak pandai memanfaatkan umpan silang dan duel udara.
Semua orang yang menyaksikan tahu saat itu apa yang terjadi. Inter Milan kalah 1-0 tapi tetap melaju ke final karena menang agregat. Inter Milan sepanjang pertandingan tidak sekali pun melepaskan tembakan ke gawang lawan. Bayangkan saja, di sebuah partai semifinal di kompetisi bergengsi, ada sebuah kesebelasan yang tak bisa (atau tak mau) sekali saja melepaskan sebuah tembakan ke gawang lawan.
Baca juga: Parkir Bus adalah Nonsense
Banyak orang yang memuji sekaligus mencela strategi Mourinho ketika itu. Tapi siapa yang peduli jika kemudian akhirnya Inter Milan menjadi juara Liga Champions dan menutup musim dengan trigelar.
Hingga kini, sudah delapan kesebelasan ia tangani sebagai seorang manajer. Tak kurang dari 25 trofi bergengsi berhasil diraih dalam 17 tahun kariernya.
Mulut besarnya juga tak henti mengeluarkan kata-kata kontroversial, tapi sekarang kita tahu kenapa Mourinho melakukannya: karena memang dia perlu, dan kita sendiri juga mau.
Komentar