“Thousands of candles can be lighted from a single candle, and the life of the candle will not be shortened. Happiness never decreases by being shared.” —Buddha
Sepakbola adalah lilin pertama yang menyala, serta berhasil menyalakan lilin-lilin lain di sekitarnya. Ketika sebuah pertandingan sepakbola digelar, maka yang akan terjadi adalah riak kebahagiaan yang membanjiri seisi stadion. Bahkan rasa bahagia itu sudah muncul satu jam sebelum sepak mula, yakni saat susunan pemain resmi dirilis.
Ketika PBB menetapkan tanggal 20 Maret sebagai Hari Kebahagiaan Internasional, maka sesungguhnya setiap hari pertandingan adalah hari yang membahagiakan bagi pecinta sepakbola.
Perjalanan manusia dalam kehidupan ini diawali tangisan lalu diakhiri oleh kematian. Itulah mengapa kebahagiaan mutlak diperlukan dalam kehidupan setiap insan. Tentunya akan sangat merugi, jika hidup yang relatif singkat ini hanya diisi dengan ratapan demi ratapan. Sepakbola diyakini sebagai medium yang tepat untuk mengubah ratapan itu menjadi sesuatu yang membahagiakan.
Kisah Bradley Lowery jadi contoh bahwa sepakbola mampu mengubah ratapan menjadi senyuman. Saat ia cetak gol ke gawang Chelsea sebelum sepak mula antara Sunderland melawan Chelsea pada 15 Desember 2016, ia tampak seperti bocah sehat pada umumnya. Padahal saat itu Bradley sedang berjuang melawan neuroblastoma, penyakit kanker yang menyerang sistem syarafnya sejak masih berusia 18 bulan. Namun kanker itu tidak serta merta merenggut kebahagiaannya. Senyum sumringah seketika terpancar tiap kali si bocah menyaksikan Sunderland berlaga.
Sejahtera Berkat Sepakbola
Meski Hari Kebahagiaan Internasional baru ditetapkan PBB pada 2012 dan dirayakan pertama kali tahun 2013, tetapi hak atas kebahagiaan sudah melembaga secara politik sejak abad ke-18. Adalah deklarasi kemerdekaan negara Amerika Serikat pada 4 Juli 1776 yang mencantumkan “mengejar kebahagiaan” sebagai hak yang tak dapat direnggut oleh sesama manusia. Gagasan perihal menjamin warga negara untuk dapat hidup bahagia kemudian menginspirasi negara-negara lain termasuk Indonesia.
Melalui teks pembukaan UUD 1945, pemerintah negara Indonesia bertujuan untuk memajukan “kesejahteraan umum”. Menurut Franz Magnis-Suseno dalam buku berjudul “Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern”, memajukan kesejahteraan umum mengharuskan terjaminnya keseluruhan prasyarat sosial yang memungkinkan atau mempermudah manusia untuk mengembangkan semua nilainya, atau sebagai penjumlahan semua kondisi kehidupan sosial yang diperlukan agar masing-masing individu dan kelompok-kelompok masyarakat dapat mencapai keutuhan atau perkembangan mereka dengan lebih utuh dan cepat.
Negara berfungsi menciptakan syarat dan kondisi serta infrastruktur yang harus tersedia agar warga negaranya punya akses yang cukup untuk memperoleh kesejahteraannya. Pengertian tentang kesejahteraan umum sendiri dapat dilihat dari tingkat pendapatan suatu negara dan distribusi ekonomi di antara masyarakat.
Ketika seseorang mencapai taraf sejahtera, di situlah kepuasan dalam dirinya muncul dan menghasilkan suatu kondisi bahagia. Itu sebabnya, faktor pendapatan kerap digunakan sebagai variabel utama dalam metodologi pengukuran indeks kebahagiaan.
Sudah banyak kisah yang membuktikan bahwa sepakbola menjadi sarana individu untuk meningkatkan kesejahteraan. Sebelum Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi menggapai sukses di bidang olahraga sepakbola, mereka adalah pemuda miskin yang kehidupannya jauh dari kata sejahtera.
Di Indonesia sendiri, ada sepenggal kisah menarik tentang sepakbola yang jadi sarana untuk meningkatkan kesejahteraan sosial. Di sebuah desa bernama Klagen yang letaknya berada di barat laut kota Sidoarjo, kultur sepakbola begitu kental di sana. “Sepakbola sudah menjadi bagian kehidupan masyarakat Klagen. Sepakbola juga menjadi sumber motivasi anak-anak Klagen dalam menjalani kehidupan”, ujar sesepuh sepakbola Klagen bernama Slamet.
Tentang masyarakat Klagen yang menggemari sepakbola, dituturkan dengan baik oleh Miftakhul Faham Syah dalam buku berjudul “Mencintai Sepakbola Indonesia Meski Kusut”. Oleh karena sepakbola sudah turun-temurun, tak heran bila banyak pemuda asal Klagen yang menjadi pesepakbola profesional dan menjadi pemain tim nasional.
Uston Nawawi, Arif Ariyanto, Lucky wahyu, dan Hariono adalah segelintir nama yang pernah membela merah-putih. Uniknya, beberapa pemain dulu lahir dan tinggal di gang yang sama. Uston, Lucky, dan Arif pernah tumbuh besar di gang yang sama yakni Gang Nyi Pasek. Rumah masa kecil Arif dan Lucky bersebelahan dan berhadap-hadapan dengan rumah milik Uston.
Sepakbola juga yang membuat mereka sejahtera secara ekonomi. Jika dulu Uston hanya memiliki sepeda angin, kini ia telah membeli rumah megah di pusat kota Sidoarjo. Uston juga memiliki dua tempat usaha. Ia mengelola restoran bersama istrinya di Sidoarjo dan punya bengkel bubut di kampungnya, Klagen.
Nasib Hariono tidak jauh berbeda dengan Uston. Gelandang enerjik milik Persib itu dulu hanyalah buruh di gudang, tapi kini ia telah memiliki sebuah tempat usaha di Bandung. Hariono yang awalnya hanya dikontrak 10 juta rupiah semusim kala masih berkostum Deltras Sidorajo, di Persib nilai kontraknya sudah mencapai 800 juta rupiah semusim.
Dengan apa yang mereka punya, sulit rasanya mengatakan bahwa mereka tidak bahagia karena sepakbola. Sebaliknya, mereka pasti akan berterima kasih kepada sepakbola. Pun itu yang dikatakan Cristiano: “tanpa sepakbola, hidup saya tidak berarti apa-apa”, yang mana kutipan tersebut begitu terkenal sampai-sampai dikapitalisasi Amazon menjadi stiker pelindung laptop.
Kutipan itu mungkin ada benarnya. Bisa dibayangkan apa yang sedang Cristiano lakukan saat ini ketika sepakbola tidak pernah eksis di muka bumi. Dengan cara apa kita melewati akhir pekan tanpa tayangan sepakbola jika permainan itu tak pernah diciptakan. Ketika Senin sampai Jumat, hati dan pikiran kita sepenuhnya tercurah untuk hal-hal bernama rutinitas, maka akhir pekan bersama sepakbola menjadi sebuah kebahagiaan tersendiri.
Bahagia Sejak Dalam Pikiran
Kendati demikian, sepakbola tak melulu bicara soal kebahagiaan. Banyak fragmen getir yang terjadi ketika sepakbola dipertandingkan. Bahwa sepakbola tak akan terselenggara tanpa adanya dua kesebelasan itu benar. Namun dua kubu tersebut hanyalah rivalitas di atas lapangan selama 90 menit pertandingan. Mereka saling berlawanan, bukan dua buah unsur yang bermusuhan. Mereka bertanding, bukan bertempur layaknya peperangan. Itu sebabnya, alangkah miris sepakbola yang sejatinya membawa kebahagiaan, kemudian malah jatuh korban.
Banu Rusman adalah pendukung Persita. Pada suatu siang yang terang, ia hadir langsung di Stadion Mini Persikabo, Cibinong, demi mendukung Pendekar Cisadane melawan PSMS Medan dalam laga kompetisi Liga 2 musim 2017. Namun sayangnya, pertandingan itu diwarnai kericuhan hingga terjadi bentrokan. Adapun bentrokan itu menimbulkan korban jiwa bernama Banu Rusman. Hingga tulisan ini dibuat, belum terungkap siapa yang bertanggungjawab atas tragedi nahas tersebut.
Kasus yang menimpa almarhum Banu menjadi bukti bahwa selain membahagiakan, sepakbola juga kerap membahayakan. Pertandingan siang itu tampak tidak dirayakan sebagaimana mestinya. Gelombang protes para pendukung di dalam stadion, berujung bentrokan di luar stadion. Edukasi tentang ketertiban seketika luntur oleh amarah dan kebencian. Hal ini menyiratkan, betapa perlunya para pendukung membawa rasa bahagia sejak dalam pikiran.
Cyrenaic, sebuah nama sekolah filsafat Yunani pada abad ke-4, sudah menyerukan rasa senang sejak dalam pikiran. Golongan Cyrenaic percaya bahwa ada dua keadaan pikiran mendasar: kesenangan dan rasa sakit. Menurut mereka, kesenangan berasal dari sebuah getar jiwa yang halus, sedang rasa sakit berasal dari getaran jiwa yang kasar. Mereka percaya semua makhluk pasti mencari kebahagiaan dan sebisa mungkin menghindari rasa sakit.
Kericuhan antar pendukung adalah ekses dari pertandingan yang tidak disertai dengan perasaan bahagia. Almarhum Banu berangkat ke stadion untuk mencari kebahagiaan, kemenangan. Namun getaran-getaran jiwa manusia yang semula lembut menjadi kasar, sehingga yang dirasa hanyalah sakit dan derita.
Laga semifinal Piala FA yang mempertemukan Liverpool dan Nottingham Forest pada 15 April 1989 lalu juga berakhir tragis. Pasalnya, salah satu tribun stadion Hillsborough rubuh dan menimpa ratusan pendukung yang berada di bawahnya. Para pendukung yang sedang berdiri di atas pun tak luput dari celaka. Total terdapat 96 korban jiwa dan 766 orang lainnya luka-luka atas insiden tersebut.
Menepikan hal-hal yang tidak membahagiakan dari sepakbola hampir mustahil, karena segala sesuatu yang memberi kebahagiaan punya potensi besar menorehkan luka. Namun atas nama cinta, luka itu kemudian jadi kekuatan tersendiri. Fakta bahwa tiap 15 April dilakukan ritual one minute silence untuk mengenang para korban Hillsborough, jadi motivasi besar bagi Liverpool untuk meraih kemenangan atas lawannya. Teriakan dari sudut-sudut tribun juga lebih keras dan lantang dari biasanya, yang otomatis jadi pelecut semangat para penggawa Liverpool.
Atas nama cinta pula, beberapa pendukung tetap bersetia kendati kesebelasan favorit mengalami kekalahan berkali-kali. Mereka rela menjalani hari-hari yang buruk. Resiko diejek kawan hingga kalah taruhan mereka terima dengan jengkel. Seraya berharap, nasib baik segera berpihak kepada mereka pada akhir pekan.
Baca juga: Hentikan Kekerasan di Sepakbola Sekarang Juga
Kemenangan Bukan Segalanya
Kebahagiaan hakiki bagi pecinta sepakbola adalah kemenangan. Hal itu tak terbantahkan karena aneh jika ada yang bersedih hati ketika kesebelasan yang didukung menang atas lawannya. Namun bagaimana dengan mereka yang bersorak saat menyaksikan si pemain berhasil ngolongin lawan, atau teriak kegirangan melihat si kiper menghalau tendangan penalti.
Ternyata, kebahagiaan-kebahagiaan kecil itu juga eksis dan mampu dirasakan. Socrates dengan muram menyebut bahwa rahasia kebahagiaan bukanlah dalam proses pencarian dan penemuan kebahagiaan itu sendiri. Ia menganggap kebahagiaan adalah kemampuan untuk menikmati apa yang ada saat ini.
Kenikmatan itu pula yang dirasakan para pedagang kecil di sekitaran stadion. Beberapa jam sebelum pertandingan, mereka berniaga dan berbahagia. Mereka turut merayakan sepakbola dengan caranya sendiri.
Nikmat itu juga tak jarang tersaji di pos ronda, kedai kopi, dan lapangan swadaya milik warga. Suatu kehangatan tercipta tiap pertandingan sepakbola ditonton secara bersama. Kala babak pertama usai, mereka saling berinteraksi dan tukar tangkap dengan argumen masing-masing. Mengapa si anu kehilangan bola, mengapa si anu selalu gagal melepas umpan, dan retorika lain yang membuat mereka terlihat lebih jago dari Anton Sanjoyo.
Selayaknya Hari Kebahagiaan Internasional, sepakbola juga mampu mengkampanyekan kebahagiaan. Bahkan jauh lebih efektif karena selalu ada pertandingan setiap pekannya. Itulah mengapa betapa sulit membayangkan apakah kita masih dapat berbahagia jika sepakbola tiba-tiba hilang dari kehidupan.
Simak opini, komentar, dan sketsa adegan Rochy Putiray bersama pemain naturalisasi gadungan dan agennya, terkait kebijakan naturalisasi yang hanya merupakan akal-akalan klub dalam menyikapi peraturan pemain asing serta merugikan Tim Nasional Indonesia untuk jangka panjang:
Komentar